Senator Terpilih Ini Dukung Kaltara Masuk Tatib DPD
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta, Sylviana Murni mendukung Tata Tertib (Tatib) DPD yang baru disahkan oleh Badan Kehormatan DPD.
Terutama mengenai poin masuknya perwakilan provinsi hasil pemekaran seperti Kalimantan Utara (Utara) dalam alat kelengkapan DPD.
Menurut Sylviana Murni, dengan masuknya Kaltara dalam Tatib, bukti DPD mengakomodir kepentingan nasional. "Dengan masuknya Kaltara, ini menurut saya bagus sekali karena mengakomodir kepentingan daerah dan kepentingan NKRI," ujar Sylviana Murni saat dihubungi Wartawan, Selasa (24/9/2019) di Jakarta.
Namun demikian, perempuan yang memperoleh gelar profesor dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta ini menjelaskan akan mempelajari lebih jauh pasal per pasal di Tatib DPD yang baru itu.
"Saya akan pelajari dulu pasal per pasal, pertama kan saya ini orang baru di DPD, dan saya kan perempuan, jadi kalau Tatib itu membawa perubahaan yang baik kenapa tidak," tandasnya.
Apalagi, kata Dia, jika Tatib tersebut juga mengakomodir Anggota DPD dari perempuan. "Karena saya kan mewakili kaum perempuan juga. Kalau ada keterwakilan perempuan pasti akan saya dukung. Intinya, jika lebih baik dari yang sebelumnya saya pasti dukung, tapi sekali lagi, saya akan pelajari dulu," tegasnya.
Ketua Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mervin S Komber menegaskan, pengesahan Tatib DPD justru untuk menghindari terjadinya 'keresahan' di kalangan Senator lantaran belum terakomodirnya Kalimantan Utara (Kaltara) dalam Tatib.
"Jika Tatib baru tidak disahkan, empat orang senator dari Kaltara kehilangan haknya. Mereka dilantik, tapi tidak memiliki hak memilih dan dipilih sebagai calon pimpinan DPD maupun alat kelengkapan lainnya," tutur Mervin kepada wartawan di Jakarta.
Melanjutkan keterangannya, Mervin mengatakan para senator asal Kaltara harusnya berterima kasih dan mensyukuri pengesahan tatib tersebut.
Selain menyejajarkan posisi politik Kaltara dengan provinsi lain, Tatib tersebut juga membuka ruang bagi senator Kaltara untuk mendapatkan hak-hak lainnya.
"Kalau kami tidak sahkan tatib baru, Kaltara kelihangan hak administratif dan politiknya. Sebab, dalam tatib yang lama jumlah anggota DPD berasal dari 33 provinsi, belum memasukan Kaltara sebagai provinsi baru. Kok mereka malah bilang resah," kata Mervin.
Senator asal Papua ini juga menjelaskan Tatib baru DPD juga menambah dan menyempurnakan hak-hak daerah khusus di Indonesia. Karena itu dia menantang incumbent dan senator terpilih lainnya untuk datang ke BK DPD, membuka tatib sekaligus risalah pembahasannya, menunjukan adanya pasal yang meresahkan tersebut.
"Kalau pasal yang mereka sebut meresahkan berkaitan dengan pemilihan calon pimpinan DPD, ya tidak tepat juga. Masuknya sejumlah pasal dari kode etik kedalam tatib baru merupakan keputusan pleno BK. Buat apa ada putusan BK kalau tidak dipatuhi?," tegas dia.
Mervin menjelaskan, aturan tentang orang yang sedang dalam status tersangka dan sudah dijatuhi sanksi BK tak bisa jadi pimpinan DPD, bukan untuk mengganjal calon tertentu.
Aturan itu dikatakannya diadopsi dari kode etik, disepakati dalam pleno BK, kemudian disahkan dalam paripurna DPD. "Jika aturan itu dianggap bermasalah, di mana letak masalahnya? Seseorang yang sudah diberhentikan BK, disanksi karena banyak bolos, terus diberi hak untuk jadi pimpinan, buat apa ada sanksi? Nanti para senator jadi malas, banyak bolos, alasannya berkaca pada pimpinan, itu yang kita mau?" jelas senator asal Papua ini.
Mervin juga menyesalkan adanya penyimpangan informasi seputar tatib baru lantaran adanya agenda politik bakal calon pimpinan DPD. Dia berharap perebutan kursi pimpinan tak disertai informasi hoaks dan politisasi terhadap putusan BK.
"Kami dituduh buat aturan untuk menjegal bakal calon tertentu, apa dasarnya? Mereka yang menolak Tatib, tak memahami kehendak rakyat yang menginginkan parlemen bersih. Silakan tanya rakyat, mau pimpinan DPD sesuai kode etik atau tidak?" tandasnya.
