KPK Tetapkan Dirut Perum Perindo Tersangka Suap Impor Ikan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia, Risyanto Suanda (RSU) tersangka suap terkait dengan kuota impor ikan jenis frozen pacific mackerel atau ikan salem. Selain Risyanto, KPK juga menetapkan Direktur PT. Navy Arsa Sejahtera, Mujib Mustofa (MMU) sebagai tersangka.
Keduanya terjaring dalam operasi tangkap tangan yang berlangsung pada Senin (23/9/2019) kemarin. "KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan dua orang (RSU dan MMU) sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Dalam kasus ini, Risyanto diduga menerima suap dari Mujib untuk mengatur kuota impor ikan salem dari perusahaan milik Mujib. "KPK menemukan adanya dugaan alokasi fee Rp1.300 untuk setiap kilogram Frozen Pacific Mackarel yang diimpor ke Indonesia," ujar Saut.
Di samping itu, KPK juga akan mendalami dugaan penerimaan sebelumnya dari perusahaan importir lain yaitu sebesar USD30 ribu, SGD30 ribu dan SGD50 ribu.
Saut menjelaskan, PT Navy Arsa Sejahtera (NAS) merupakan salah satu perusahaan importir ikan, namun telah masuk blacklist sejak 2009 karena melakukan impor ikan melebihi kuota, sehingga saat ini PT NAS, Mujib tidak bisa mengajukan kuota impor.
Melalui mantan Pegawai Perum Perindo, Mujib berkenalan dengan Risyanto, Dirut Perum Perindo. Mujib kemudian menemui Risyanto dan membicarakan masalah kebutuhan impor ikan.
"Pada sekitar Mei 2019 dilakukan pertemuan antara Mujib dan Risyanto. Saat itu disepakati bahwa Mujib akan mendapatkan kuota impor ikan sebanyak 250 ton dari kuota impor Perum Perindo yang disetujui Kemendag. Sehingga meskipun kuota impor diberikan kepada Perum Perindo, pada kenyataannya yang melakukan impor adalah PT NAS," jelasnya.
Setelah 250 ton ikan berhasil diimpor oleh PT NAS, kata Saut, kemudian ikan-ikan tersebut berada di karantina dan disimpan di cold storage milik Perum Perindo. Berdasarkan keterangan Mujib, hal ini dilakukan untuk mengelabui otoritas yang berwenang agar seolah-olah yang melakukan impor adalah Perum Perindo.
Pada 16 September 2019, Mujib kembali bertemu dengan Risyanto di salah satu lounge hotel di Jakarta Selatan. Karena Risyanto menganggap Mujib berhasil mendatangkan ikan.
"Risyanto menanyakan apakah Mujib sanggup jika diberikan kuota impor ikan tambahan sebesar 500 ton untuk Oktober 2019. Mujib menyatakan kesanggupannya dan diminta oleh Risyanto untuk menyusun daftar kebutuhan impor ikan yang diinginkan," ungkapnya.
Atas ulahnya, Mujib disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Risyanto sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Keduanya terjaring dalam operasi tangkap tangan yang berlangsung pada Senin (23/9/2019) kemarin. "KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan dua orang (RSU dan MMU) sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Dalam kasus ini, Risyanto diduga menerima suap dari Mujib untuk mengatur kuota impor ikan salem dari perusahaan milik Mujib. "KPK menemukan adanya dugaan alokasi fee Rp1.300 untuk setiap kilogram Frozen Pacific Mackarel yang diimpor ke Indonesia," ujar Saut.
Di samping itu, KPK juga akan mendalami dugaan penerimaan sebelumnya dari perusahaan importir lain yaitu sebesar USD30 ribu, SGD30 ribu dan SGD50 ribu.
Saut menjelaskan, PT Navy Arsa Sejahtera (NAS) merupakan salah satu perusahaan importir ikan, namun telah masuk blacklist sejak 2009 karena melakukan impor ikan melebihi kuota, sehingga saat ini PT NAS, Mujib tidak bisa mengajukan kuota impor.
Melalui mantan Pegawai Perum Perindo, Mujib berkenalan dengan Risyanto, Dirut Perum Perindo. Mujib kemudian menemui Risyanto dan membicarakan masalah kebutuhan impor ikan.
"Pada sekitar Mei 2019 dilakukan pertemuan antara Mujib dan Risyanto. Saat itu disepakati bahwa Mujib akan mendapatkan kuota impor ikan sebanyak 250 ton dari kuota impor Perum Perindo yang disetujui Kemendag. Sehingga meskipun kuota impor diberikan kepada Perum Perindo, pada kenyataannya yang melakukan impor adalah PT NAS," jelasnya.
Setelah 250 ton ikan berhasil diimpor oleh PT NAS, kata Saut, kemudian ikan-ikan tersebut berada di karantina dan disimpan di cold storage milik Perum Perindo. Berdasarkan keterangan Mujib, hal ini dilakukan untuk mengelabui otoritas yang berwenang agar seolah-olah yang melakukan impor adalah Perum Perindo.
Pada 16 September 2019, Mujib kembali bertemu dengan Risyanto di salah satu lounge hotel di Jakarta Selatan. Karena Risyanto menganggap Mujib berhasil mendatangkan ikan.
"Risyanto menanyakan apakah Mujib sanggup jika diberikan kuota impor ikan tambahan sebesar 500 ton untuk Oktober 2019. Mujib menyatakan kesanggupannya dan diminta oleh Risyanto untuk menyusun daftar kebutuhan impor ikan yang diinginkan," ungkapnya.
Atas ulahnya, Mujib disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Risyanto sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(pur)