Darul Siska Pertanyakan Dasar Hukum Dibentuk Majelis Etik Golkar
A
A
A
JAKARTA - Politisi senior Partai Golkar, Darul Siska, hari ini memenuhi panggilan Majelis Etik Golkar setelah mengirimkan surat terbuka kepada Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, di Kantor DPP Golkar.
Kedatangan Darul ini setelah adanya surat bernomor 024/ME/GOLKAR/IX/2019 tertanggal 5 Agustus 2019 yang ditanda tangani oleh Ketua Majelis Etik, Mohammad Hatta dan Sekretaris Majelis Etik, Rully Chairul Azwar.
"Saya memenuhi undangan majelis etik untuk hadir dalam rapat. Kedatangan saya adalah bukti menghargai senior yang saya hormati Bapak Muhammad Hatta dan tokoh lain yang saya kenal sudah sejak lama. Bagi saya ini lebih penting untuk menjaga silaturahim dan hubungan personal sesama kader Golkar," kata Darul di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
(Baca juga: Dapat 462 Dukungan Suara, Bamsoet Siap Tunjukkan Buktinya)
Namun demikian, Darul menegaskan, kehadirannya dalam pemanggilan ini bukan berarti dia mengakui keberadaan Majelis Etik. Pasalnya, keberadaan Majelis Etik sendiri masih diperdebatkan karena tidak diatur dalam AD/ART Golkar.
"Saya hadir di sini bukan karena mengakui eksistensi Majelis Etik. Majelis Etik dibentuk oleh Ketua Umum tanpa memiliki dasar hukum yang jelas. Kalau ada yang mengatakan Majelis Etik dibentuk berdasarkan keputusan Pleno, saya tidak menemukan keputusan Pleno menjadi konsideran keputusan tersebut," ucapnya.
Dia pun mempertanyakan apakah sudah ada kode etik yang disepakati bersama, yang menjadi acuan bekerja Majelis Etik itu sendiri. Misalnya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh tokoh dan kader Partai Golkar.
"Saya merasa Majelis Etik tidak punya etika telah mengirim surat kepada saya pribadi, tetapi suratnya beredar secara luas di media online dan WA grup (WAG)," sesalnya.
(Baca juga: Airlangga dan Bamsoet Dinilai Punya Modal Politik Memadai Pimpin Golkar)
Darul mengakui, dirinya dimintai keterangan sehubungan dengan surat yang ditujukan kepada Akbar Tandjung dan Agung Laksono. Menurut Darul, surat itu dia tulis karena menghormati, menghargai dan menyayangi beliau-beliau yang menjadi guru politik dan gurunya dalam berorganisasi.
"Jadi, beliau tidak boleh melakukan kesalahan bertindak yang menyebabkan berkurangnya respek dan hormat kader Partai Golkar kepada beliau yang selama ini telah berjasa membesarkan Golkar. Saya merasa heran mengapa surat saya yang mengingatkan dua tokoh tersebut menyebabkan saya dipanggil untuk klarifikasi oleh Majelis Etik," katanya.
Seharusnya lanjut Darul, jika Majelis Etik ada dan menjalankan fungsinya secara fair maka yang seharusnya dipanggil Iebih awal adalah Akbar Tandjung dan Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Dewan Pakar karena sudah bersikap dan bertindak seolah-olah menjadi tim sukses salah seorang yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar yang Munasnya pun belum tahu kapan dilaksanakan.
"Seandainya Majelis Etik memang ada dan telah mengingatkan kedua tokoh tersebut maka saya tidak akan membuat surat yang kemudian beredar menjadi surat terbuka. Saya menduga Majelis ini loyal kepada yang menandatangani SK pengangkatannya, sehingga tidak objektif mellihat dinamika yang terjadi dikalangan kader-kader Partai Golkar. Majelis Etik tumpul terhadap orang yang mendukung Airlangga Hartarto namun tajam dan reaktif kepada orang yang mendukung Bambang Soesatyo atau tokoh lainnya," tutup dia.
Kedatangan Darul ini setelah adanya surat bernomor 024/ME/GOLKAR/IX/2019 tertanggal 5 Agustus 2019 yang ditanda tangani oleh Ketua Majelis Etik, Mohammad Hatta dan Sekretaris Majelis Etik, Rully Chairul Azwar.
"Saya memenuhi undangan majelis etik untuk hadir dalam rapat. Kedatangan saya adalah bukti menghargai senior yang saya hormati Bapak Muhammad Hatta dan tokoh lain yang saya kenal sudah sejak lama. Bagi saya ini lebih penting untuk menjaga silaturahim dan hubungan personal sesama kader Golkar," kata Darul di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
(Baca juga: Dapat 462 Dukungan Suara, Bamsoet Siap Tunjukkan Buktinya)
Namun demikian, Darul menegaskan, kehadirannya dalam pemanggilan ini bukan berarti dia mengakui keberadaan Majelis Etik. Pasalnya, keberadaan Majelis Etik sendiri masih diperdebatkan karena tidak diatur dalam AD/ART Golkar.
"Saya hadir di sini bukan karena mengakui eksistensi Majelis Etik. Majelis Etik dibentuk oleh Ketua Umum tanpa memiliki dasar hukum yang jelas. Kalau ada yang mengatakan Majelis Etik dibentuk berdasarkan keputusan Pleno, saya tidak menemukan keputusan Pleno menjadi konsideran keputusan tersebut," ucapnya.
Dia pun mempertanyakan apakah sudah ada kode etik yang disepakati bersama, yang menjadi acuan bekerja Majelis Etik itu sendiri. Misalnya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh tokoh dan kader Partai Golkar.
"Saya merasa Majelis Etik tidak punya etika telah mengirim surat kepada saya pribadi, tetapi suratnya beredar secara luas di media online dan WA grup (WAG)," sesalnya.
(Baca juga: Airlangga dan Bamsoet Dinilai Punya Modal Politik Memadai Pimpin Golkar)
Darul mengakui, dirinya dimintai keterangan sehubungan dengan surat yang ditujukan kepada Akbar Tandjung dan Agung Laksono. Menurut Darul, surat itu dia tulis karena menghormati, menghargai dan menyayangi beliau-beliau yang menjadi guru politik dan gurunya dalam berorganisasi.
"Jadi, beliau tidak boleh melakukan kesalahan bertindak yang menyebabkan berkurangnya respek dan hormat kader Partai Golkar kepada beliau yang selama ini telah berjasa membesarkan Golkar. Saya merasa heran mengapa surat saya yang mengingatkan dua tokoh tersebut menyebabkan saya dipanggil untuk klarifikasi oleh Majelis Etik," katanya.
Seharusnya lanjut Darul, jika Majelis Etik ada dan menjalankan fungsinya secara fair maka yang seharusnya dipanggil Iebih awal adalah Akbar Tandjung dan Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Dewan Pakar karena sudah bersikap dan bertindak seolah-olah menjadi tim sukses salah seorang yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar yang Munasnya pun belum tahu kapan dilaksanakan.
"Seandainya Majelis Etik memang ada dan telah mengingatkan kedua tokoh tersebut maka saya tidak akan membuat surat yang kemudian beredar menjadi surat terbuka. Saya menduga Majelis ini loyal kepada yang menandatangani SK pengangkatannya, sehingga tidak objektif mellihat dinamika yang terjadi dikalangan kader-kader Partai Golkar. Majelis Etik tumpul terhadap orang yang mendukung Airlangga Hartarto namun tajam dan reaktif kepada orang yang mendukung Bambang Soesatyo atau tokoh lainnya," tutup dia.
(maf)