Tokoh Muda Papua Sebut Pemerintah Lamban Tanggapi Papua
A
A
A
JAKARTA - Tokoh Muda Papua, Samuel Tabani menilai pemerintah kerap lamban menangangi kasus-kasus yang terjadi di tanah Papua. Hal ini diungkapkan Samuel dalam jumpa pers bersama Menko Polhukam Wiranto dan tokoh-tokoh Papua di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (30/8/2019).“Waktu tokoh Papua, Pak Natalius Pigai mengungkap ke publik tentang masalah rasisme, negara tidak hadir. Justru hadir ketika warga Papua di Surabaya marah. Hal-hal ini seharusnya negara harus hadir, proteksi. Sehingga warga Papua merasa berada dari bangsa,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Samuel pun menyoroti warga asli Papua untuk dilibatkan di dalam PT Freeport. “Masalah Papua ini memang sangat susah untuk mengatur, karena sejak awal masalah Papua ini memang sangat besar bagi bangsa ini untuk mengatur. Karena sejak awal, untuk PT Freeport untuk melibatkan orang asli Papua adalah sulit sekali, meskipun pada waktu itu ada perjanjian dengan pemerintah,” jelasnya.
Bahkan, kata Samuel, warga Papua harus melakukan demo terlebih dahulu jika ingin aspirasinya didengar oleh pemerintah pusat. “Lalu orang Papua melakukan demo yang luar biasa, kemudian ada perhatian. Memang selama ini ada program 7 suku, itu pertama yang kedua UU Otonomi Khusus mau lahir, orang Papua harus demo."
"Demonya sampai bentuk tim 100 sampai demonya ke Jakarta. Hari ini Otsusnya sudah 20 tahun, saya ini generasi muda dan teman-teman seumur usia saya, kami terus merasa terganggu dengan program yang tidak memberikan ruang-ruang besar bagi generasi muda Papua,” sambung dia.
Dia pun meminta generasi muda Papua diberi ruang dan dilibatkan dalam mengambil kebijakan untuk pembangunan nasional maupun provinsi. “Dan hampir bersamaan, operasi militer hampir setiap hari terjadi di Papua. Di sini, hampir 100% generasi muda Papua hari ini yang turun ke lapangan seluruhnya anak-anak muda. Dan sekarang kalau anak-anak muda ini pikirannya tidak kita rangkul tidak diberikan ruang untuk mereka terlibat dalam semua kebijakan nasional maupun provinsi, Papua tidak ada masa depan untuk negara ini,” tegasnya.
Karena itu, Dia memohon kepada Presiden Jokowi menteri Kabinet Kerja periode kedua nanti tidak melakukan pembiaran penegakan hukum. Dia mencontohkan, ketika terjadi insiden di Surabaya harusnya langsung dilakukan proses hukum.
"Khususnya, kemarin di Surabaya, kita harus demo terlebih dahulu baru diproses. Padahal rasisme ini sudah terjadi sejak lama. Itu menjadi amarah bagi warga Papua hari ini,” papar Samuel.
Samuel pun sepakat untuk mengatasi aksi di Papua saat ini harus cooling down terlebih dahulu. Dia juga meminta para generasi muda di Papua untuk memberi ruang, waktu, tempat bagi pemerintah untuk menghadirkan tokoh-tokoh untuk melihat masa depan Papua seperti apa dalam negara ini.
"Karena kita lah yang akan menentukan, kita lah yang akan merasakan nasib kita di tanah Papua di dalam negara ini,” ucapnya.
Namun, Samuel pun meminta agar pasukan di Nguga, Papua ditarik. “Hari ini kita sibuk demo di Jayapura, di Manokwari, kita sibuk dimana-mana di Papua tapi orang pertama yang menjadi korban ini kita belum pernah bahas lagi. Karena itu, Bapak Menko Polhukam Wiranto tadi sampaikan bahwa akan bentuk tim dan lihat pasukan-pasukan mana yang nanti kita tempatkan dan mana yang harus kita tarik,” paparnya.
Menanggapi hal itu, Menko Polhukam Wiranto mengatakan aspirasi dari tokoh-tokoh Papua akan menjadi perhatian. “Tetapi, uneg-uneg itu, harapan itu, tidak bisa selesai dengan demonstrasi. Harapan itu tidak bisa selesai dengan kita membuat anarki. Tapi harapan itu bisa selesai kalau kita dialog. Kalau kita kompromi. Dialog itu bisa terjadi, dialog yang konstruktif, bukan tegang-tegangan urat leher itu terjadi kalau kita sudah cooling down,” tegasnya.
Sementara untuk penarikan di Nduga, Wiranto memastikan jika suasana di Papua telah kondusif dipastikan akan merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk memerintakhan Panglima TNI menarik pasukan di Nduga.
“Nah, sama seperti militer di Nduga, Papua yang datang ke sana bukan cari kerjaan, datang di sana karena ada sebab, ada akibat. Dikirim ke sana karena ingin mengamankan masyarakat dari kegiatan kriminal. Dari teman-teman yang belum sadar. Kalau nanti sudah kondusif, tidak ada serangan-serangan bersenjata dari oknum tidak ada. Saya jamin akan ditarik, kalau sudah tidak ada serangan, gangguan keamanan. Jam itu juga, saya akan menyarakan kepada presiden untuk Panglima TNI menarik pasukan dari Nduga,” ungkapnya.
