Pengamat Sebut Penyerahan Mandat Pimpinan KPK Langkah Logis
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menganggap, sebenarnya pengembalian mandat pemberantasan korupsi yang sempat dilakukan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan langkah logis.
Menurut Ray, dengan dibahasnya revisi Undang-Undang (UU) KPK menunjukan Presiden memang tidak mempercayai komisioner KPK yang ada saat ini. "Diabaikannya pendapat dan aspirasi mereka menunjukkan bahwa Presiden sedang tidak mendukung langkah-langkah mereka," kata Ray kepada SINDOnews, Selasa (17/9/2019).
Ray menambahkan, hal yang sama datang dari DPR. Bahkan ia menyebut ada anggota DPR memberi cap anarko bagi tindakan mereka yang menyatakan menolak revisi UU KPK. Padahal itu hanya aspirasi biasa bukan keputusan. Maka tidak tepat menyatakan aspirasi saja disebut anarko.
Kata Ray, dalam suasana seperti saat ini, kenyamanan dalam bekerja memberantas korupsi juga sudah hilang. Mereka dianggap telah diabaikan presiden, disebut anarko oleh anggota DPR, Jubir KPK dipolisikan serta munculnya isu KPK dikuasai faksi Taliban.
"Apalagi jika revisi UU KPK ini benar akan diselesaikan pada September ini. Maka mereka akan bekerja dalam satu UU yang justru mereka tolak dengan sengit sejak awal. Jadi ganjil orang yang menolak UU justru bekerja dengan dasar UU yang mereka tolak," ujarnya.
Dengan demikian kata mantan aktivis 98 asal UIN Jakarta ini, penyerahan mandat yang sempat disampaikan pimpinan KPK itu adalah langkah logis. Menurutnya, yang kurang logis adalah anggota DPR yang menolak penyerahan mandat itu. Mereka menyebut komisioner KPK gagal, ada yang menyebut anarko, malah keberatan pula komisioner KPK menyerahkan mandat.
"Lalu mereka berdebat soal tidak adanya istilah penyerahan mandat. Padahal itu kalimat lain yang menunjukkan bahwa tiga anggota komisioner itu menyatakan diri mundur dari jabatannya. Itulah titik poinnya. Bukan mendebatkan redaksi menyerahkan mandat," tutur Ray.
Lagi pula Ray mengatakan, Presiden sebagai kepala negara memang orang yang paling berhak diserahkan mandat mengelola KPK paska ditinggalkan oleh komisionernya.
"Jadi kata menyerahkan mandat itu adalah tepat jika dilihat dalam hal ini. Jika komisioner mundur, otomastis mandatnya diserahkan kepada Presiden sebagai kepala negara dan yang menetapkan mereka," tandasnya.
Menurut Ray, dengan dibahasnya revisi Undang-Undang (UU) KPK menunjukan Presiden memang tidak mempercayai komisioner KPK yang ada saat ini. "Diabaikannya pendapat dan aspirasi mereka menunjukkan bahwa Presiden sedang tidak mendukung langkah-langkah mereka," kata Ray kepada SINDOnews, Selasa (17/9/2019).
Ray menambahkan, hal yang sama datang dari DPR. Bahkan ia menyebut ada anggota DPR memberi cap anarko bagi tindakan mereka yang menyatakan menolak revisi UU KPK. Padahal itu hanya aspirasi biasa bukan keputusan. Maka tidak tepat menyatakan aspirasi saja disebut anarko.
Kata Ray, dalam suasana seperti saat ini, kenyamanan dalam bekerja memberantas korupsi juga sudah hilang. Mereka dianggap telah diabaikan presiden, disebut anarko oleh anggota DPR, Jubir KPK dipolisikan serta munculnya isu KPK dikuasai faksi Taliban.
"Apalagi jika revisi UU KPK ini benar akan diselesaikan pada September ini. Maka mereka akan bekerja dalam satu UU yang justru mereka tolak dengan sengit sejak awal. Jadi ganjil orang yang menolak UU justru bekerja dengan dasar UU yang mereka tolak," ujarnya.
Dengan demikian kata mantan aktivis 98 asal UIN Jakarta ini, penyerahan mandat yang sempat disampaikan pimpinan KPK itu adalah langkah logis. Menurutnya, yang kurang logis adalah anggota DPR yang menolak penyerahan mandat itu. Mereka menyebut komisioner KPK gagal, ada yang menyebut anarko, malah keberatan pula komisioner KPK menyerahkan mandat.
"Lalu mereka berdebat soal tidak adanya istilah penyerahan mandat. Padahal itu kalimat lain yang menunjukkan bahwa tiga anggota komisioner itu menyatakan diri mundur dari jabatannya. Itulah titik poinnya. Bukan mendebatkan redaksi menyerahkan mandat," tutur Ray.
Lagi pula Ray mengatakan, Presiden sebagai kepala negara memang orang yang paling berhak diserahkan mandat mengelola KPK paska ditinggalkan oleh komisionernya.
"Jadi kata menyerahkan mandat itu adalah tepat jika dilihat dalam hal ini. Jika komisioner mundur, otomastis mandatnya diserahkan kepada Presiden sebagai kepala negara dan yang menetapkan mereka," tandasnya.
(maf)