Terutama mengenai poin masuknya perwakilan provinsi hasil pemekaran seperti Kalimantan Utara (Utara) dalam alat kelengkapan DPD.
Menurut Sylviana Murni, dengan masuknya Kaltara dalam Tatib, bukti DPD mengakomodir kepentingan nasional. "Dengan masuknya Kaltara, ini menurut saya bagus sekali karena mengakomodir kepentingan daerah dan kepentingan NKRI," ujar Sylviana Murni saat dihubungi Wartawan, Selasa (24/9/2019) di Jakarta.
Namun demikian, perempuan yang memperoleh gelar profesor dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta ini menjelaskan akan mempelajari lebih jauh pasal per pasal di Tatib DPD yang baru itu.
"Saya akan pelajari dulu pasal per pasal, pertama kan saya ini orang baru di DPD, dan saya kan perempuan, jadi kalau Tatib itu membawa perubahaan yang baik kenapa tidak," tandasnya.
Apalagi, kata Dia, jika Tatib tersebut juga mengakomodir Anggota DPD dari perempuan. "Karena saya kan mewakili kaum perempuan juga. Kalau ada keterwakilan perempuan pasti akan saya dukung. Intinya, jika lebih baik dari yang sebelumnya saya pasti dukung, tapi sekali lagi, saya akan pelajari dulu," tegasnya.
Ketua Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mervin S Komber menegaskan, pengesahan Tatib DPD justru untuk menghindari terjadinya 'keresahan' di kalangan Senator lantaran belum terakomodirnya Kalimantan Utara (Kaltara) dalam Tatib.
"Jika Tatib baru tidak disahkan, empat orang senator dari Kaltara kehilangan haknya. Mereka dilantik, tapi tidak memiliki hak memilih dan dipilih sebagai calon pimpinan DPD maupun alat kelengkapan lainnya," tutur Mervin kepada wartawan di Jakarta.
Melanjutkan keterangannya, Mervin mengatakan para senator asal Kaltara harusnya berterima kasih dan mensyukuri pengesahan tatib tersebut.
Selain menyejajarkan posisi politik Kaltara dengan provinsi lain, Tatib tersebut juga membuka ruang bagi senator Kaltara untuk mendapatkan hak-hak lainnya.
"Kalau kami tidak sahkan tatib baru, Kaltara kelihangan hak administratif dan politiknya. Sebab, dalam tatib yang lama jumlah anggota DPD berasal dari 33 provinsi, belum memasukan Kaltara sebagai provinsi baru. Kok mereka malah bilang resah," kata Mervin.
Senator asal Papua ini juga menjelaskan Tatib baru DPD juga menambah dan menyempurnakan hak-hak daerah khusus di Indonesia. Karena itu dia menantang incumbent dan senator terpilih lainnya untuk datang ke BK DPD, membuka tatib sekaligus risalah pembahasannya, menunjukan adanya pasal yang meresahkan tersebut.
"Kalau pasal yang mereka sebut meresahkan berkaitan dengan pemilihan calon pimpinan DPD, ya tidak tepat juga. Masuknya sejumlah pasal dari kode etik kedalam tatib baru merupakan keputusan pleno BK. Buat apa ada putusan BK kalau tidak dipatuhi?," tegas dia.
Mervin menjelaskan, aturan tentang orang yang sedang dalam status tersangka dan sudah dijatuhi sanksi BK tak bisa jadi pimpinan DPD, bukan untuk mengganjal calon tertentu.
Aturan itu dikatakannya diadopsi dari kode etik, disepakati dalam pleno BK, kemudian disahkan dalam paripurna DPD. "Jika aturan itu dianggap bermasalah, di mana letak masalahnya? Seseorang yang sudah diberhentikan BK, disanksi karena banyak bolos, terus diberi hak untuk jadi pimpinan, buat apa ada sanksi? Nanti para senator jadi malas, banyak bolos, alasannya berkaca pada pimpinan, itu yang kita mau?" jelas senator asal Papua ini.
Mervin juga menyesalkan adanya penyimpangan informasi seputar tatib baru lantaran adanya agenda politik bakal calon pimpinan DPD. Dia berharap perebutan kursi pimpinan tak disertai informasi hoaks dan politisasi terhadap putusan BK.
"Kami dituduh buat aturan untuk menjegal bakal calon tertentu, apa dasarnya? Mereka yang menolak Tatib, tak memahami kehendak rakyat yang menginginkan parlemen bersih. Silakan tanya rakyat, mau pimpinan DPD sesuai kode etik atau tidak?" tandasnya.
(dam)