Idul Adha Momen Perbaiki Diri dengan Memotong Sifat Jahat Manusia
A
A
A
JAKARTA - Umat Islam baru saja merayakan Idul Adha. Hari raya ini ditandai dengan menyembelih hewan kurban, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar.
Hewan kurban ini umumnya berupa kambing, domba, sapi ataupun kerbau. Hari Raya Kurban ini menjadi momentum untuk saling berbagi antar umat muslim.
Namun di balik itu semua, Idul Adha juga bisa dijadikan momentum untuk memotong bibit kebencian dan radikalisme, yang barangkali masih ada dalam diri kita masing-masing.
Hal tersebut dinilai penting karena sifat saling membenci, sifat egois, fanatik bahkan radikal masih ada dalam diri manusia. Sifat tersebut yang harus disembelih dan dibuang dalam diri manusia.
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Hamim Ilyas menjelaskan Idul Kurban di dalam Islam merupakan tradisi dalam Millah Ibrahim. Yang mana Millah adalah agama yang membentuk masyarakat.
Dalam Millah Ibrahim itu sendiri, Ibrahim itu dikenal sebagai orang pertama berkurban dengan menyembelih hewan kurban.
“Sebenarnya itu juga ada makna simboliknya, di mana dulu sebelum Nabi Ibrahim, Kurban itu sebagai persembahan kepada Tuhan berwujud manusia. Contonya Agama Mesir kuno, kurban persembahan itu dengan menenggelamkan atau melempar gadis suci ke dalam Sungai Nil. Tradisi kurban dengan mengorbankan manusia itu amat sangat kuat di berbagai budaya. Tetapi Nabi Ibrahim telah mengubah itu,” tutur Hamim Ilyas, di Yogyakarta, Sabtu 10 Agustus 2019.
Dia menjelaskan, Nabi Ibrahim mengubah itu dengan bersedia menurbankan putra yang sangat disayanginya, Ismail. Yang mana pisau sudah ditempelkan di leher. Tetapi kemudian diganti oleh Malaikat Jibril dengan domba. Itu menggambarkan bahwa Millah Ibrahim ini merupakan agama etis.Agama etis itu adalah agama yang mengajarkan yang baik kepada manusia. Yang sebelumnya agama pada umumnya agama yang mengajarkan Tuhan yang jahat kepada manusia.
“Tuhan yang baik kepada manusia ini tidak mau disembah dengan mengorbankan manusia. Sehingga umat Islam ketika beribadah menyembah Tuhan, mengabdi kepada Allah itu tidak dengan mengorbankan manusia. Di antaranya dengan tidak melakukan radikalisme. Jadi filosofinya seperti itu,” tuturnya.
Adapun sebetulnya menjadi tantangan itu, menurut Hamim, hikmah kurban sekarang yang disembelih itu adalah sifat-sifat jahat manusia. Tetapi secara teologis sebetulnya, yang seharusnya disembelih doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan agama etis tadi. Oleh karena itu, untuk Islam sendiri, perlu ada rekontruksi doktrin.
“Saya menulis tentang rekontruksi ilmu fiqh untuk menyegarkan doktrin Islam tentang hukum. Termasuk juga rekontruksi tentang yang lain-lain. Ini dikarenakan aksi radikalisme itu berpangkal pada pemikiran. Pemikiran itu adanya di pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Kalau di radikalisme ini hanya ‘dipotong’ di sikapnya saja supaya tidak radikal, tapi ajarannya tidak direkonstruksi, tentunya akan tetap sulit untuk menghilangkan radikalisme itu,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, momentum Idul Adha atau Idul Kurban ini harus menjadi semangat masyarakat muslim untuk berbagi antar sesama tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri atau merasa benar sendiri.
“Budaya di kita itu banyak, sudah sejatinya umat muslim untuk bisa memberi kontribusi. Jadi umat Islam itu pemikirannya bukan sekadar ‘anti ini atau anti itu’ saja. Contoh tiap bulan Syawal itu ada hari untuk bermaaf-maafan. Itu kalau kita memberi sumbangan kepada dunia bahwa ada hari untuk saling memaafkan, itu tentunya bagus. Lalu ada satu (satu-red) Suro (Muharram) di Tahun Baru Hijriah. Di situ kita juga bisa menyumbangkan kepada dunia bahwa itu adalah hari refleksi dunia,” ucapnya.
Dengan demikian, kata dia, umat Islam dalam era globalisasi menurutnya bisa menyumbangkan tradisinya untuk memperkaya peradaban umat manusia. Ini supaya peradaban itu menjadi lebih manusiawi lagi dan lebih etik lagi.
Di samping itu, lanjut Hamim, umat Islam juga harus berkontribusi dalam menghadirkan produk-produk yang dipakai oleh masyarakat dunia, baik produk teknologi informasi maupun yang lain.
“Sekarang itu sumbangan umat Islam itu masih amat sangat kecil. Sehingga dengan era globalisasi sekarang ini memang harus ada kesediaan untuk hidup bersama, saling mengakomodir, kemudian memberi arti dengan memberi sumbangan dalam pengembangan peradaban tadi,” tuturnya.
