Jadikan Idul Adha Momen 'Sembelih' Sifat Jelek Manusia
A
A
A
JAKARTA - Di setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Muslim seluruh dunia memperingati Hari Raya Idul Adha untuk mengenang kisah teladan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.
Saat itu, Nabi Ibrahim menerima perintah Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail sebagai bentuk pengorbanan dan keikhlasannya menjalankan perintah. Namun itu ternyata hanya ujian karena saat disembelih Nabi Ismail telah diganti dengan seekor kambing.
Kini, setiap Idul Adha atau Idul Kurban, setiap muslim yang mampu wajib berkurban dengan menyembelih hewan. Namun tidak hanya itu, hikmah dari Idul Adha sendiri tidak hanya mengorbankan harta berupa hewan, tetapi hendaknya dijadikan semangat berkorban membuang sifat-sifat jelek dalam diri manusia, yaitu kedengkian, fanatisme, egoisme, dan radikalisme untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
“Teladan Nabi Ibrahim AS adalah contoh nyata bahwa kita harus berkorban untuk menciptakan negeri aman dan sentosa. Juga istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar yang rela berkoban bolak-balik dari Safa dan Marwa sehingga ditemukan kenyamanan berupa air zamzam yang sampai sekarang masih bermanfaat. Teladan itu harus kita praktikkan bersama di era sekarang untuk menciptakan kedamaian, ketentreman, dan kesatuan Indonesia,” papar Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail di Jakarta, Kamis 8 Agustus 2019.
Menurut Satori, pengorbanan adalah keharusan untuk mencapai kebahagiaan. Dengan berkurban dan berkorban diharapkan bangsa Indonesia bisa menjadi negara besar, bersatu padu di tengah perbedaan dan keragaman yang ada.
Untuk itu, lanjut Satori, umat Muslim harus rela berkorban. Pertama harus memberi perhatian serta membantu keluarga, saudara, tetangga yang hidupnya berada di garis kemiskinan. Kemudian yang kedua, bagaimana berkorban dengan tujuan mencari ridha Allah demi keutuhan, perdamaian, dan kebangkitan bangsa Indonesia.
Lalu apa yang harus dikorbankan? Satori menjelaskan menyembelih kambing adalah berkurban sebagai bentuk kepedulian kepada yang tidak punya agar mendapatkan makanan dan gizi yang baik. Tapi berkorban tidak cukup hanya berkorban dengan harta, tapi ada hal-hal dalam jiwa manusia yang harus dikorbankan untuk kebaikan bersama yaitu rasa ego, suka marah, kedengkian, sehingga bisa menjadi orang yang bersih.
“Yang dikorbankan itu hal-hal yang jelek dari diri kita. Juga hal-hal yang terlalu kita cintai seperti harta. itu wajib dikurbankan untuk saudara kita yang kekurangan atau karena kena bencana, tertindas, fakir miskin, dan lain-lain, dalam rangka menciptakan negara yang adil dan makmur,” ungkapnya.
Untuk negara dan bangsa, lanjut Satori, berkorban itu dengan menghilangkan fanatisme yang memicu permusuhan, tadabur, juga radikalisme serta keinginan untuk menjahati orang lain seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
“Hilangkan segala macam perbedaan. Itu sudah berlalu mari kita kembali hidup bersama dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Artinya perbedaan dan keragaman bangsa kita, jangan diartikan untuk melemahkan. Justru perbedaan dan keragaman harus bisa mengokohkan sehingga membuat semua menjadi indah dan damai,” tutur pengasuh Ponpes Modern Al-Hassan Bekasi ini.
Dia menilai keseragaman tidak indah. Keindahan adalah jika perbedaan berada dalam keserasian dan bisa diatur dengan baik dengan adanya Undang-Undang (UU). Yang berkuasa bisa melindungi yang di bawah, sebaliknya yang di bawah menghormati yang di atas, itu sebuah keharmonisasn kehidupan berbangsa dan bernegara yang indah.
Menjelang Idul Adha 1440 Hijriah, Satori mengajak seluruh bangsa untuk memerangi kemiskinan. Sebab, kemiskinan dinilai membuat bangsa Indonesia berantakan. “Ketika sejahtera dan perut dicukupi, pasti akan tercipta keamanan. Intinya mari bersama-sama berjuang mencapai kesejahteraan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia," tuturnya.
Kedua, sambung Satori, pada 10 hari pertama Dzulhijjah adalah masa paling baik sepanjang tahun. Karena itu seluruh umat manusia harus berlomba-lomba berbuat kebaikan, kebajikan dengan banyak berdzikir, istighfar, dan banyak mendoakan negeri ini, mendoakan rakyat, mendoakan pemimpin agar bersatu padu membangun bangsa.
“Juga perbanyak mengumandangkan takbir, tahmid, dan tentu saja memotong hewan kurban yang menjadi bukti bahwa kita umat yang bertaqwa. Juga menghiilangkan semua bentuk kemaksiatan, takabur, fanatisme dan hal-hal yang merusak bangsa ini,” tutur Satori.
