Kuliah Umum di Kampus UP, Kepala BNPT Ajak Waspadai Paham Negatif
A
A
A
JAKARTA - Kampus adalah lingkungan para calon pemimpin dan pemikir bangsa digembleng dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Namun ironisnya, kampus juga menjadi sasaran empuk penyebaran paham-paham negatif seperti radikalisme.
Untuk itu para mahasiswa baru harus diberi pemahaman tentang bahaya radikalisme yang berkonotasi negatif seperti intoleransi, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan takfiri.
Hal tersebut dinilai penting agar mahasiswa memiliki daya tahan dan menjadi agen perubahan atau agent of change dalam melawan penyeberan radikalisme.
“Oleh karena itu saya berkepentingan mengingatkan dan membekali mereka. Tolong fokus belajar, capai cita-cita dan jangan bias kemana-mana. Apalagi ada hal-hal terkait paham negatif itu, segera laporkan ke pengelola kampus atau sekolah, agar segera diantisipasi dan diatasi. Kalau dibiarkan dan paham itu terlanjur menyebar, pasti akan sulit menanganinya,” tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius.
Suhardi mengatakan itu saat memberikan Kuliah Umum dalam Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Universitas Pancasila (UP) 2019 di Kampus UP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin 26 Agustus 2019.
Suhardi mengaku tidak akan pernah bosan berkeliling kampus untuk memberikan pemahaman mengenai ancaman radikalisme dan terorisme. Tahun 2018 lalu, dia bahkan berhasil membuat Rekor MURI dengan memberikan kuliah umum mengenai wawasan kebangsaan dan bahaya tentang radikalisme dan terorisme kepada 75.075 orang dari berbagai perguruan tinggi.
Di awal tahun ajaran baru 2019, Suhardi dan seluruh jajaran BNPT juga disebar untuk memberikan pemahaman serupa di berbagai kampus. Minggu lalu Suhardi memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Universitas Andalas, dan Universitas Negeri Padang.
“Mahasiswa baru adalah entry point yang bisa diinfiltrasi karena mereka dari berbagai macam sekolah menengah, yang mungkin masih gagal paham tentang lingkungan sekitar, terutama bahaya radikalisme dan terorisme. Entry point itulah yang akan dimanfaatkan kelompok-kelompok negatif tersebut untuk menyebarkan ideologinya,” tutur mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini.
Di hadapan 2.367 mahasiswa baru UP, Suhardi Alius memaparkan tentang bagaimana ciri-ciri orang terpapar paham intoleransi dan sebagainya. Dengan begitu deteksi dini akan berjalan dengan sendirinya dan kondisi itu akan cepat diketahui pengelola kampus.
Bila ada orang yang demikian, kata dia, para mahasiswa harus bisa mengingatkan. Tapi bila sudah diingatkan orang tersebut tetap tidak berubah, maka pengelola kampus bisa berkoordinasi dengan BNPT.
Suhardi menegaskan, jangan biarkan gejala radikalisme di kampus. Untuk itu, budaya saling mengingatkan dihidupkan lagi di kampus, juga saling mengisi di tengah globalisasi digital informasi ini.
Keakraban juga harus disatukan lagi serta bagaimana bangsa Indonesia mengenal budaya dan jatidiri bangsa jangan ditinggalkan.
“Bangsa ini besar karena pahlawan dan sejarah bangsanya. Jangan lupakan itu. Mudahan-mudahan mereka jadi orang berguna bagi bangsa Indonesia,” kata Suhardi.
Dia juga mengingatkan kembali tentang perubahan pola penyebaran radikalisme tersebut. Kalau dulu, penyebarannya bersifat offline dengan bertatap muka, sekarang orang mencuci otak dan membuat kelompok destruktif hanya dengan media online.
Bahkan, kata dia, ada orang tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, begitu kena cuci otak, begitu keluar mereka jadi radikal. Selain itu juga yang menggunakan kombinasi offline dan online.
Menurut Suhardi, paham itu adalah ideologi. Bahkan dari salah satu tersangka pelaku bom Bali, Ali Imron, untuk mencuci otak seseorang hanya butuh 2 jam. Hal ini terus diingatkan kepada para mahasiswa agar mereka tidak terinfiltrasi.
“Mereka ini sasaran untuk dicuci, masih muda, emosi belum stabil, mencari jatidi diri, ada semacam tawaran menjadi hero (pahlawan) cepat sekali responsnya. Kita harus selamatkan mereka, makanya kita berikan pemahaman agar mereka bisa mengidentifikasi dan mendesiminasikan pesan-pesan dengan gaya mereka,” papar mantan Kapolda Jabar ini.
Mengenai hasil survei beberapa lembaga tentang kampus yang terpapar radikalisme, Suhardi menegaskan, BNPT tidak akan mengeluarkan rilis atau survei semacam ini.
