DPR Kritik Kerja Sama Akses Data Pribadi Pemerintah-Swasta
A
A
A
JAKARTA - Langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan kerja sama akses data kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dengan pihak swasta dikritisi kalangan DPR.Kritik disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR, Satya Widya Yudha. "Kami tidak sepakat karena undang-undangnya belum ada, maka perlu payung hukum dulu yang jelas," ujar Satya Widya Yudha kepada SINDOnews, Rabu (31/7/2019).
Menurut politikus Partai Golkar ini, Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) harus ada terlebih dahulu jika ingin melakukan kerja sama dengan pihak swasta.
"Harus ada jaminan keamanan data pribadi itu apabila digunakan oleh pihak ketiga, tidak ada jalan lain kecuali Undang-undang PDP harus kita miliki," katanya.
Sementara itu, kata dia, pemerintah hingga saat ini belum menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi ke DPR.
"Pemerintah hingga saat ini belum memasukan RUU tersebut, padahal kita sepakat RUU tersebut adalah inistiatif pemerintah, sekarang bolanya di pemerintah, serius dan tidaknya," kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur IX ini.
Anggota Komisi I DPR lainnya, Meutya Hafid menilai langkah Kemendagri kurang bijak. Meskipun UU Perlindungan Data Pribadi belum ada, semestinya Kemendagri menghormati hak privasi warga negara.
"Namun dari yang saya tangkap, langkah tersebut menurut hemat kami kurang bijak," ujar Meutya Hafid kepada SINDOnews, Rabu (30/7/2019).
Sekadar diketahui, sebelumnya Kemendagri mengonfirmasi telah memberikan akses data kependudukan kepada 1.227 lembaga pemerintah maupun swasta seperti Astra Multi Finance. Pihak swasta mengklaim memerlukan data calon klien mereka.
Namun Kemendagri membantah pemberian akses kepada pihak swasta merupakan penyalahgunaan data kependudukan.
Bantahan ini disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakrullah menanggapi pernyataan Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie.
Zudan menjelaskan, pemberian hak ases kepada lembaga pemerintah ataupun swasta bertujuan untuk membantu verifikasi data dan mendorong layanan digital.
“Tidak perlu isi formulir-formulir lagi. Cukup tulis NIK (nomor induk kependudukan). Daripada perusahaan harus minta KTP dan KK (kartu keluarga) calon nasabah, lebih baik akses data. Semua jadi mudah dan akurat,” tuturnya.
Dia mengatakan hal itu sesuai dengan Pasal 58 Ayat 4 Undang-Undang (UU) No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan dan secara detail sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 61/2016.
“Pemberian hak akses ini mampu mencegah fraud, kejahatan pemalsuan dan dokumen. Juga meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pemberian hak akses ini juga diapresiasi oleh Kantor Menpan RB dengan memberikan penghargaan inovasi pemanfaatan data, masuk inovasi top 99 dari 3.156 peserta kompetisi,” paparnya, Senin 22 Juli 2019.
Zudan menyebut kerja sama pemanfaatan data ini sudah dimulai sejak 2013. Saat ini sudah 1.227 lembaga yang bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri. Termasuk di dalam FIF dan Astra Multi Finance.
Dia memastikan dalam UU Adminduk sudah diatur tentang perlindungan data pribadi. Jika ada yang melanggar dipastikan ada sanksi pidana minmal dua tahun denda.
Menurut politikus Partai Golkar ini, Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) harus ada terlebih dahulu jika ingin melakukan kerja sama dengan pihak swasta.
"Harus ada jaminan keamanan data pribadi itu apabila digunakan oleh pihak ketiga, tidak ada jalan lain kecuali Undang-undang PDP harus kita miliki," katanya.
Sementara itu, kata dia, pemerintah hingga saat ini belum menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi ke DPR.
"Pemerintah hingga saat ini belum memasukan RUU tersebut, padahal kita sepakat RUU tersebut adalah inistiatif pemerintah, sekarang bolanya di pemerintah, serius dan tidaknya," kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur IX ini.
Anggota Komisi I DPR lainnya, Meutya Hafid menilai langkah Kemendagri kurang bijak. Meskipun UU Perlindungan Data Pribadi belum ada, semestinya Kemendagri menghormati hak privasi warga negara.
"Namun dari yang saya tangkap, langkah tersebut menurut hemat kami kurang bijak," ujar Meutya Hafid kepada SINDOnews, Rabu (30/7/2019).
Sekadar diketahui, sebelumnya Kemendagri mengonfirmasi telah memberikan akses data kependudukan kepada 1.227 lembaga pemerintah maupun swasta seperti Astra Multi Finance. Pihak swasta mengklaim memerlukan data calon klien mereka.
Namun Kemendagri membantah pemberian akses kepada pihak swasta merupakan penyalahgunaan data kependudukan.
Bantahan ini disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakrullah menanggapi pernyataan Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie.
Zudan menjelaskan, pemberian hak ases kepada lembaga pemerintah ataupun swasta bertujuan untuk membantu verifikasi data dan mendorong layanan digital.
“Tidak perlu isi formulir-formulir lagi. Cukup tulis NIK (nomor induk kependudukan). Daripada perusahaan harus minta KTP dan KK (kartu keluarga) calon nasabah, lebih baik akses data. Semua jadi mudah dan akurat,” tuturnya.
Dia mengatakan hal itu sesuai dengan Pasal 58 Ayat 4 Undang-Undang (UU) No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan dan secara detail sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 61/2016.
“Pemberian hak akses ini mampu mencegah fraud, kejahatan pemalsuan dan dokumen. Juga meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pemberian hak akses ini juga diapresiasi oleh Kantor Menpan RB dengan memberikan penghargaan inovasi pemanfaatan data, masuk inovasi top 99 dari 3.156 peserta kompetisi,” paparnya, Senin 22 Juli 2019.
Zudan menyebut kerja sama pemanfaatan data ini sudah dimulai sejak 2013. Saat ini sudah 1.227 lembaga yang bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri. Termasuk di dalam FIF dan Astra Multi Finance.
Dia memastikan dalam UU Adminduk sudah diatur tentang perlindungan data pribadi. Jika ada yang melanggar dipastikan ada sanksi pidana minmal dua tahun denda.
(dam)