Tingkatkan Kepercayaan, BPK Dinilai Perlu Berinovasi

Rabu, 21 Agustus 2019 - 20:56 WIB
Tingkatkan Kepercayaan, BPK Dinilai Perlu Berinovasi
Tingkatkan Kepercayaan, BPK Dinilai Perlu Berinovasi
A A A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai perlu meningkatkan kepercayaan dari para stakeholder-nya.

Tidak hanya itu, BPK juga perlu cepat tanggap terhadap lingkungan pengendalian, dalam bentuk inovasi pelaksanaan audit untuk pencapaian visi dan misi secara optimal

Hal ini mencuat dalam diskusi Dialektika yang digelar LSIN di Dapoer Ciragil, Jakarta Selatan, Senin 19 Agustus 2019 dengan pembicara mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sekarang menjabat Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, La Ode Ida dan mantan auditor utama BPK yang juga mantan Dubes Indonesia di Genewa, Syafri Adnan Baharuddin.

Dalam diskusi, Syafri Adnan yang pernah menjadi auditor utama BPK melihat sampai saat ini kepedulian publik terhadap pemilihan anggota BPK masih belum tinggi.

“Lain halnya dengan pemilihan KPK yang tinggi saat pemilihan,” katanya.

Padahal, kata Syafri, KPK adalah lembaga adhoc yang keberadaannya karena kondisi negara yang bersifat endemik terkait korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) Yang pada saatnya apabila tidak diperlukan lagi bisa dibubarkan.

“BPK lebih identik dengan lembaga tinggi negara yang melakukan pemeriksaan keuangan dengan hasilnya berupa pemberian opini antara lain WTP (wajar tanpa pengecualian) yang begitu dianggap sakral,” katanya.

Dalam diskusi dengan tema Revolusi Mental Mengelola Keuangan Negara secara Good Governance juga terungkap bahwa BPK lebih identik dengan produk auditnya, terutama hasil audit dengan opini WTP.

Dalam paparannya, Syafri Adnan mengatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan melakukan pemeriksaan keuangan sebagai salah satu dari tiga jenis pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 15 Tahun 2006 mengenai BPK.

Karena itu, hasil audit sering kali dijadikan acuan bagi pengelolaan keuangan lembaga atau instansi pemerintah, juga pemerintah daerah.

“Padahal, yang harus diketahui oleh publik adalah opini atas pemeriksaan laporan keuangan yang disampaikan oleh auditor adalah penilaian atas “kewajaran” laporan keuangan tersebut. Bukan sebuah penilaian atas “kebenaran” dari laporan keuangan tersebut,” kata Syafri.

Tidak bisa kemudian diasumsikan bahwa ketika ada suatu lembaga atau instansi pemerintahan, atau pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas audit BPK, dinilai tidak ada permasalahan dalam pengelolaan keuangannya.

“Yang benar adalah penyajian laporan keuangan dinilai wajar sesuai dengan Standar Sistem AKuntansi pemerintah yang berlaku”. Kata Syafri dalam paparanya.

Syafri menegaskan ke depan BPK harus lebih memberi porsi yang tinggi kepada pemeriksaan kinerja, karena melalui pemeriksaan inilah BPK dapat memberi rekomendasi apakah suatu program/kegiatan/proyek telah dilaksanakan secara 3 E (Efektiv, Efisien, Ekonomis)?, sehingga memberikan manfaat kepada masyarakat luas dan efektivitas anggaran tidak lagi hanya dilihat dari sekedar tingkat pencapaiannya.

Sebagai PNS hampir 40 tahun, Syafri memandang peningkatan peran BPK untuk mencapai trust dari publik menjadi tanggung jawab mulai dari pimpinan anggota BPK, auditor utama, hingga anggota pada level terendah.

“Di sini, integritas, profesionalisme dan independensi menjadi penting. Ini adalah revolusi mental untuk kita akselerasi optimalisasi pencapaiannya agar BPK ke depan menjadi supreme audit board. Terpandang dan menjadi acuan dunia,” katanya.

Ombudsman Indonesia, La Ode Ida menyoroti proses pemilihan anggota BPK yang masih mencerminkan representasi politik.

“Saat ini nasib anggota BPK masih ditentukan oleh kekuatan politik di DPR. Ini berbeda dengan penentuan capim KPK, atau instansi lain,” kata La Ode Ida.

Disampaikan oleh La Ode Ida, pada proses pemilihan pejabat negara, saat ini sudah melibatkan tim pansel atau pihak ketiga untuk melakukan seleksi.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6876 seconds (0.1#10.140)