Wiranto a meminta, semua masalah harus diselesaikan dengan dialog. Bukan dengan demo dan merusak. “Nanti ke depan, pemikiran-pemikiran, aspirasi warga Papua diselesaikan dengan dialog yang baik, bukan dengan cara demo. Tadi disampaikan ada demo dulu, baru solusi, ke depan nanti tidak boleh, tidak perlu demo. Saya yakin Presiden Jokowi untuk kedua kalinya nanti lebih paham betul untuk bisa membangun Papua,” tutup Wiranto.
Dalam kesempatan itu, Samuel pun menyoroti warga asli Papua untuk dilibatkan di dalam PT Freeport. “Masalah Papua ini memang sangat susah untuk mengatur, karena sejak awal masalah Papua ini memang sangat besar bagi bangsa ini untuk mengatur. Karena sejak awal, untuk PT Freeport untuk melibatkan orang asli Papua adalah sulit sekali, meskipun pada waktu itu ada perjanjian dengan pemerintah,” jelasnya.
Bahkan, kata Samuel, warga Papua harus melakukan demo terlebih dahulu jika ingin aspirasinya didengar oleh pemerintah pusat. “Lalu orang Papua melakukan demo yang luar biasa, kemudian ada perhatian. Memang selama ini ada program 7 suku, itu pertama yang kedua UU Otonomi Khusus mau lahir, orang Papua harus demo."
"Demonya sampai bentuk tim 100 sampai demonya ke Jakarta. Hari ini Otsusnya sudah 20 tahun, saya ini generasi muda dan teman-teman seumur usia saya, kami terus merasa terganggu dengan program yang tidak memberikan ruang-ruang besar bagi generasi muda Papua,” sambung dia.
Dia pun meminta generasi muda Papua diberi ruang dan dilibatkan dalam mengambil kebijakan untuk pembangunan nasional maupun provinsi. “Dan hampir bersamaan, operasi militer hampir setiap hari terjadi di Papua. Di sini, hampir 100% generasi muda Papua hari ini yang turun ke lapangan seluruhnya anak-anak muda. Dan sekarang kalau anak-anak muda ini pikirannya tidak kita rangkul tidak diberikan ruang untuk mereka terlibat dalam semua kebijakan nasional maupun provinsi, Papua tidak ada masa depan untuk negara ini,” tegasnya.
Karena itu, Dia memohon kepada Presiden Jokowi menteri Kabinet Kerja periode kedua nanti tidak melakukan pembiaran penegakan hukum. Dia mencontohkan, ketika terjadi insiden di Surabaya harusnya langsung dilakukan proses hukum.
"Khususnya, kemarin di Surabaya, kita harus demo terlebih dahulu baru diproses. Padahal rasisme ini sudah terjadi sejak lama. Itu menjadi amarah bagi warga Papua hari ini,” papar Samuel.
Samuel pun sepakat untuk mengatasi aksi di Papua saat ini harus cooling down terlebih dahulu. Dia juga meminta para generasi muda di Papua untuk memberi ruang, waktu, tempat bagi pemerintah untuk menghadirkan tokoh-tokoh untuk melihat masa depan Papua seperti apa dalam negara ini.
"Karena kita lah yang akan menentukan, kita lah yang akan merasakan nasib kita di tanah Papua di dalam negara ini,” ucapnya.
Namun, Samuel pun meminta agar pasukan di Nguga, Papua ditarik. “Hari ini kita sibuk demo di Jayapura, di Manokwari, kita sibuk dimana-mana di Papua tapi orang pertama yang menjadi korban ini kita belum pernah bahas lagi. Karena itu, Bapak Menko Polhukam Wiranto tadi sampaikan bahwa akan bentuk tim dan lihat pasukan-pasukan mana yang nanti kita tempatkan dan mana yang harus kita tarik,” paparnya.
Menanggapi hal itu, Menko Polhukam Wiranto mengatakan aspirasi dari tokoh-tokoh Papua akan menjadi perhatian. “Tetapi, uneg-uneg itu, harapan itu, tidak bisa selesai dengan demonstrasi. Harapan itu tidak bisa selesai dengan kita membuat anarki. Tapi harapan itu bisa selesai kalau kita dialog. Kalau kita kompromi. Dialog itu bisa terjadi, dialog yang konstruktif, bukan tegang-tegangan urat leher itu terjadi kalau kita sudah cooling down,” tegasnya.
Sementara untuk penarikan di Nduga, Wiranto memastikan jika suasana di Papua telah kondusif dipastikan akan merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk memerintakhan Panglima TNI menarik pasukan di Nduga.
“Nah, sama seperti militer di Nduga, Papua yang datang ke sana bukan cari kerjaan, datang di sana karena ada sebab, ada akibat. Dikirim ke sana karena ingin mengamankan masyarakat dari kegiatan kriminal. Dari teman-teman yang belum sadar. Kalau nanti sudah kondusif, tidak ada serangan-serangan bersenjata dari oknum tidak ada. Saya jamin akan ditarik, kalau sudah tidak ada serangan, gangguan keamanan. Jam itu juga, saya akan menyarakan kepada presiden untuk Panglima TNI menarik pasukan dari Nduga,” ungkapnya.
Wiranto a meminta, semua masalah harus diselesaikan dengan dialog. Bukan dengan demo dan merusak. “Nanti ke depan, pemikiran-pemikiran, aspirasi warga Papua diselesaikan dengan dialog yang baik, bukan dengan cara demo. Tadi disampaikan ada demo dulu, baru solusi, ke depan nanti tidak boleh, tidak perlu demo. Saya yakin Presiden Jokowi untuk kedua kalinya nanti lebih paham betul untuk bisa membangun Papua,” tutup Wiranto.
(kri)