Menjelajah Era Kuno Jeddah di Al Balad Historical District
A
A
A
JEDDAH - Sebagai kota pelabuhan di pinggir Laut Merah, Jeddah menyimpan sejarah panjang pembentukan wilayahnya di masa lampau. Kawasan Al Balad Historical District adalah bukti peninggalan kuno yang masih terjaga hingga saat ini.
Yang dimaksud Al Balad bukan kawasan perbelanjaan yang sekarang banyak dikunjungi jamaah haji, tapi satu area yang berada di seberang timur Masjid Syeikh Ibrahim Al Juffali atau Masjid Qisas. Berada di pinggir Jalan Madinah Al Munawwarah dan Jalan King Abdul Aziz Jeddah.
Kawasan ini terbagi dalam empat wilayah, yakni As Syam, Al Yaman, Al Madzlum, dan Al Bahar. As Syam berarti semua yang ada di utara, Al Yaman merujuk pada semua yang ada di selatan, Al Mazdlum merupakan wilayah yang menjadi tempat pemakaman ulama besar bernama Afif Al Din Al Madzlum, dan Al Bahar adalah wilayah di pinggir pantai.
Mamasuki Al Balad seakan masuk ke dalam mesin waktu. Pengunjung dibawa ke masa lalu, ke sebuah kota kuno penuh dengan gedung-gedung tua bertingkat setinggi 30 meter. Bangunannya bersitektur tradisional Hijaz atau Semenanjung Arab bagian barat. Sebagian terlihat terawat, tapi banyak yang dibiarkan rusak.
"Rumah-rumah di sini berumur antara 100-800 tahun lalu," kata penduduk lokal, Kamal Badani yang memandu SINDOnews bersama tim Media Center Haji (MCH), akhir pekan lalu.
Cukup mudah mengetahui gedung atau rumah mana yang masih ditempati. Jika terlihat ada kompresor terpasang di tembok atau dinding bangunan, sudah dapat dipastikan gedung atau rumah itu ada penghuninya. Biasanya bangunan itu merupakan hotel, kafe, museum, toko barang antik/museum, atau rumah tempat tinggal.
Bangunan kuno di Al Balad cukup unik. Jika diperhatikan dengan seksama, setiap bangunan miring. Temboknya menggunakan campuran batu koral dan tanah. Di tengah tembok terdapat kayu yang disebut taklilah. Kegunaannya untuk tempat menopang tembok atas ketika bagian bawah direnovasi. Sehingga perbaikan bisa dilakukan hanya di tembok yang rusak tanpa menghancurkan semuanya.
Warna bangunan rumah juga beraneka ragam, yakni coklat, biru, dan hijau. Warna tersebut menunjukkan siapa pemilik rumah itu. Rumah berwarna coklat menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang pengusaha. Rumah warna biru berarti orang yang tinggal di dalamnya bekerja di laut, seperti nelayan atau pembuat kapal. Adapun warna hijau menunjukkan tanda kedamaian dan kemakmuran penghuninya.
Keunikan lainnya, bangunan kuno di Al Balad memiliki jendela yang disebut roshan. Bentuk roshan berbeda dengan jendela rumah di Indonesia. Meski tembok rumah terbuat dari batu koral, tapi roshan terbuat dari kayu yang ditempelkan ke dinding. Roshan juga memiliki semacam teras kecil yang bisa digunakan oleh orang untuk berdiri. Di zaman dulu biasa digunakan perempuan untuk mengobrol dengan tetangganya. Selain itu, fungsi roshan juga sebagai sumber cahaya dan sirkulasi udara di dalam rumah.
"Fungsi roshan lainnya adalah memungkinkan perempuan melihat anak-anaknya dari dalam rumah tanpa ada yang bisa melihatnya dari luar rumah," papar Kamal.
Bangunan yang paling terkenal di Al Balad adalah Bayt Naseef yang didirikan di pada 1872 sebagai tempat tinggal Gubernur Omar Naseef Efendi. Di depan rumah tumbuh pohon neem besar yang sengaja ditanam sebagai perindang dan mengusir nyamuk. Pohon asal India ini dikenal sebagai antinyamuk.
