Golkar Sepakat jika RUU Pertanahan Perlu Dibahas Mendalam
A
A
A
JAKARTA - Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo mengatakan, RUU Pertanahan sudah seharusnya dibahas lebih mendalam.
"Artinya, masalah RUU Pertanahan memang masih perlu pembahasan mendalam, dan kita tidak ingin disahkan segera," kata Firman Subagyo, menjawab pertanyaan pers terkait polemik RUU Pertanahan, Kamis (15/8/2019).
Firman mengatakan, pihaknya setuju dengan pandangan yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang mengungkapkan bahwa RUU Pertanahan ini berkaitan dengan kewenangan beberapa kementerian dan sampai saat ini masukan kementerian terkait belum sepenuhnya diakomodasi dalam RUU.
Menurutnya, mengingat masa sidang pembahasan RUU di DPR akan segera berakhir, maka disarankan agar penyusunan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dilakukan melalui rapat panitia antar kementerian.
"Fraksi Golkar di DPR sama dengan pandangan Menkumham bahwa RUU Pertanahan perlu dibahas lagi secara mendalam dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait dan juga berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan RUU ini," ujar Firman Subagyo.
Terkait dengan indikasi adanya keinginan dari segelintir anggota Panja yang menginginkan segera disahkan RUU Pertanahan, Firman mengatakan, pihaknya banyak mendapat pertanyaan dan masukan yang menginformasikan bahwa ada kecurigaan publik atas pembahasan RUU Pertanahan ini dengan politik uang.
"Kami di DPR sering dituduh jika membahas RUU selalu dikaitkan dengan adanya sponsor pihak ketiga. Nah, jangan sampai bau busuk pembahasan RUU pertanahan yang disampaikan masyarakat kepada kami benar-benar nyata adanya. Kita harus hari-hati dalam membahas ini.Jangan sampai pengesahan RUU karena pesanan pihak lain dan seharusnya karena kepentingan jangka panjang bangsa dan negara yang memang membutuhkan UU tersebut," ujar Firman mengingatkan.
Di sisi lain, Firman mengungkapkan, jika diteliti secara mendalam, ternyata bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menarik investasi besar-besaran guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu RUU Petanahan ini menurutnya, juga bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria secara cepat dan tepat.
"Faktanya, RUU Pertanahan ini malah mereduksi berbagai kewenangan lintas kementerian dan lembaga. Artinya, iklim investasi justru semakin buruk, karena tidak ada kordinasi yang holistik di tiap kementerian/lembaga," ujar Firman.
Politisi senior Partai Golkar ini juga mengemukakan, keinginan Jokowi untuk mempercepat penyelesaian berbagai konflik agraria yang menahun terbantu dnegan adanya UU Pertanahan ini.
Tapi ternyata, dalam pembahasan RUU Pertanahan justru tidak seperti yang diinginkan Jokowi, potensi konflik malah bakal tinggi jika RUU Pertanahan disahkan secara tergesa.
"Kita ingin RUU ini menjawab 5 persoalan pokok terkait penyempurnaan UU Pokok Agraria. Kita melihat justru sebaliknya, jika disahkan, akan berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru," tegasnya.
Kelima persoalan itu yakni, pertama ketimpangan struktur agraria yang tajam, kedua maraknya konflik agraria struktural. Ketiga, kerusakan ekologis yang meluas, keempat laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian. Kelima kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
"Artinya, masalah RUU Pertanahan memang masih perlu pembahasan mendalam, dan kita tidak ingin disahkan segera," kata Firman Subagyo, menjawab pertanyaan pers terkait polemik RUU Pertanahan, Kamis (15/8/2019).
Firman mengatakan, pihaknya setuju dengan pandangan yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang mengungkapkan bahwa RUU Pertanahan ini berkaitan dengan kewenangan beberapa kementerian dan sampai saat ini masukan kementerian terkait belum sepenuhnya diakomodasi dalam RUU.
Menurutnya, mengingat masa sidang pembahasan RUU di DPR akan segera berakhir, maka disarankan agar penyusunan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dilakukan melalui rapat panitia antar kementerian.
"Fraksi Golkar di DPR sama dengan pandangan Menkumham bahwa RUU Pertanahan perlu dibahas lagi secara mendalam dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait dan juga berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan RUU ini," ujar Firman Subagyo.
Terkait dengan indikasi adanya keinginan dari segelintir anggota Panja yang menginginkan segera disahkan RUU Pertanahan, Firman mengatakan, pihaknya banyak mendapat pertanyaan dan masukan yang menginformasikan bahwa ada kecurigaan publik atas pembahasan RUU Pertanahan ini dengan politik uang.
"Kami di DPR sering dituduh jika membahas RUU selalu dikaitkan dengan adanya sponsor pihak ketiga. Nah, jangan sampai bau busuk pembahasan RUU pertanahan yang disampaikan masyarakat kepada kami benar-benar nyata adanya. Kita harus hari-hati dalam membahas ini.Jangan sampai pengesahan RUU karena pesanan pihak lain dan seharusnya karena kepentingan jangka panjang bangsa dan negara yang memang membutuhkan UU tersebut," ujar Firman mengingatkan.
Di sisi lain, Firman mengungkapkan, jika diteliti secara mendalam, ternyata bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menarik investasi besar-besaran guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu RUU Petanahan ini menurutnya, juga bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria secara cepat dan tepat.
"Faktanya, RUU Pertanahan ini malah mereduksi berbagai kewenangan lintas kementerian dan lembaga. Artinya, iklim investasi justru semakin buruk, karena tidak ada kordinasi yang holistik di tiap kementerian/lembaga," ujar Firman.
Politisi senior Partai Golkar ini juga mengemukakan, keinginan Jokowi untuk mempercepat penyelesaian berbagai konflik agraria yang menahun terbantu dnegan adanya UU Pertanahan ini.
Tapi ternyata, dalam pembahasan RUU Pertanahan justru tidak seperti yang diinginkan Jokowi, potensi konflik malah bakal tinggi jika RUU Pertanahan disahkan secara tergesa.
"Kita ingin RUU ini menjawab 5 persoalan pokok terkait penyempurnaan UU Pokok Agraria. Kita melihat justru sebaliknya, jika disahkan, akan berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru," tegasnya.
Kelima persoalan itu yakni, pertama ketimpangan struktur agraria yang tajam, kedua maraknya konflik agraria struktural. Ketiga, kerusakan ekologis yang meluas, keempat laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke nonpertanian. Kelima kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
(maf)