Dikritik, Rencana Penghapusan Materi Perang dalam Buku Sejarah Islam

Selasa, 17 September 2019 - 14:32 WIB
Dikritik, Rencana Penghapusan...
Dikritik, Rencana Penghapusan Materi Perang dalam Buku Sejarah Islam
A A A
JAKARTA - Rencana Kementerian Agama (Kemenag) menghapus materi tentang perang dalam materi pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam untuk tujuan mendidik siswa menjadi toleran terhadap penganut agama lain dinilai salah sasaran.

Kasus intoleransi semisal tindakan bom bunuh diri dinilai tidak terkait dengan materi ajaran tersebut. "Ini merupakan kebijakan menyimpang dan nyeleneh yang dihantui oleh pemikiran fobia Islam, meskipun pembuat kebijakan itu seorang muslim," kata peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST) Henri Salahuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2019).

Pernyataan Henri menyikapi informasi yang beredar di media tentang rencana rencana Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, ahmad Umar yang menyatakan akan menghapus materi perang dalam materi pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Langkah itu dilakukan agar Islam tidak lagi dianggap sebagai agama yang selalu dikaitkan dengan perang.

Menurut Henri, munculnya kebijakan itu seakan-akan diyakini jika setiap siswa akan memahami peperangan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah pasti akan anarkis, intoleran dan bertindak brutal kepada penganut agama lain.

"Orang yang berpikir seperti ini dikhawatirkan sedang mengalami gangguan delusi. Orang yang mengalami delusi seringkali meyakini hal-hal yang tidak nyata atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya," katanya.

Dia berpendapat jihad fi sabilillah yang meliputi segala bentuk jihad termasuk perang adalah puncak tertinggi dari ajaran Islam (dzirwatu sanamihi) sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu'adz bin Jabal. Perang adalah bagian dari keniscayaan yang selalu berulang di sepanjang sejarah, di setiap zaman dan tempat.

Oleh sebab itu, kata dia, Islam mengatur bagaimana berihsan dalam perang, sekiranya peperangan itu harus dilakukan. Paling tidak sebelum melakukan jihad qital (perang), ada dua tahapan yang harus dilalui, yakni jihad tarbawi dan jihad tanzimi.

Jihad tarbawi adalah menyiapkan pengetahuan yang utuh ttg bab keluasan bab jihad, syarat dan rukunnya. Sementara jihad tanzimi adalah menanamkan bahwa perang itu bukan kegiatan liar dan harus diorganisasi oleh pengambil keputusan badan eksekutif tertinggi (negara).

Menurut dia, perang bukan kewajiban yang diputuskan oleh individu atau kelompok-kelompok masyarakat (milisi). Seorang muslim harus mengenal pondasi ajaran jihad, termasuk yang paling mendasar bahwa perang dalam Islam itu sifat dasarnya defensif, bi annahum zulimu (karena dizalimi dan dianiaya (QS al-Hajj: 39).

"Dalam kondisi perang, setiap muslim diajarkan perbuatan apa saja yang harus dihindari ketika berperang. Misalnya larangan merusak tempat ibadah, merusak lingkungan, membunuhi binatang ternak, menebangi tanaman, membunuh musuh yang menyerah, menganiaya, dan segala bentuk yang tidak beradab," katanya.

Namun demikian, kata Henri, perlu juga ditelaah ulang materi peperangan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam. Tidak sedikit terjadi penyimpangan dalam materi ajar tentang sejarah Islam yang hanya merujuk pada penulis orientalis yang tidak beriktikad baik terhadap penggambaran sejarah Islam.

"Sehingga mengesankan bahwa sejarah perkembangan Islam dipenuhi dengan perang dan aksi-aksi brutalisme. Tetapi biar tujuan kebijakan kemenag ini bisa mendapatkan hasil maksimal, akan lebih baik jika diusulkan ke Amerika Serikat dan negara-negara yang mempunyai anggaran perang dan kegiatan militer yang tinggi. Misalnya, Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Arab Saudi, Prancis, dan Britania Raya," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7555 seconds (0.1#10.140)