Rumah ini juga sempat dijadikan tempat tinggal oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Saud ketika berhasil menaklukkan Jeddah dan masuk ke kota ini pada Desember 1925. Selama dua tahun Raja Abdul Aziz menerima banyak tamu kerajaan dan melakukan berbagai perjanjian di rumah ini.
"Rumah ini terkenal juga karena dapurnya yang berada di atas atap. Rumah ini memiliki tangga khusus untuk kuda dan unta naik membawa barang-barang kebutuhan keluarga yang sangat banyak ke dapur," kata Kamal.
Tak jauh dari Bayt Naseef juga terdapat Masjid As Syafii yang telah berumur hampir 1.000 tahun. Tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Masjid Umari atau Masjid Al Jamal 'Atik ini memiliki menara yang berusia sekitar 800 tahun. Masjid ini terlihat kokoh dan hingga saat ini masih digunakan untuk salat oleh warga di sekitarnya.
Al Balad dahulu pernah menjadi lokasi utama kantor Kedutaan berbagai negara dari seluruh dunia. Seperti Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman, Yunani, termasuk Indonesia.
Rute Haji Zaman Dulu
Sejak masa Khalifah Utsman Bin Affan, Jeddah telah dijadikan sebagai pintu gerbang bagi jamaah haji menuju ke Mekkah dan Madinah. Khalifah ketiga tersebut membangun pelabuhan di Jeddah untuk membuka jalur bagi umat Islam dari seluruh dunia menunaikan rukun Islam kelima.
Dari sini para jamaah haji yang turun di pelabuhan Jeddah melanjutkan perjalanan ke Mekkah atau Madinah dengan menggunakan kuda atau unta. Jalur perjalanan haji itu melintasi distrik Al Balad dan hingga kini masih bisa disusuri oleh semua orang dengan mengikuti papan petunjuk di setiap tikungan jalan.
Pasca-Khulafaur Rasyidin, Jeddah terus berkembang menjadi kota pelabuhan yang ramai. Hingga masa Kesultanan Mamluk Mesir pada awal 1500-an, Gubernur Jeddah Pangeran Husain Al Kurdi memprakarsai membangun benteng yang mengelilingi Kota Jeddah untuk melindungi dari serangan Portugis yang ingin merebut jalur Laut Merah. Dengan bantuan rakyat Jeddah, tembok berhasil dibangun dan parit di luarnya sukses digali. Tembok ini memiliki dua pintu, satu menghadap Mekkah dan satu lagi ke laut. Tembok ini memiliki 6 menara dengan enam pintu, yakni Bab Mekkah, Bab Madinah, Bab Shareef, Bab Al-Bant, Bab Al Magharba, dan Bab Al Subba.
Benteng ini telah dihancurkan pada 1947 untuk keperluan rekonstruksi kota. Namun monumen meriam masih bisa ditemukan di salah sudut Al Balad. Pada zaman dulu, Al Balad juga dijadikan tempat transit jamaah haji sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekkah yang berjarak sekitar 86 kilometer dari Jeddah. Mereka menetap sementara dan baru bergerak ke Tanah Haram menjelang bulan haji.
Karena itu tak heran jika kemudian banyak muncul pasar di Al Balad. Misalnya pasar ikan, pasar sayur, pasar Baraghiyah, dan lain-lain. Namun sejak booming perdagangan minyak di Arab Saudi pada 1970-an, Al Balad ditinggalkan penghuninya. Para pegiat ekonomi, termasuk pemilik rumah, pindah ke utara kota Jeddah.
Kini tak begitu banyak yang tinggal di Al Balad. Sebagian besar hanya pedagang suvenir, pekerja di museum dan kafe, serta sedikit penduduk lokal. Di sore atau malam hari biasanya mereka berkumpul di markas, tempat terbuka di sudut lingkungan yang dilengkapi kursi panjang yang saling berhadap-hadapan. Di tempat ini para pria duduk dan berdiskusi tentang lingkungan tempat tinggal. Mereka bercerita tentang siapa yang sedang sakit, siapa yang akan menikah, dan lain sebagainya.
Meski sebagian pemilik rumah sudah pindah ke wilayah lain, tapi sebagian mereka kerap datang ke Al Balad untuk bernostalgia. "Karena menurut mereka, rumah yang ditinggali (di luar Al Balad) hanya untuk tidur dan makan. Ketika ingin meninggalkan kehidupannya, mereka datang ke Kota Tua Jeddah untuk mengenang masa lalu," katanya.