Untuk itu, kata dia, menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha bisa dikatakan sebagai bentuk simbolik yang memiliki banyak nilai-nilai seperti melakukan olah rasa dalam kehidupan sosial dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.
"Karena kurban itu kalau di dalam Alquran ditegaskan bahwa yang diterima Allah itu bukan daging atau darah kurbannya, tetapi yang diterima oleh Allah itu adalah takwa yang ada di hati.
Dia menjelaskan pengertian takwa ada empat. Pertama, takwa dalam pengertian sebagai prinsip kesadaran. Orang yang bertakwa itu memiliki kesadaran mengenai kebesaran tentang Tuhan. Lalu ada kesadaran moral dan juga sosial. Kesadaran sosial itu berbagi.
Dalam Alquran dikatakan orang yang bertakwa itu mau berbagi dengan memberikan sebagian kekayaannya kepada orang lain. “Mau berbagi itu tidak mungkin kalau tidak memiliki kesadaran sosial sesama manusia dalam hubungan sebagai teman, anggota keluarga, tetangga, masyarakat, negara,” tuturnya.Takwa kedua adalah prinsip proses dengan ketaatan. Di dalam Alquran dikatakan Ketaatan itu untuk mendapatkan rahmat Tuhan. Ketaatan tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tapi untuk mendapatkan rahmat Tuhan.
“Rahmat Tuhan itu apa ? Kalau kita baca Alquran maka rahmat Tuhan itu adalah hidup baik. Yang mana hidup baik itu adalah sejahtera sesejahtera sejahteranya, damai sedamai damainya dan bahagia sebahagia bahagianya. Sehingga ketaatan tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Tetapi ketaatan kepada Allah itu untuk mendapatkan hasil,” katanya
Selanjutnya, takwa ketiga adalah prinsip mental yang dalam Alquran dikatakan Inna lil-muttaqīna mafāz. Artinya orang yang bertakwa itu memiliki mental pemenang. Takwa keempat, pengertiannya adalah prinsip hasil. Prisip hasilnya adalah hidup baik dengan tiga kriteria tadi itu.
“Dengan kurban, takwa tadi itu berarti umat Islam harus menyembelih kesadaran sifat tidak baiknya supaya menjadi kesadaran yang baik, kesadaran dalam menempuh proses dalam kehidupan ini. Kalau dalam proses kehidupan tidak menempuh jalan benar maka harus dipotong kembali untuk menempuh jalan yang benar dengan tiga kriteria tadi,” tuturnya.
Hewan kurban ini umumnya berupa kambing, domba, sapi ataupun kerbau. Hari Raya Kurban ini menjadi momentum untuk saling berbagi antar umat muslim.
Namun di balik itu semua, Idul Adha juga bisa dijadikan momentum untuk memotong bibit kebencian dan radikalisme, yang barangkali masih ada dalam diri kita masing-masing.
Hal tersebut dinilai penting karena sifat saling membenci, sifat egois, fanatik bahkan radikal masih ada dalam diri manusia. Sifat tersebut yang harus disembelih dan dibuang dalam diri manusia.
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Hamim Ilyas menjelaskan Idul Kurban di dalam Islam merupakan tradisi dalam Millah Ibrahim. Yang mana Millah adalah agama yang membentuk masyarakat.
Dalam Millah Ibrahim itu sendiri, Ibrahim itu dikenal sebagai orang pertama berkurban dengan menyembelih hewan kurban.
“Sebenarnya itu juga ada makna simboliknya, di mana dulu sebelum Nabi Ibrahim, Kurban itu sebagai persembahan kepada Tuhan berwujud manusia. Contonya Agama Mesir kuno, kurban persembahan itu dengan menenggelamkan atau melempar gadis suci ke dalam Sungai Nil. Tradisi kurban dengan mengorbankan manusia itu amat sangat kuat di berbagai budaya. Tetapi Nabi Ibrahim telah mengubah itu,” tutur Hamim Ilyas, di Yogyakarta, Sabtu 10 Agustus 2019.
Dia menjelaskan, Nabi Ibrahim mengubah itu dengan bersedia menurbankan putra yang sangat disayanginya, Ismail. Yang mana pisau sudah ditempelkan di leher. Tetapi kemudian diganti oleh Malaikat Jibril dengan domba. Itu menggambarkan bahwa Millah Ibrahim ini merupakan agama etis.Agama etis itu adalah agama yang mengajarkan yang baik kepada manusia. Yang sebelumnya agama pada umumnya agama yang mengajarkan Tuhan yang jahat kepada manusia.
“Tuhan yang baik kepada manusia ini tidak mau disembah dengan mengorbankan manusia. Sehingga umat Islam ketika beribadah menyembah Tuhan, mengabdi kepada Allah itu tidak dengan mengorbankan manusia. Di antaranya dengan tidak melakukan radikalisme. Jadi filosofinya seperti itu,” tuturnya.
