Kewenangan SP3 KPK Terkait Batas Waktu Penanganan Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengajak semua pihak merenungkan dan mencermati soal revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya Pasal 40 Ayat 1.
Dalam pasal itu menyebutkan KPK, berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) sebuah kasus yang tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun, merujuk versi draf DPR atau dua tahun merujuk versi pemerintah.
"Pertanyaannya, apakah dikenal dalam hukum seseorang di SP3-kan karena waktu penyidikan dan penuntutannya telah berlangsung dalam 1 atau 2 tahun (berhenti karena waktu)," kata Ray kepada SINDOnews, Senin (16/9/2019).
(Baca juga: Beredar di Pesan WhatsApp Penyidik Polri Siap Selamatkan KPK)
Menurut Ray, jika SP3 karena batas waktu, apakah penyidik bisa dikategorikan melanggar aturan. Sedangkan, dalam pasal lain dinyatakan penghentian perkara hanya dilaporkan ke dewan pengawas.
"Tapi tidak dinyatakan bahwa laporan itu bisa dijadikan sebagai dasar melihat ada tidaknya pelanggaran etik penyidik," ujarnya.
Selain itu kata Ray, bagaimana diantisipasinya akan banyak orang ditetapkan sebagai tersangka, lalu kasusnya diambangkan sampai batas waktu satu tahun atau dua tahun untuk kemudian SP3 dengan sendirinya. Padahal hakikatnya memang tidak ada pelanggaran seperti yang disangkakan.
Kata Ray, hal ini dilakukan semata untuk misalnya 'negosiasi' dengan si korban. Atau ada kasus, karena ada 'deal' antara penyidik dan si tersangka, maka kasus diambangkan hingga SP3 karena waktu tersebut.
"Nah tinggal ditambah deretan pertanyaan lainnya. Mungkin juga jawabannya," ujar mantan Aktivis 98 asal UIN Jakarta ini.
Ditambahkan Ray, khusus poin pertanyaan pertama, apakah sifat ini kiranya dapat dipakai untuk kejahatan lain di luar pidana korupsi. Misalnya pengamen, pedagang kaki lima, nenek yang dituduh mencuri biji kakao, lalu kasusnya berlarut-larut sampai dua tahun.
"Apakah mereka bisa bebas karena SP3 waktu," tanya Ray menandaskan.
Dalam pasal itu menyebutkan KPK, berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) sebuah kasus yang tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun, merujuk versi draf DPR atau dua tahun merujuk versi pemerintah.
"Pertanyaannya, apakah dikenal dalam hukum seseorang di SP3-kan karena waktu penyidikan dan penuntutannya telah berlangsung dalam 1 atau 2 tahun (berhenti karena waktu)," kata Ray kepada SINDOnews, Senin (16/9/2019).
(Baca juga: Beredar di Pesan WhatsApp Penyidik Polri Siap Selamatkan KPK)
Menurut Ray, jika SP3 karena batas waktu, apakah penyidik bisa dikategorikan melanggar aturan. Sedangkan, dalam pasal lain dinyatakan penghentian perkara hanya dilaporkan ke dewan pengawas.
"Tapi tidak dinyatakan bahwa laporan itu bisa dijadikan sebagai dasar melihat ada tidaknya pelanggaran etik penyidik," ujarnya.
Selain itu kata Ray, bagaimana diantisipasinya akan banyak orang ditetapkan sebagai tersangka, lalu kasusnya diambangkan sampai batas waktu satu tahun atau dua tahun untuk kemudian SP3 dengan sendirinya. Padahal hakikatnya memang tidak ada pelanggaran seperti yang disangkakan.
Kata Ray, hal ini dilakukan semata untuk misalnya 'negosiasi' dengan si korban. Atau ada kasus, karena ada 'deal' antara penyidik dan si tersangka, maka kasus diambangkan hingga SP3 karena waktu tersebut.
"Nah tinggal ditambah deretan pertanyaan lainnya. Mungkin juga jawabannya," ujar mantan Aktivis 98 asal UIN Jakarta ini.
Ditambahkan Ray, khusus poin pertanyaan pertama, apakah sifat ini kiranya dapat dipakai untuk kejahatan lain di luar pidana korupsi. Misalnya pengamen, pedagang kaki lima, nenek yang dituduh mencuri biji kakao, lalu kasusnya berlarut-larut sampai dua tahun.
"Apakah mereka bisa bebas karena SP3 waktu," tanya Ray menandaskan.
(maf)