Yang dimaksud Al Balad bukan kawasan perbelanjaan yang sekarang banyak dikunjungi jamaah haji, tapi satu area yang berada di seberang timur Masjid Syeikh Ibrahim Al Juffali atau Masjid Qisas. Berada di pinggir Jalan Madinah Al Munawwarah dan Jalan King Abdul Aziz Jeddah.
Kawasan ini terbagi dalam empat wilayah, yakni As Syam, Al Yaman, Al Madzlum, dan Al Bahar. As Syam berarti semua yang ada di utara, Al Yaman merujuk pada semua yang ada di selatan, Al Mazdlum merupakan wilayah yang menjadi tempat pemakaman ulama besar bernama Afif Al Din Al Madzlum, dan Al Bahar adalah wilayah di pinggir pantai.
Mamasuki Al Balad seakan masuk ke dalam mesin waktu. Pengunjung dibawa ke masa lalu, ke sebuah kota kuno penuh dengan gedung-gedung tua bertingkat setinggi 30 meter. Bangunannya bersitektur tradisional Hijaz atau Semenanjung Arab bagian barat. Sebagian terlihat terawat, tapi banyak yang dibiarkan rusak.
"Rumah-rumah di sini berumur antara 100-800 tahun lalu," kata penduduk lokal, Kamal Badani yang memandu SINDOnews bersama tim Media Center Haji (MCH), akhir pekan lalu.
Cukup mudah mengetahui gedung atau rumah mana yang masih ditempati. Jika terlihat ada kompresor terpasang di tembok atau dinding bangunan, sudah dapat dipastikan gedung atau rumah itu ada penghuninya. Biasanya bangunan itu merupakan hotel, kafe, museum, toko barang antik/museum, atau rumah tempat tinggal.
Bangunan kuno di Al Balad cukup unik. Jika diperhatikan dengan seksama, setiap bangunan miring. Temboknya menggunakan campuran batu koral dan tanah. Di tengah tembok terdapat kayu yang disebut taklilah. Kegunaannya untuk tempat menopang tembok atas ketika bagian bawah direnovasi. Sehingga perbaikan bisa dilakukan hanya di tembok yang rusak tanpa menghancurkan semuanya.
Warna bangunan rumah juga beraneka ragam, yakni coklat, biru, dan hijau. Warna tersebut menunjukkan siapa pemilik rumah itu. Rumah berwarna coklat menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang pengusaha. Rumah warna biru berarti orang yang tinggal di dalamnya bekerja di laut, seperti nelayan atau pembuat kapal. Adapun warna hijau menunjukkan tanda kedamaian dan kemakmuran penghuninya.
Keunikan lainnya, bangunan kuno di Al Balad memiliki jendela yang disebut roshan. Bentuk roshan berbeda dengan jendela rumah di Indonesia. Meski tembok rumah terbuat dari batu koral, tapi roshan terbuat dari kayu yang ditempelkan ke dinding. Roshan juga memiliki semacam teras kecil yang bisa digunakan oleh orang untuk berdiri. Di zaman dulu biasa digunakan perempuan untuk mengobrol dengan tetangganya. Selain itu, fungsi roshan juga sebagai sumber cahaya dan sirkulasi udara di dalam rumah.
"Fungsi roshan lainnya adalah memungkinkan perempuan melihat anak-anaknya dari dalam rumah tanpa ada yang bisa melihatnya dari luar rumah," papar Kamal.
Bangunan yang paling terkenal di Al Balad adalah Bayt Naseef yang didirikan di pada 1872 sebagai tempat tinggal Gubernur Omar Naseef Efendi. Di depan rumah tumbuh pohon neem besar yang sengaja ditanam sebagai perindang dan mengusir nyamuk. Pohon asal India ini dikenal sebagai antinyamuk.
Rumah ini juga sempat dijadikan tempat tinggal oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Saud ketika berhasil menaklukkan Jeddah dan masuk ke kota ini pada Desember 1925. Selama dua tahun Raja Abdul Aziz menerima banyak tamu kerajaan dan melakukan berbagai perjanjian di rumah ini.