Menurut dia, data-data seperti itu tidak mungkin ditunjukkannya karena masing-masing kampus berbeda-beda tingkat terpaparnya. Ada yang tebal, ada yang tipis.
“Tidak mungkin saya membuka itu. Kalau saya rilis itu, saya takut orang tua akan takut menyekolahkan anaknya ke kampus tersebut. Nanti siapa yang tanggungjawab terhadap masa depan Indonesia. Silakan lembaga lain merilis, kami tidak. Tugas kami mereduksi bahkan menghilangkan paham-paham negatif tersebut,” tuturnya,
Sementara itu, Rektor UP Prof Dr Wahono Sumaryono mengapresiasi kuliah umum yang berikan Kepala BNPT.
Menurut dia, apa yang dipaparkan sangat bagus dalam memberikan wawasan kebangsaan dan pemahaman radikalisme dan terorisme, terutama dengan strategi pendekatan kemanusiaan yang dilakukan. Hal ini akan ditindaklanjuti dalam mengantisipasi dan membersihkan paham negatif dari kalangan kampus UP.
Salah satunya melalui Masjid At-Taqwa, masjid kampus yang baru diresmikan akhir 2018 itu. Menurut dia, Masjid At-Taqwa tidak hanya digunakan mahasiswa, civitas academica UP saja, tetapi juga masyarakat umum di sekitarnya.
“Di setiap kegiatan masjid, terutama Jumatan, kami selalu menghadirkan penceramah-penceramah yang moderat dan mengusung Islam rahmatan lil alamin dan nilai-nilai Pancasila. Kita berharap dengan syiar seperti itu makin banyak orang menyadari dengan memahami dan mengimplementasikan Pancasila itu pada dasarnya juga menerapkan apa-apa yang menjadi esensi ajaran agama Islam,” terang Wahono.
Di samping itu, lanjut dia, kegiatan kemahasiswaan yang bersifat akademik dan sebagainya dan tidak kalah penting untuk menumbuhkan semangat keadilan sosial, UP juga mengajak mahasiswa melakukan kuliah kerja nyata.
Saat ini ada dua proyek percontohan dalam mewujudkan keadilan sosial, yaitu di Desa Leuwisadeng dan Desa Gobang, Kabupaten Bogor.
“Mulai infrastrukrur jalan di beton, saluran air, pendidkan sekolah, sarana dan prasarana dibantu, penerangan dengan solar cell, semua kami bantu. Kami berharap itu bisa menjadi caracter building bagi para mahasiswa,” tandas Wahono.
Namun ironisnya, kampus juga menjadi sasaran empuk penyebaran paham-paham negatif seperti radikalisme.
Untuk itu para mahasiswa baru harus diberi pemahaman tentang bahaya radikalisme yang berkonotasi negatif seperti intoleransi, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan takfiri.
Hal tersebut dinilai penting agar mahasiswa memiliki daya tahan dan menjadi agen perubahan atau agent of change dalam melawan penyeberan radikalisme.
“Oleh karena itu saya berkepentingan mengingatkan dan membekali mereka. Tolong fokus belajar, capai cita-cita dan jangan bias kemana-mana. Apalagi ada hal-hal terkait paham negatif itu, segera laporkan ke pengelola kampus atau sekolah, agar segera diantisipasi dan diatasi. Kalau dibiarkan dan paham itu terlanjur menyebar, pasti akan sulit menanganinya,” tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius.
Suhardi mengatakan itu saat memberikan Kuliah Umum dalam Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru Universitas Pancasila (UP) 2019 di Kampus UP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin 26 Agustus 2019.
Suhardi mengaku tidak akan pernah bosan berkeliling kampus untuk memberikan pemahaman mengenai ancaman radikalisme dan terorisme. Tahun 2018 lalu, dia bahkan berhasil membuat Rekor MURI dengan memberikan kuliah umum mengenai wawasan kebangsaan dan bahaya tentang radikalisme dan terorisme kepada 75.075 orang dari berbagai perguruan tinggi.
Di awal tahun ajaran baru 2019, Suhardi dan seluruh jajaran BNPT juga disebar untuk memberikan pemahaman serupa di berbagai kampus. Minggu lalu Suhardi memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Universitas Andalas, dan Universitas Negeri Padang.
“Mahasiswa baru adalah entry point yang bisa diinfiltrasi karena mereka dari berbagai macam sekolah menengah, yang mungkin masih gagal paham tentang lingkungan sekitar, terutama bahaya radikalisme dan terorisme. Entry point itulah yang akan dimanfaatkan kelompok-kelompok negatif tersebut untuk menyebarkan ideologinya,” tutur mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini.
Di hadapan 2.367 mahasiswa baru UP, Suhardi Alius memaparkan tentang bagaimana ciri-ciri orang terpapar paham intoleransi dan sebagainya. Dengan begitu deteksi dini akan berjalan dengan sendirinya dan kondisi itu akan cepat diketahui pengelola kampus.
