Satu-satunya Benteng Pengawas, DPR Minta BPOM Diperkuat Kelembagaannya
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diperkuat kelembagaannya. Pasalnya, BPOM merupakan lembaga satu-satunya yang menjadi benteng pengawas masyarakat terkait obat dan makanan yang beredar di masyarakat.
“Badan POM yang ada di negara ini menjadi satu-satunya benteng kepada masyarakat,” ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat ‘Peningkatan Perlindungan Masyarakat Serta Daya Saing Obat dan Makanan’ di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Apalagi kata Dede, tugas BPOM harus mengawasi sekitar 500 triliun produk industri obat dan makanan. “Kadang-kadang kita tidak sadar betapa beratnya tugas BPOM ini, dimana 70 triliunnya mengawasi obat, kosmetik bisa mencapai 100 triliun, sisanya mengawasi makanan dan minuman yang beredar. Dan jumlahnya bisa diperkirakan hampir 500 triliun produk. Bahkan, pertumbuhan industri makanan dan minuman olahan per tahun itu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi, hampir melebihi 9% atau hampir 10% dari PDP,” jelasnya.
“Kalau kita bandingkan saja, ada yang namanya mie instan Indonesia yang dijual di Indonesia yang rasanya tidak lebih enak daripada yang di sini. Karena apa? Kadar MSG nya tidak boleh tinggi, ada batasan. Tapi di kita standart MSG nya tinggi. Minuman juga sama, kadar gulanya di Indonesia itu sangat tinggi, sama halnya kalau bicara mengenai rokok dan lain-lain. Nah sekarang siapa yang mengawasi? Badan POM,” sambung Dede.
Ternyata Indonesia, kata Dede, salah satu penyakit yang menyerang masyarakat Indonesia adalah bahwa memang sebagian besar karena makanan. “Dan sebagian besar yang ditangani oleh BPJS kita adalah penyakit stroke, kanker, ginjal, diabetes, ini karena disebabkan oleh gaya hidup,” jelasnya.
Dede melanjutkan BPOM seharusnya juga diperkuat dengan fungsi kelembagaannya melalui undang-undang. Apalagi, kelembagaan BPOM saat ini hanya berdasarkan Peraturan Presiden tahun 1971. “Dengan segala keterbatasannya, dengan aturannya yang ada hanya dari 1971 berupa Perpres. Jadi artinya mereka tidak punya perlindungan, tidak punya peraturan,” katanya.
“Kita lihat lagi, obat-obat yang saat ini beredar, dengan harga yang relatif murah tapi belum tentu obat-obat itu berarti legal. Mereka menyebutnya KW Super atau ORI yang belum tentu tidak bermasalah. Lalu siapa yang mengawasi masalah ini? Hanya BPOM,” lanjut Dede.
DPR, kata Dede saat ini akan mendorong penguatan fungsi kelembagaan BPOM. “Kami hingga hari ini menerima masukan dari masyarakat. Tugas kami lainnya yakni menyatukan persepsi antara Kementerian Kesehatan dimana yang lebih berbicara mengenai masalah kesehatan dan upaya pencegahannya dan BPOM yang melakukan fungsi pengawasan, dan dari asosiasi yang agar kebijakanya membawa perkembangan asosiasi dengan baik.”
“Maka, kami DPR melihatnya lalu pemerintah ada dimana? Yang harusnya pemerintah menjadi benteng ketahanan bagi masyarakat, bahwa masyarakat punya hak untuk mendapatkan obat dan makanan yang ada proteksinya,” tambah Dede.
“Badan POM yang ada di negara ini menjadi satu-satunya benteng kepada masyarakat,” ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat ‘Peningkatan Perlindungan Masyarakat Serta Daya Saing Obat dan Makanan’ di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Apalagi kata Dede, tugas BPOM harus mengawasi sekitar 500 triliun produk industri obat dan makanan. “Kadang-kadang kita tidak sadar betapa beratnya tugas BPOM ini, dimana 70 triliunnya mengawasi obat, kosmetik bisa mencapai 100 triliun, sisanya mengawasi makanan dan minuman yang beredar. Dan jumlahnya bisa diperkirakan hampir 500 triliun produk. Bahkan, pertumbuhan industri makanan dan minuman olahan per tahun itu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi, hampir melebihi 9% atau hampir 10% dari PDP,” jelasnya.
“Kalau kita bandingkan saja, ada yang namanya mie instan Indonesia yang dijual di Indonesia yang rasanya tidak lebih enak daripada yang di sini. Karena apa? Kadar MSG nya tidak boleh tinggi, ada batasan. Tapi di kita standart MSG nya tinggi. Minuman juga sama, kadar gulanya di Indonesia itu sangat tinggi, sama halnya kalau bicara mengenai rokok dan lain-lain. Nah sekarang siapa yang mengawasi? Badan POM,” sambung Dede.
Ternyata Indonesia, kata Dede, salah satu penyakit yang menyerang masyarakat Indonesia adalah bahwa memang sebagian besar karena makanan. “Dan sebagian besar yang ditangani oleh BPJS kita adalah penyakit stroke, kanker, ginjal, diabetes, ini karena disebabkan oleh gaya hidup,” jelasnya.
Dede melanjutkan BPOM seharusnya juga diperkuat dengan fungsi kelembagaannya melalui undang-undang. Apalagi, kelembagaan BPOM saat ini hanya berdasarkan Peraturan Presiden tahun 1971. “Dengan segala keterbatasannya, dengan aturannya yang ada hanya dari 1971 berupa Perpres. Jadi artinya mereka tidak punya perlindungan, tidak punya peraturan,” katanya.
“Kita lihat lagi, obat-obat yang saat ini beredar, dengan harga yang relatif murah tapi belum tentu obat-obat itu berarti legal. Mereka menyebutnya KW Super atau ORI yang belum tentu tidak bermasalah. Lalu siapa yang mengawasi masalah ini? Hanya BPOM,” lanjut Dede.
DPR, kata Dede saat ini akan mendorong penguatan fungsi kelembagaan BPOM. “Kami hingga hari ini menerima masukan dari masyarakat. Tugas kami lainnya yakni menyatukan persepsi antara Kementerian Kesehatan dimana yang lebih berbicara mengenai masalah kesehatan dan upaya pencegahannya dan BPOM yang melakukan fungsi pengawasan, dan dari asosiasi yang agar kebijakanya membawa perkembangan asosiasi dengan baik.”
“Maka, kami DPR melihatnya lalu pemerintah ada dimana? Yang harusnya pemerintah menjadi benteng ketahanan bagi masyarakat, bahwa masyarakat punya hak untuk mendapatkan obat dan makanan yang ada proteksinya,” tambah Dede.
(kri)