Saat itu, Nabi Ibrahim menerima perintah Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail sebagai bentuk pengorbanan dan keikhlasannya menjalankan perintah. Namun itu ternyata hanya ujian karena saat disembelih Nabi Ismail telah diganti dengan seekor kambing.
Kini, setiap Idul Adha atau Idul Kurban, setiap muslim yang mampu wajib berkurban dengan menyembelih hewan. Namun tidak hanya itu, hikmah dari Idul Adha sendiri tidak hanya mengorbankan harta berupa hewan, tetapi hendaknya dijadikan semangat berkorban membuang sifat-sifat jelek dalam diri manusia, yaitu kedengkian, fanatisme, egoisme, dan radikalisme untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
“Teladan Nabi Ibrahim AS adalah contoh nyata bahwa kita harus berkorban untuk menciptakan negeri aman dan sentosa. Juga istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar yang rela berkoban bolak-balik dari Safa dan Marwa sehingga ditemukan kenyamanan berupa air zamzam yang sampai sekarang masih bermanfaat. Teladan itu harus kita praktikkan bersama di era sekarang untuk menciptakan kedamaian, ketentreman, dan kesatuan Indonesia,” papar Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail di Jakarta, Kamis 8 Agustus 2019.
Menurut Satori, pengorbanan adalah keharusan untuk mencapai kebahagiaan. Dengan berkurban dan berkorban diharapkan bangsa Indonesia bisa menjadi negara besar, bersatu padu di tengah perbedaan dan keragaman yang ada.
Untuk itu, lanjut Satori, umat Muslim harus rela berkorban. Pertama harus memberi perhatian serta membantu keluarga, saudara, tetangga yang hidupnya berada di garis kemiskinan. Kemudian yang kedua, bagaimana berkorban dengan tujuan mencari ridha Allah demi keutuhan, perdamaian, dan kebangkitan bangsa Indonesia.
Lalu apa yang harus dikorbankan? Satori menjelaskan menyembelih kambing adalah berkurban sebagai bentuk kepedulian kepada yang tidak punya agar mendapatkan makanan dan gizi yang baik. Tapi berkorban tidak cukup hanya berkorban dengan harta, tapi ada hal-hal dalam jiwa manusia yang harus dikorbankan untuk kebaikan bersama yaitu rasa ego, suka marah, kedengkian, sehingga bisa menjadi orang yang bersih.
“Yang dikorbankan itu hal-hal yang jelek dari diri kita. Juga hal-hal yang terlalu kita cintai seperti harta. itu wajib dikurbankan untuk saudara kita yang kekurangan atau karena kena bencana, tertindas, fakir miskin, dan lain-lain, dalam rangka menciptakan negara yang adil dan makmur,” ungkapnya.
Untuk negara dan bangsa, lanjut Satori, berkorban itu dengan menghilangkan fanatisme yang memicu permusuhan, tadabur, juga radikalisme serta keinginan untuk menjahati orang lain seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
“Hilangkan segala macam perbedaan. Itu sudah berlalu mari kita kembali hidup bersama dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Artinya perbedaan dan keragaman bangsa kita, jangan diartikan untuk melemahkan. Justru perbedaan dan keragaman harus bisa mengokohkan sehingga membuat semua menjadi indah dan damai,” tutur pengasuh Ponpes Modern Al-Hassan Bekasi ini.
Dia menilai keseragaman tidak indah. Keindahan adalah jika perbedaan berada dalam keserasian dan bisa diatur dengan baik dengan adanya Undang-Undang (UU). Yang berkuasa bisa melindungi yang di bawah, sebaliknya yang di bawah menghormati yang di atas, itu sebuah keharmonisasn kehidupan berbangsa dan bernegara yang indah.
Menjelang Idul Adha 1440 Hijriah, Satori mengajak seluruh bangsa untuk memerangi kemiskinan. Sebab, kemiskinan dinilai membuat bangsa Indonesia berantakan. “Ketika sejahtera dan perut dicukupi, pasti akan tercipta keamanan. Intinya mari bersama-sama berjuang mencapai kesejahteraan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia," tuturnya.
Kedua, sambung Satori, pada 10 hari pertama Dzulhijjah adalah masa paling baik sepanjang tahun. Karena itu seluruh umat manusia harus berlomba-lomba berbuat kebaikan, kebajikan dengan banyak berdzikir, istighfar, dan banyak mendoakan negeri ini, mendoakan rakyat, mendoakan pemimpin agar bersatu padu membangun bangsa.
“Juga perbanyak mengumandangkan takbir, tahmid, dan tentu saja memotong hewan kurban yang menjadi bukti bahwa kita umat yang bertaqwa. Juga menghiilangkan semua bentuk kemaksiatan, takabur, fanatisme dan hal-hal yang merusak bangsa ini,” tutur Satori.
(dam)