PDIP Rekomendasikan Parliamentary Threshold 5%, Pilpres Tetap 20%
A
A
A
DENPASAR - Kongres V PDIP di Sanur, Denpasar, Bali merekomendasikan agar parliamentary threshold (PT) ditingkatkan dari sebelumnya hanya 4%, naik menjadi 5% untuk tingkat DPR RI. Sementara untuk DPRD ditetapkan berjenjang.
"Kita kemudian memutuskan pentingnya stratified parliamentary threshold atau parliemantary threshold berjenjang. Untuk tingkat DPR 5 persen sekurang-kurangnya, provinsi 4 persen, dan kabupaten/kota 3 persen," ujar Ketua Badan Saksi Pemenangan Nasional DPP PDIP (demisioner) Arif Wibowo kepada wartawan di arena Kongres, Jumat (9/8/2019).
Sementara untuk presidential threshold tidak diusulkan ada perubahan yakni tetap 20%. "Sudah cukup. Tidak ada rekomendasi perubahan di dalam kongres," ucapnya.
Rekomendasi Kongres PDIP ini selaras dengan niatan pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan kemungkinan adanya kenaikan PT menjadi 5%. “Itu ada yang usul 5%. Ada yang usul 4%,” katanya di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Senin (5/8/2019).
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, usulan peningkatan ambang batas parlemen menjadi 5% dinilai sangat positif karena jika terlalu banyak parpol akan menimbulkan kegaduhan di Parlemen.
"Karena terlalu banyak yang ingin berkuasa, semua orang ingin mendapatkan jabatan sehiggga partainya banyak. Oleh karena itu, sesungguhnya ini konteksnya adalah penyederhanaan partai sehingga munculah angka PT yang tinggi itu."
"Kenapa tidak, presidensial threshold saja 20 persen, itu sangat rasional jika naiknya 5% sehingga parpol-parpol yang teruji, punya basis massa yang kuat yang telah bekerja dengan baik, itulah partai yang akan lolos 5 persen itu," sambungnya.
Ujang mengatakan, peningkatan TP merupakan langkah yang bagus karena semakin tinggi PT maka konsolidasi partai semakin bagus karena partainya semakin sedikit. "Amerika Serikat saja yang sudah matang dalam berdemokrasi partainya banyak, tapi yang berkuasa juga cuma dua partai saja, Demokrat dan Republik, dan itu sangat stabil. Karena itu memang perlu penyederhanaan partai di Parlemen," tuturnya.
Dengan jumlah partai yang semakin sedikit dinamika yang ada di Parlemen dan pemerintahan bisa dikontrol dengan jelas. Selama ini, kata Ujang, karena terlalu banyak partai, orang masing-masing ingin punya peran sehingga kurang efektif.
Mengenai aturan adanya PT di DPRD I dan II, Ujang mengatakan bahwa dalam politik harus berpikir dengan komprehensif. "Masa di atasnya kena, di bawahnya enggak kena, ini lucu. Pemerintah membuat undang-undang juga lucu, misalnya Ketua DPR RI waktu itu berdasarkan pemilihan meskipun sekarang sudah dikembalikan, sementara di bawah berdasarkan partai pemenang, ini lucu aturan yang dibuat berdasarkan kepentingan ini yang berbahaya," tuturnya.
Dalam konteks bernegara, menurut Ujang, harus dilihat bukan hanya di pusat tapi juga di daerah. "Kalau teorinya malah sesungguhnya politik itu ada di daerah agar parameter kerja-kerja partai di daerah teruji sehingga yang lolos adalah partai yang kerja keras," pungkasnya.
"Kita kemudian memutuskan pentingnya stratified parliamentary threshold atau parliemantary threshold berjenjang. Untuk tingkat DPR 5 persen sekurang-kurangnya, provinsi 4 persen, dan kabupaten/kota 3 persen," ujar Ketua Badan Saksi Pemenangan Nasional DPP PDIP (demisioner) Arif Wibowo kepada wartawan di arena Kongres, Jumat (9/8/2019).
Sementara untuk presidential threshold tidak diusulkan ada perubahan yakni tetap 20%. "Sudah cukup. Tidak ada rekomendasi perubahan di dalam kongres," ucapnya.
Rekomendasi Kongres PDIP ini selaras dengan niatan pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan kemungkinan adanya kenaikan PT menjadi 5%. “Itu ada yang usul 5%. Ada yang usul 4%,” katanya di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Senin (5/8/2019).
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, usulan peningkatan ambang batas parlemen menjadi 5% dinilai sangat positif karena jika terlalu banyak parpol akan menimbulkan kegaduhan di Parlemen.
"Karena terlalu banyak yang ingin berkuasa, semua orang ingin mendapatkan jabatan sehiggga partainya banyak. Oleh karena itu, sesungguhnya ini konteksnya adalah penyederhanaan partai sehingga munculah angka PT yang tinggi itu."
"Kenapa tidak, presidensial threshold saja 20 persen, itu sangat rasional jika naiknya 5% sehingga parpol-parpol yang teruji, punya basis massa yang kuat yang telah bekerja dengan baik, itulah partai yang akan lolos 5 persen itu," sambungnya.
Ujang mengatakan, peningkatan TP merupakan langkah yang bagus karena semakin tinggi PT maka konsolidasi partai semakin bagus karena partainya semakin sedikit. "Amerika Serikat saja yang sudah matang dalam berdemokrasi partainya banyak, tapi yang berkuasa juga cuma dua partai saja, Demokrat dan Republik, dan itu sangat stabil. Karena itu memang perlu penyederhanaan partai di Parlemen," tuturnya.
Dengan jumlah partai yang semakin sedikit dinamika yang ada di Parlemen dan pemerintahan bisa dikontrol dengan jelas. Selama ini, kata Ujang, karena terlalu banyak partai, orang masing-masing ingin punya peran sehingga kurang efektif.
Mengenai aturan adanya PT di DPRD I dan II, Ujang mengatakan bahwa dalam politik harus berpikir dengan komprehensif. "Masa di atasnya kena, di bawahnya enggak kena, ini lucu. Pemerintah membuat undang-undang juga lucu, misalnya Ketua DPR RI waktu itu berdasarkan pemilihan meskipun sekarang sudah dikembalikan, sementara di bawah berdasarkan partai pemenang, ini lucu aturan yang dibuat berdasarkan kepentingan ini yang berbahaya," tuturnya.
Dalam konteks bernegara, menurut Ujang, harus dilihat bukan hanya di pusat tapi juga di daerah. "Kalau teorinya malah sesungguhnya politik itu ada di daerah agar parameter kerja-kerja partai di daerah teruji sehingga yang lolos adalah partai yang kerja keras," pungkasnya.
(kri)