"Rumah ini terkenal juga karena dapurnya yang berada di atas atap. Rumah ini memiliki tangga khusus untuk kuda dan unta naik membawa barang-barang kebutuhan keluarga yang sangat banyak ke dapur," kata Kamal.
Tak jauh dari Bayt Naseef juga terdapat Masjid As Syafii yang telah berumur hampir 1.000 tahun. Tempat ibadah yang juga dikenal dengan nama Masjid Umari atau Masjid Al Jamal 'Atik ini memiliki menara yang berusia sekitar 800 tahun. Masjid ini terlihat kokoh dan hingga saat ini masih digunakan untuk salat oleh warga di sekitarnya.
Al Balad dahulu pernah menjadi lokasi utama kantor Kedutaan berbagai negara dari seluruh dunia. Seperti Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman, Yunani, termasuk Indonesia.
Rute Haji Zaman Dulu
Sejak masa Khalifah Utsman Bin Affan, Jeddah telah dijadikan sebagai pintu gerbang bagi jamaah haji menuju ke Mekkah dan Madinah. Khalifah ketiga tersebut membangun pelabuhan di Jeddah untuk membuka jalur bagi umat Islam dari seluruh dunia menunaikan rukun Islam kelima.
Dari sini para jamaah haji yang turun di pelabuhan Jeddah melanjutkan perjalanan ke Mekkah atau Madinah dengan menggunakan kuda atau unta. Jalur perjalanan haji itu melintasi distrik Al Balad dan hingga kini masih bisa disusuri oleh semua orang dengan mengikuti papan petunjuk di setiap tikungan jalan.
Pasca-Khulafaur Rasyidin, Jeddah terus berkembang menjadi kota pelabuhan yang ramai. Hingga masa Kesultanan Mamluk Mesir pada awal 1500-an, Gubernur Jeddah Pangeran Husain Al Kurdi memprakarsai membangun benteng yang mengelilingi Kota Jeddah untuk melindungi dari serangan Portugis yang ingin merebut jalur Laut Merah. Dengan bantuan rakyat Jeddah, tembok berhasil dibangun dan parit di luarnya sukses digali. Tembok ini memiliki dua pintu, satu menghadap Mekkah dan satu lagi ke laut. Tembok ini memiliki 6 menara dengan enam pintu, yakni Bab Mekkah, Bab Madinah, Bab Shareef, Bab Al-Bant, Bab Al Magharba, dan Bab Al Subba.
Benteng ini telah dihancurkan pada 1947 untuk keperluan rekonstruksi kota. Namun monumen meriam masih bisa ditemukan di salah sudut Al Balad. Pada zaman dulu, Al Balad juga dijadikan tempat transit jamaah haji sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekkah yang berjarak sekitar 86 kilometer dari Jeddah. Mereka menetap sementara dan baru bergerak ke Tanah Haram menjelang bulan haji.
Karena itu tak heran jika kemudian banyak muncul pasar di Al Balad. Misalnya pasar ikan, pasar sayur, pasar Baraghiyah, dan lain-lain. Namun sejak booming perdagangan minyak di Arab Saudi pada 1970-an, Al Balad ditinggalkan penghuninya. Para pegiat ekonomi, termasuk pemilik rumah, pindah ke utara kota Jeddah.
Kini tak begitu banyak yang tinggal di Al Balad. Sebagian besar hanya pedagang suvenir, pekerja di museum dan kafe, serta sedikit penduduk lokal. Di sore atau malam hari biasanya mereka berkumpul di markas, tempat terbuka di sudut lingkungan yang dilengkapi kursi panjang yang saling berhadap-hadapan. Di tempat ini para pria duduk dan berdiskusi tentang lingkungan tempat tinggal. Mereka bercerita tentang siapa yang sedang sakit, siapa yang akan menikah, dan lain sebagainya.
Meski sebagian pemilik rumah sudah pindah ke wilayah lain, tapi sebagian mereka kerap datang ke Al Balad untuk bernostalgia. "Karena menurut mereka, rumah yang ditinggali (di luar Al Balad) hanya untuk tidur dan makan. Ketika ingin meninggalkan kehidupannya, mereka datang ke Kota Tua Jeddah untuk mengenang masa lalu," katanya.
(amm)