Bila ada orang yang demikian, kata dia, para mahasiswa harus bisa mengingatkan. Tapi bila sudah diingatkan orang tersebut tetap tidak berubah, maka pengelola kampus bisa berkoordinasi dengan BNPT.
Suhardi menegaskan, jangan biarkan gejala radikalisme di kampus. Untuk itu, budaya saling mengingatkan dihidupkan lagi di kampus, juga saling mengisi di tengah globalisasi digital informasi ini.
Keakraban juga harus disatukan lagi serta bagaimana bangsa Indonesia mengenal budaya dan jatidiri bangsa jangan ditinggalkan.
“Bangsa ini besar karena pahlawan dan sejarah bangsanya. Jangan lupakan itu. Mudahan-mudahan mereka jadi orang berguna bagi bangsa Indonesia,” kata Suhardi.
Dia juga mengingatkan kembali tentang perubahan pola penyebaran radikalisme tersebut. Kalau dulu, penyebarannya bersifat offline dengan bertatap muka, sekarang orang mencuci otak dan membuat kelompok destruktif hanya dengan media online.
Bahkan, kata dia, ada orang tidak pernah berhubungan dengan dunia luar, begitu kena cuci otak, begitu keluar mereka jadi radikal. Selain itu juga yang menggunakan kombinasi offline dan online.
Menurut Suhardi, paham itu adalah ideologi. Bahkan dari salah satu tersangka pelaku bom Bali, Ali Imron, untuk mencuci otak seseorang hanya butuh 2 jam. Hal ini terus diingatkan kepada para mahasiswa agar mereka tidak terinfiltrasi.
“Mereka ini sasaran untuk dicuci, masih muda, emosi belum stabil, mencari jatidi diri, ada semacam tawaran menjadi hero (pahlawan) cepat sekali responsnya. Kita harus selamatkan mereka, makanya kita berikan pemahaman agar mereka bisa mengidentifikasi dan mendesiminasikan pesan-pesan dengan gaya mereka,” papar mantan Kapolda Jabar ini.
Mengenai hasil survei beberapa lembaga tentang kampus yang terpapar radikalisme, Suhardi menegaskan, BNPT tidak akan mengeluarkan rilis atau survei semacam ini.
Menurut dia, data-data seperti itu tidak mungkin ditunjukkannya karena masing-masing kampus berbeda-beda tingkat terpaparnya. Ada yang tebal, ada yang tipis.
“Tidak mungkin saya membuka itu. Kalau saya rilis itu, saya takut orang tua akan takut menyekolahkan anaknya ke kampus tersebut. Nanti siapa yang tanggungjawab terhadap masa depan Indonesia. Silakan lembaga lain merilis, kami tidak. Tugas kami mereduksi bahkan menghilangkan paham-paham negatif tersebut,” tuturnya,
Sementara itu, Rektor UP Prof Dr Wahono Sumaryono mengapresiasi kuliah umum yang berikan Kepala BNPT.
Menurut dia, apa yang dipaparkan sangat bagus dalam memberikan wawasan kebangsaan dan pemahaman radikalisme dan terorisme, terutama dengan strategi pendekatan kemanusiaan yang dilakukan. Hal ini akan ditindaklanjuti dalam mengantisipasi dan membersihkan paham negatif dari kalangan kampus UP.
Salah satunya melalui Masjid At-Taqwa, masjid kampus yang baru diresmikan akhir 2018 itu. Menurut dia, Masjid At-Taqwa tidak hanya digunakan mahasiswa, civitas academica UP saja, tetapi juga masyarakat umum di sekitarnya.
“Di setiap kegiatan masjid, terutama Jumatan, kami selalu menghadirkan penceramah-penceramah yang moderat dan mengusung Islam rahmatan lil alamin dan nilai-nilai Pancasila. Kita berharap dengan syiar seperti itu makin banyak orang menyadari dengan memahami dan mengimplementasikan Pancasila itu pada dasarnya juga menerapkan apa-apa yang menjadi esensi ajaran agama Islam,” terang Wahono.
Di samping itu, lanjut dia, kegiatan kemahasiswaan yang bersifat akademik dan sebagainya dan tidak kalah penting untuk menumbuhkan semangat keadilan sosial, UP juga mengajak mahasiswa melakukan kuliah kerja nyata.
Saat ini ada dua proyek percontohan dalam mewujudkan keadilan sosial, yaitu di Desa Leuwisadeng dan Desa Gobang, Kabupaten Bogor.
“Mulai infrastrukrur jalan di beton, saluran air, pendidkan sekolah, sarana dan prasarana dibantu, penerangan dengan solar cell, semua kami bantu. Kami berharap itu bisa menjadi caracter building bagi para mahasiswa,” tandas Wahono.
(dam)