Perppu UU KPK Hanya Tunda Masalah Kemudian Meledak Suatu Waktu
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, wacana Presiden Jokowi menerbitkan Perppu atas revisi UU KPK tidak solutif. Sebab Perppu keluar tidak dalam kondisi kegentingan yang memaksa, sehingga akan berakhir sia-sia.
Sulthan mengatakan, Perppu disyaratkan keluar jika dalam keadaan darurat. Sementara kewenangan legislasi darurat yang mutlak dimiliki presiden tersebut diberikan saat terjadi kebuntuan peraturan.
"Perppu berlaku seketika sejak dikeluarkan tetapi bersifat sementara. Karena dalam waktu satu kali masa sidang DPR menggunakan kewenangannya untuk menilai objektifitas Perppu," kata Sulthan saat dihubungi Sindonews, Rabu (2/10/2019).
Maka kata Sulthan, jika DPR telah ada kebulatan tekad untuk merevisi UU KPK maka langkah Presiden mengeluarkan Perppu bisa dilihat sebagai atraksi politik semata. Ujungnya, kata dia, Perppu bisa dibatalkan karena tidak mendapat persetujuan DPR.
Bagi Sulthan, wacana Perppu KPK sama saja dengan mengadu domba rakyat dengan wakilnya. Ia menyebutkan, Perppu ini menunda masalah lalu meledak suatu waktu. Lagipula, lanjut Sulthan, kenapa harus ada Perppu jika revisi UU KPK tidak bermasalah kecuali su’zon semata.
"Saya pikir negara tidak perlu lah menghabiskan energi untuk hal-hal prejudice semacam ini," ujar Analis Politik asal UIN Jakarta ini.
Sulthan menambahkan, sebenarnya Revisi UU KPK sudah selesai. Presiden melalui menterinya telah memberikan persetujuan sebelum diparipurnakan oleh DPR. Namun menjadi aneh ketika tiba-tiba muncul wacana Perppu.
Bagi Sulthan, subjektivitas presiden dalam menilai hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai landasan utama Perppu telah diobjektifkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
"Dalam perspektif saya kondisi sekarang tidak ada persoalan hukum mendesak dengan revisi UU KPK, tidak ada juga kekosongan hukumnya, KPK juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Jadi sama sekali tidak memenuhi parameter perppu tersebut," tandasnya.
Rakhmat
Sulthan mengatakan, Perppu disyaratkan keluar jika dalam keadaan darurat. Sementara kewenangan legislasi darurat yang mutlak dimiliki presiden tersebut diberikan saat terjadi kebuntuan peraturan.
"Perppu berlaku seketika sejak dikeluarkan tetapi bersifat sementara. Karena dalam waktu satu kali masa sidang DPR menggunakan kewenangannya untuk menilai objektifitas Perppu," kata Sulthan saat dihubungi Sindonews, Rabu (2/10/2019).
Maka kata Sulthan, jika DPR telah ada kebulatan tekad untuk merevisi UU KPK maka langkah Presiden mengeluarkan Perppu bisa dilihat sebagai atraksi politik semata. Ujungnya, kata dia, Perppu bisa dibatalkan karena tidak mendapat persetujuan DPR.
Bagi Sulthan, wacana Perppu KPK sama saja dengan mengadu domba rakyat dengan wakilnya. Ia menyebutkan, Perppu ini menunda masalah lalu meledak suatu waktu. Lagipula, lanjut Sulthan, kenapa harus ada Perppu jika revisi UU KPK tidak bermasalah kecuali su’zon semata.
"Saya pikir negara tidak perlu lah menghabiskan energi untuk hal-hal prejudice semacam ini," ujar Analis Politik asal UIN Jakarta ini.
Sulthan menambahkan, sebenarnya Revisi UU KPK sudah selesai. Presiden melalui menterinya telah memberikan persetujuan sebelum diparipurnakan oleh DPR. Namun menjadi aneh ketika tiba-tiba muncul wacana Perppu.
Bagi Sulthan, subjektivitas presiden dalam menilai hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai landasan utama Perppu telah diobjektifkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
"Dalam perspektif saya kondisi sekarang tidak ada persoalan hukum mendesak dengan revisi UU KPK, tidak ada juga kekosongan hukumnya, KPK juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Jadi sama sekali tidak memenuhi parameter perppu tersebut," tandasnya.
Rakhmat
(pur)