Pemerintah Didesak Kaji Ulang Aturan Rokok Elektrik
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah didesak untuk mengkaji ulang penggunaan rokok elektrik. Rokok jenis ini dinilai berisiko tinggi bagi kesehatan.
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Rita Endang menjelaskan, BPOM melakukan monitoring perkembangan peredaran produk rokok elektrik sejak produk tersebut mulai marak dikonsumsi pada 2010.
“Kami sudah menyatakan rokok elektrik yang beredar di Indonesia sebagai barang ilegal karena tidak layak dikonsumsi. Meminta kepada otoritas kesehatan untuk melarang peredarannya,” ujarnya saat diskusi “Mengkaji Produk Juul: Ditolak Singapura, Dipertanyakan Amerika Serikat, Diterima di Indonesia?”, Jumat (6/9) di Cikini, Jakarta Pusat.
Indonesia menurutnya belum memiliki regulasi yang mengatur secara teknis peredaran produk rokok elektrik, termasuk pengawasannya. Padahal secara tegas BPOM dan Kemenkes menolak investasi dan peredaran rokok elektrik dengan alasan memiliki dampak terhadap kesehatan.
Menurut Rita, BPOM telah melakukan sampling dan pengujian liquid rokok elektrik dari 2014 hingga 2017. Hasilnya menunjukkan variasi kadar nikotin yang berbeda dari yang tertera pada label. Tahun 2019 BPOM kembali melakukan pengujian sampel liquid rokok elektrik.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan Kemenkes tidak melakukan kajian pada rokok elektrik, tetapi fokus pada dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan.
“Kami ikut mengusulkan pelarangan peredaran rokok elektrik di Indonesia. Apalagi rokok elektrik bisa menjadi pintu masuk dan produk perantara untuk merokok, terutama di kalangan anak muda dan remaja,” tutur Anung kepada KORAN SINDO.
Hal ini, lanjut Anung, dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi perokok usia muda di Indonesia. Dalam target indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Presiden telah menetapkan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun harus turun dari 7,2% pada 2013 menjadi 5,4% pada 2019. Akan tetapi kenyataannya justru angka ini meningkat menjadi 9,1 % pada 2019.
Anung mengungkapkan, Kemenkes tidak dapat sendiri dan tidak spesifik membahas rokok elektrik untuk pencegahan. “Segala upaya sudah kami lakukan, termasuk penjelasan kepada Kemenperin, Kemendag, Kemenkeu, bahkan sampai Menko Perekonomian, agar jangan melihat rokok elektrik dari aspek ekonomi saja.
Misalnya hanya melihat ada pajak, ada pekerja yang dapat uang, ada giliran ekonomi di daerahnya, tetapi juga aspek dampak bagi perilaku bagi kelompok rentan, yakni remaja,” sebut Anung. Sebagian masyarakat menganggap rokok elektrik sebagai tahap awal untuk berhenti merokok.
Dokter spesialis paru Feni Fitriani mengatakan pihaknya secara medis tidak merekomendasikan rokok elektrik sebagai alat untuk berhenti merokok. Sebab keamanan jangka panjangnya belum diketahui. Jika seseorang ingin berhenti merokok, menurutnya motivasi diri sendiri yang harus kuat. Ada obat untuk berhenti merokok yang direkomendasikan WHO, yakni nikotin replacement therapy.
“Obat tersebut berupa permen yang mengandung nikotin dalam jumlah kecil. Tapi semua obat itu ada jangka waktunya, harus tiga bulan stop. Jika tidak berhasil dalam waktu tertentu bisa mencoba lagi. Bandingkan dengan rokok elektrik yang tidak ada batas waktunya,” urai Feni.
Pengamat kesehatan Hasbulah Thabrani prihatin karena kontrol pemerintah sangat lemah dan kurang cepat bergerak. Hasilnya rokok elektrik semakin banyak beredar di pasaran. Industri rokok juga semakin mengiming-imingi konsumen dengan penurunan bahaya rokok.
“Mereka mencoba menawarkan rokok elektrik yang sebenarnya isinya tetap nikotin. Argumen mereka rendah nikotinnya dan tidak berasap, mengklaim risiko lebih kecil. Tapi banyak literatur tidak ada yang bisa membuktikan rokok elektrik tidak membuat kecanduan dan selama isinya masih nikotin ya tetap saja menyebabkan kecanduan,” paparnya.
Lebih membahayakan lagi, kecanduan bisa dimulai dari dosis kecil sehingga semakin lama semakin membutuhkan dosis yang lebih besar. Remaja yang penasaran dan mencoba rokok elektrik karena kecanduan dapat pindah ke rokok konvensional.
“Sayang sekali kontrol pemerintah lemah dalam melindungi rakyatnya. Sepertinya lebih baik melindungi industri besar yang sebenarnya merusak kesehatan masyarakat,” tutur Hasbullah.
Sementara itu salah satu penjual rokok elektrik Tora Aldyan Utama mengaku sangat bertanggung jawab dengan apa yang dijualnya. Pengelola Vape on Bogor itu dengan tegas akan meminta kartu identitas kepada pelanggan yang datang.
“Setiap hari ada saja yang datang kami tolak. Yang sulit kalau jualan online karena marketplace tidak ada verifikasi usia. Karena itu 95% fokus jualan offline,” ujar Tora.
Tora mengaku sadar bahwa rokok elektrik tidak sepenuhnya aman. Namun menurut pengalamannya yang sedang berjuang untuk berhenti merokok konvensional karena alasan kesehatan. Rokok elektrik cara ampuh agar menjauhi rokok batangan. “Vaping juga setiap harinya semakin hari semakin jarang. Ini bagian dari ikhtiar saya untuk perlahan meninggalkan rokok,” sebut Tora curhat. (Ananda Nararya)
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Rita Endang menjelaskan, BPOM melakukan monitoring perkembangan peredaran produk rokok elektrik sejak produk tersebut mulai marak dikonsumsi pada 2010.