Adapun sebetulnya menjadi tantangan itu, menurut Hamim, hikmah kurban sekarang yang disembelih itu adalah sifat-sifat jahat manusia. Tetapi secara teologis sebetulnya, yang seharusnya disembelih doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan agama etis tadi. Oleh karena itu, untuk Islam sendiri, perlu ada rekontruksi doktrin.
“Saya menulis tentang rekontruksi ilmu fiqh untuk menyegarkan doktrin Islam tentang hukum. Termasuk juga rekontruksi tentang yang lain-lain. Ini dikarenakan aksi radikalisme itu berpangkal pada pemikiran. Pemikiran itu adanya di pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Kalau di radikalisme ini hanya ‘dipotong’ di sikapnya saja supaya tidak radikal, tapi ajarannya tidak direkonstruksi, tentunya akan tetap sulit untuk menghilangkan radikalisme itu,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata dia, momentum Idul Adha atau Idul Kurban ini harus menjadi semangat masyarakat muslim untuk berbagi antar sesama tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri atau merasa benar sendiri.
“Budaya di kita itu banyak, sudah sejatinya umat muslim untuk bisa memberi kontribusi. Jadi umat Islam itu pemikirannya bukan sekadar ‘anti ini atau anti itu’ saja. Contoh tiap bulan Syawal itu ada hari untuk bermaaf-maafan. Itu kalau kita memberi sumbangan kepada dunia bahwa ada hari untuk saling memaafkan, itu tentunya bagus. Lalu ada satu (satu-red) Suro (Muharram) di Tahun Baru Hijriah. Di situ kita juga bisa menyumbangkan kepada dunia bahwa itu adalah hari refleksi dunia,” ucapnya.
Dengan demikian, kata dia, umat Islam dalam era globalisasi menurutnya bisa menyumbangkan tradisinya untuk memperkaya peradaban umat manusia. Ini supaya peradaban itu menjadi lebih manusiawi lagi dan lebih etik lagi.
Di samping itu, lanjut Hamim, umat Islam juga harus berkontribusi dalam menghadirkan produk-produk yang dipakai oleh masyarakat dunia, baik produk teknologi informasi maupun yang lain.
“Sekarang itu sumbangan umat Islam itu masih amat sangat kecil. Sehingga dengan era globalisasi sekarang ini memang harus ada kesediaan untuk hidup bersama, saling mengakomodir, kemudian memberi arti dengan memberi sumbangan dalam pengembangan peradaban tadi,” tuturnya.
Untuk itu, kata dia, menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha bisa dikatakan sebagai bentuk simbolik yang memiliki banyak nilai-nilai seperti melakukan olah rasa dalam kehidupan sosial dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.
"Karena kurban itu kalau di dalam Alquran ditegaskan bahwa yang diterima Allah itu bukan daging atau darah kurbannya, tetapi yang diterima oleh Allah itu adalah takwa yang ada di hati.
Dia menjelaskan pengertian takwa ada empat. Pertama, takwa dalam pengertian sebagai prinsip kesadaran. Orang yang bertakwa itu memiliki kesadaran mengenai kebesaran tentang Tuhan. Lalu ada kesadaran moral dan juga sosial. Kesadaran sosial itu berbagi.
Dalam Alquran dikatakan orang yang bertakwa itu mau berbagi dengan memberikan sebagian kekayaannya kepada orang lain. “Mau berbagi itu tidak mungkin kalau tidak memiliki kesadaran sosial sesama manusia dalam hubungan sebagai teman, anggota keluarga, tetangga, masyarakat, negara,” tuturnya.Takwa kedua adalah prinsip proses dengan ketaatan. Di dalam Alquran dikatakan Ketaatan itu untuk mendapatkan rahmat Tuhan. Ketaatan tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tapi untuk mendapatkan rahmat Tuhan.
“Rahmat Tuhan itu apa ? Kalau kita baca Alquran maka rahmat Tuhan itu adalah hidup baik. Yang mana hidup baik itu adalah sejahtera sesejahtera sejahteranya, damai sedamai damainya dan bahagia sebahagia bahagianya. Sehingga ketaatan tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Tetapi ketaatan kepada Allah itu untuk mendapatkan hasil,” katanya
Selanjutnya, takwa ketiga adalah prinsip mental yang dalam Alquran dikatakan Inna lil-muttaqīna mafāz. Artinya orang yang bertakwa itu memiliki mental pemenang. Takwa keempat, pengertiannya adalah prinsip hasil. Prisip hasilnya adalah hidup baik dengan tiga kriteria tadi itu.
“Dengan kurban, takwa tadi itu berarti umat Islam harus menyembelih kesadaran sifat tidak baiknya supaya menjadi kesadaran yang baik, kesadaran dalam menempuh proses dalam kehidupan ini. Kalau dalam proses kehidupan tidak menempuh jalan benar maka harus dipotong kembali untuk menempuh jalan yang benar dengan tiga kriteria tadi,” tuturnya.
(dam)