Pakar Hukum Sebut UU JPH Bukti Negara Hadir untuk Masyarakat
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum Universitas Al Azhar Suparji Ahmad menilai, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) bukti bahwa negara hadir secara serius untuk menanggapi pentingnya sertifikasi halal.
Hal ini dikatakan Suparji dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk Pro Kontra Implementasi UU Jaminan Produk Halal, di d'consulate, Jakarta Pusat, Sabtu (31/8/2019).
"Undang-undang itu satu bukti hadirnya negara untuk mengatasi kehidupan masyarakat, tentunya semuanya diharapkan menjadi lebih baik jangan menimbulkan masalah baru," ujar Suparji.
Maka dari itu kata Suparji, dalam penyusunan UU sertifikasi halal itu harus jelas landasannya. Mulai landasan sosiologisnya, hingga landasan yuridisnya, agar UU itu dapat ditafsirkan dengan baik.
Namun dibalik hadirnya UU JPH itu, memunculkan beberapa persoalan yang sangat serius. Misal, terlalu banyak norma yang mengatur tentang kewajiban.
Sehingga sebagai suatu bersifat imperatif akan ada konsekuensi hukum, mestinya kan harus ada satu UU itu menfasilitasi bagaimana UU itu kemudian masyarakat bisa berkembang dengan baik bukan justru menjerat masyarakat pelaku usaha," jelasnya.
Suparji juga menyebut UU JPH ini bertentangan dengan semangat debirokratisasi. Karena banyak birokrasi baru yang akan memprosesnya menjadi lama dalam proses sertifikasi halal, yakni adanya unsur dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), LPPOM MUI hingga Lembaga Pemeriksa Halal.
Selain itu pada sisi norma, lanjut Suparji, bakal berdampak pada kehidupan masyarakat kedepan. Sebab, bakal ada tantangab baru pada 17 Oktober 2019 nanti saat mulainya implementasi UU JPH.
"Yang semula sudah berjalan dengan baik tapi karena setelah 17 Oktober nanti ada tantangan baru, yang itu sebetulnya belum disiapkan secara baik, misalnya selama ini LPPOM MUI sudah menjalankan sertifikasi halal, tapi dengan undang-undang ini semuanya di wajibkan," jelasnya.
"Tapi kalau lihat masyarakat apakah sudah dipersiapkan secara baik, sekarang ini apakah sudah ada LPH didirikan, Auditor dilatih secara profesional dan sebagainya, dengan demikian ini akan jadi persoalan bagaimana pelaksanaan dari undang-undang itu," tutupnya.
Hal ini dikatakan Suparji dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk Pro Kontra Implementasi UU Jaminan Produk Halal, di d'consulate, Jakarta Pusat, Sabtu (31/8/2019).
"Undang-undang itu satu bukti hadirnya negara untuk mengatasi kehidupan masyarakat, tentunya semuanya diharapkan menjadi lebih baik jangan menimbulkan masalah baru," ujar Suparji.
Maka dari itu kata Suparji, dalam penyusunan UU sertifikasi halal itu harus jelas landasannya. Mulai landasan sosiologisnya, hingga landasan yuridisnya, agar UU itu dapat ditafsirkan dengan baik.
Namun dibalik hadirnya UU JPH itu, memunculkan beberapa persoalan yang sangat serius. Misal, terlalu banyak norma yang mengatur tentang kewajiban.
Sehingga sebagai suatu bersifat imperatif akan ada konsekuensi hukum, mestinya kan harus ada satu UU itu menfasilitasi bagaimana UU itu kemudian masyarakat bisa berkembang dengan baik bukan justru menjerat masyarakat pelaku usaha," jelasnya.
Suparji juga menyebut UU JPH ini bertentangan dengan semangat debirokratisasi. Karena banyak birokrasi baru yang akan memprosesnya menjadi lama dalam proses sertifikasi halal, yakni adanya unsur dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), LPPOM MUI hingga Lembaga Pemeriksa Halal.
Selain itu pada sisi norma, lanjut Suparji, bakal berdampak pada kehidupan masyarakat kedepan. Sebab, bakal ada tantangab baru pada 17 Oktober 2019 nanti saat mulainya implementasi UU JPH.
"Yang semula sudah berjalan dengan baik tapi karena setelah 17 Oktober nanti ada tantangan baru, yang itu sebetulnya belum disiapkan secara baik, misalnya selama ini LPPOM MUI sudah menjalankan sertifikasi halal, tapi dengan undang-undang ini semuanya di wajibkan," jelasnya.
"Tapi kalau lihat masyarakat apakah sudah dipersiapkan secara baik, sekarang ini apakah sudah ada LPH didirikan, Auditor dilatih secara profesional dan sebagainya, dengan demikian ini akan jadi persoalan bagaimana pelaksanaan dari undang-undang itu," tutupnya.
(maf)