“Kami sudah menyatakan rokok elektrik yang beredar di Indonesia sebagai barang ilegal karena tidak layak dikonsumsi. Meminta kepada otoritas kesehatan untuk melarang peredarannya,” ujarnya saat diskusi “Mengkaji Produk Juul: Ditolak Singapura, Dipertanyakan Amerika Serikat, Diterima di Indonesia?”, Jumat (6/9) di Cikini, Jakarta Pusat.
Indonesia menurutnya belum memiliki regulasi yang mengatur secara teknis peredaran produk rokok elektrik, termasuk pengawasannya. Padahal secara tegas BPOM dan Kemenkes menolak investasi dan peredaran rokok elektrik dengan alasan memiliki dampak terhadap kesehatan.
Menurut Rita, BPOM telah melakukan sampling dan pengujian liquid rokok elektrik dari 2014 hingga 2017. Hasilnya menunjukkan variasi kadar nikotin yang berbeda dari yang tertera pada label. Tahun 2019 BPOM kembali melakukan pengujian sampel liquid rokok elektrik.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan Kemenkes tidak melakukan kajian pada rokok elektrik, tetapi fokus pada dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan.
“Kami ikut mengusulkan pelarangan peredaran rokok elektrik di Indonesia. Apalagi rokok elektrik bisa menjadi pintu masuk dan produk perantara untuk merokok, terutama di kalangan anak muda dan remaja,” tutur Anung kepada KORAN SINDO.
Hal ini, lanjut Anung, dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi perokok usia muda di Indonesia. Dalam target indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Presiden telah menetapkan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun harus turun dari 7,2% pada 2013 menjadi 5,4% pada 2019. Akan tetapi kenyataannya justru angka ini meningkat menjadi 9,1 % pada 2019.
Anung mengungkapkan, Kemenkes tidak dapat sendiri dan tidak spesifik membahas rokok elektrik untuk pencegahan. “Segala upaya sudah kami lakukan, termasuk penjelasan kepada Kemenperin, Kemendag, Kemenkeu, bahkan sampai Menko Perekonomian, agar jangan melihat rokok elektrik dari aspek ekonomi saja.
Misalnya hanya melihat ada pajak, ada pekerja yang dapat uang, ada giliran ekonomi di daerahnya, tetapi juga aspek dampak bagi perilaku bagi kelompok rentan, yakni remaja,” sebut Anung. Sebagian masyarakat menganggap rokok elektrik sebagai tahap awal untuk berhenti merokok.
Dokter spesialis paru Feni Fitriani mengatakan pihaknya secara medis tidak merekomendasikan rokok elektrik sebagai alat untuk berhenti merokok. Sebab keamanan jangka panjangnya belum diketahui. Jika seseorang ingin berhenti merokok, menurutnya motivasi diri sendiri yang harus kuat. Ada obat untuk berhenti merokok yang direkomendasikan WHO, yakni nikotin replacement therapy.
“Obat tersebut berupa permen yang mengandung nikotin dalam jumlah kecil. Tapi semua obat itu ada jangka waktunya, harus tiga bulan stop. Jika tidak berhasil dalam waktu tertentu bisa mencoba lagi. Bandingkan dengan rokok elektrik yang tidak ada batas waktunya,” urai Feni.
Pengamat kesehatan Hasbulah Thabrani prihatin karena kontrol pemerintah sangat lemah dan kurang cepat bergerak. Hasilnya rokok elektrik semakin banyak beredar di pasaran. Industri rokok juga semakin mengiming-imingi konsumen dengan penurunan bahaya rokok.
“Mereka mencoba menawarkan rokok elektrik yang sebenarnya isinya tetap nikotin. Argumen mereka rendah nikotinnya dan tidak berasap, mengklaim risiko lebih kecil. Tapi banyak literatur tidak ada yang bisa membuktikan rokok elektrik tidak membuat kecanduan dan selama isinya masih nikotin ya tetap saja menyebabkan kecanduan,” paparnya.
Lebih membahayakan lagi, kecanduan bisa dimulai dari dosis kecil sehingga semakin lama semakin membutuhkan dosis yang lebih besar. Remaja yang penasaran dan mencoba rokok elektrik karena kecanduan dapat pindah ke rokok konvensional.
“Sayang sekali kontrol pemerintah lemah dalam melindungi rakyatnya. Sepertinya lebih baik melindungi industri besar yang sebenarnya merusak kesehatan masyarakat,” tutur Hasbullah.
Sementara itu salah satu penjual rokok elektrik Tora Aldyan Utama mengaku sangat bertanggung jawab dengan apa yang dijualnya. Pengelola Vape on Bogor itu dengan tegas akan meminta kartu identitas kepada pelanggan yang datang.
“Setiap hari ada saja yang datang kami tolak. Yang sulit kalau jualan online karena marketplace tidak ada verifikasi usia. Karena itu 95% fokus jualan offline,” ujar Tora.
Tora mengaku sadar bahwa rokok elektrik tidak sepenuhnya aman. Namun menurut pengalamannya yang sedang berjuang untuk berhenti merokok konvensional karena alasan kesehatan. Rokok elektrik cara ampuh agar menjauhi rokok batangan. “Vaping juga setiap harinya semakin hari semakin jarang. Ini bagian dari ikhtiar saya untuk perlahan meninggalkan rokok,” sebut Tora curhat. (Ananda Nararya)
(nfl)