Salahkan Media, Menkumham: Banyak yang Belum Paham RUU KUHP
A
A
A
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly menilai banyak pihak yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebenarnya belum memahami isi dan pasal-pasal yang terkandung dalam RUU tersebut. Karena itu, pihaknya berharap pihak-pihak yang menolak atau merasa ada yang tidak sesuai dalam RUU KUHP tersebut untuk membaca lebih dalam tiap-tiap pasal yang terkandung di dalamnya.
"Apa yang beredar di media sosial, bahkan di media mainstream tidak seperti itu. Itu atas dasar tidak paham saja, misinformasi, dan tidak sepenuhnya benar. Bahkan boleh kita mengatakan ada yang sengaja melakukan disinformasi sampai-sampai viral di luar negeri karena informasinya enggak bener, karena pemahamannya enggak bener," ujar Yasonna usai menerima pendaftaran kepengurusan baru DPP PDIP di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Yasonna mencontohkan soal pasal kohabitasi atau kumpul kebo dan juga soal pasal mengenai aborsi yang belum banyak dipahami secara mendalam oleh pihak-pihak yang menyatakan penolakan terhadap RUU KUHP.
"Jadi kami akan nanti menjelaskan kepada publik kalau misalnya masih kurang ngerti betul-betul, memang perlu kita bahas beberapa pasal yang kontroversial. Tapi yang pasti saya sampaikan bahwa RUU KUHP sudah dirancang 50 tahun oleh dosen-dosen kami ketika zaman Pak Harto sudah membahas," tutupnya.
Menteri yang juga politikus PDIP ini mengatakan, revisi UU KUHP sangat dibutuhkan untuk menggantikan UU KUHP yang peninggalan kolonial Belanda yang sekarang berlaku sejak 150 tahun yang lalu sejak sebelum era kemerdekaan. "Zaman merdeka aja sudah dipakai 74 tahun, itu sebelum merdeka (sudah dipakai). Sebelumnya di pakai di Belanda, (sekarang) di Belanda sendiri sudah tidak dipakai," paparnya.
Karena itu, dirinya mengaku heran kalau ada orang yang melakukan penolakan seolah-olah pembuatan UU KUHP sekarang ini merupakan bentuk dari neokolonialisme. "Ini (pihak yang menolak) tidak baca, menyedihkan. Menyedihkan sekali," serunya.
Pihaknya berharap pihak-pihak yang menolak UU KUHP ini agar bisa menyampaikan pandangan secara benar. "Saya mengapa mengatakan mengritik media mainstream (yang menyebutkan) unggas diatur, soal gelandangan diatur, katanya ini kontroversial. Loh, di KUHP yang berlaku sekarang ini dipakai, soal unggas dipakai, soal gelandangan dipakai."
"Makanya saya bilang 'what have you been?' (ngapain aja kamu selama ini?' Masa media mainstream meng-quote lagi itu? Mengapa enggak kamu itu gugat dari zaman merdeka sana ini enggak benar. Kita yang dibilang jahat, (padahal) kita memperbaiki. (Itu) tidak baca," sambungnya.
Soal pasal gelandangan, Yasonna menyebutkan bahwa di Undang-Undang KUHP yang sekarang bentuk hukumannya adalah hukuman badan berupa pemenjaraan dan di RUU KUHP diganti dengan hukuman denda. Jika dia tidak bisa membayar maka diserahkan untuk dididik di panti-panti pendidikan pemerintah atau di Dinas Sosial.
"Kurang baik apa? Dan ini dibilang kontroversial (sehingga mengajak) mari kita lawan," katanya.
"Apa yang beredar di media sosial, bahkan di media mainstream tidak seperti itu. Itu atas dasar tidak paham saja, misinformasi, dan tidak sepenuhnya benar. Bahkan boleh kita mengatakan ada yang sengaja melakukan disinformasi sampai-sampai viral di luar negeri karena informasinya enggak bener, karena pemahamannya enggak bener," ujar Yasonna usai menerima pendaftaran kepengurusan baru DPP PDIP di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Yasonna mencontohkan soal pasal kohabitasi atau kumpul kebo dan juga soal pasal mengenai aborsi yang belum banyak dipahami secara mendalam oleh pihak-pihak yang menyatakan penolakan terhadap RUU KUHP.
"Jadi kami akan nanti menjelaskan kepada publik kalau misalnya masih kurang ngerti betul-betul, memang perlu kita bahas beberapa pasal yang kontroversial. Tapi yang pasti saya sampaikan bahwa RUU KUHP sudah dirancang 50 tahun oleh dosen-dosen kami ketika zaman Pak Harto sudah membahas," tutupnya.
Menteri yang juga politikus PDIP ini mengatakan, revisi UU KUHP sangat dibutuhkan untuk menggantikan UU KUHP yang peninggalan kolonial Belanda yang sekarang berlaku sejak 150 tahun yang lalu sejak sebelum era kemerdekaan. "Zaman merdeka aja sudah dipakai 74 tahun, itu sebelum merdeka (sudah dipakai). Sebelumnya di pakai di Belanda, (sekarang) di Belanda sendiri sudah tidak dipakai," paparnya.
Karena itu, dirinya mengaku heran kalau ada orang yang melakukan penolakan seolah-olah pembuatan UU KUHP sekarang ini merupakan bentuk dari neokolonialisme. "Ini (pihak yang menolak) tidak baca, menyedihkan. Menyedihkan sekali," serunya.
Pihaknya berharap pihak-pihak yang menolak UU KUHP ini agar bisa menyampaikan pandangan secara benar. "Saya mengapa mengatakan mengritik media mainstream (yang menyebutkan) unggas diatur, soal gelandangan diatur, katanya ini kontroversial. Loh, di KUHP yang berlaku sekarang ini dipakai, soal unggas dipakai, soal gelandangan dipakai."
"Makanya saya bilang 'what have you been?' (ngapain aja kamu selama ini?' Masa media mainstream meng-quote lagi itu? Mengapa enggak kamu itu gugat dari zaman merdeka sana ini enggak benar. Kita yang dibilang jahat, (padahal) kita memperbaiki. (Itu) tidak baca," sambungnya.
Soal pasal gelandangan, Yasonna menyebutkan bahwa di Undang-Undang KUHP yang sekarang bentuk hukumannya adalah hukuman badan berupa pemenjaraan dan di RUU KUHP diganti dengan hukuman denda. Jika dia tidak bisa membayar maka diserahkan untuk dididik di panti-panti pendidikan pemerintah atau di Dinas Sosial.
"Kurang baik apa? Dan ini dibilang kontroversial (sehingga mengajak) mari kita lawan," katanya.
(kri)