Lindungi Anak dari Kekerasan dan Doktrin Kebencian

Minggu, 28 Juli 2019 - 09:36 WIB
Lindungi Anak dari Kekerasan...
Lindungi Anak dari Kekerasan dan Doktrin Kebencian
A A A
JAKARTA - Berbagai pihak antara lain pemerintah, orangtua, lembaga pendidikan diminta untuk bersama-sama membentengi anak agar terhindar dari bahaya paham yang mendorong prilaku kekerasan atau doktrin kebencian.

Paham yang mengandung kekerasan ini dinilai berbahaya karena bisa mendorong mereka melakukan aksi terorisme. Apalagi jika paham tersebut sudah menyebar luas.

“Sekarang ini anak dieksploitasi kepentingan keyakinan politik orang dewasa dan sebagainya. Anak dapat berpotensi menjadi pelaku kekerasan seperti aksi terorisme. Padahal anak-anak ini harus dilindungi oleh orang tuanya, keluarga, lingkungan dan juga lembaga pendidikan. Karena anak akan menjadi penerus bangsa kedepannya,’ ujar Arist Merdeka Sirait, di Jakarta, Jumat 26 Juli 2019.

Dia menegaskan, anak-anak bisa terpapar paham radikalisme dari orang sekitarnya yang menanamkan paham tersebut. “Penanaman paham kekerasan oleh orang sekitarnya justru akan meningkatkan tren kekerasan yang dilakukan oleh anak,” ujarnya.

Menurut Arist, fenomena penyebaran paham radikalisme kepada anak saat ini sudah parah. “Contohnya kejadian bom di beberapa tempat yang terjadi di Surabaya dan Sibolga lalu turut melibatkan anak. Orang tua tentunya juga sudah tidak dapat lagi berfikir rasional. Penanaman paham-paham radikalisme, ujaran kebencian kepada anak-anaktentunya tidak sesuai dengan perkembangan yang dapat meningkatkan tren pelaku dan korban yang berpotensial kepada anak-anak,” paparnya.

Menurut dia, penanaman radikalisme sebagai keyakinan ideologi kepada anak merupakan hal salah. Oleh sebab itu semua pihak harus mengantisipasi secara bersama-sama agar hal tersebut tidak terjadi lagi di lingkungan anak.

Pertama, kata dia, dari lingkungan rumah. Orangtua harus melindungi anaknya. Keluarga adalah benteng pertama. Seorang anak akan meniru apa yang dilihat dan apa yang dirasakan.

“Saya kira rumah harus tetap menjadi rumah yang menanamkan kaidah-kaidah agama yang ada. Jadi tidak mengajarkan yang berbeda dengan kaidah kaidah bangsa kita. Keluarga harus menciptakan rumah yang terus beribadah sesuai dengan kaidah-kaidah agama yang sudah ada. Tidak perlu mencari pembaharuan-pembaharuan. Kaidah-kaidah yang ada tidak boleh diubah lagi dan sebagainya,” tutur Arist.

Menurut dia, lembaga pendidikan juga harus menanamkan pendidikan deradikalisasi. Perlu ada kurikulum pendidikan yang memberikan pemahaman kepada anak mengenai bahaya radikalisme mulai dari tingkat SD sampai jenjang pendidikan menengah atas.

“Karena kurikulum pendidikan kita sekarang ini tidak partisipatif dan tidak dialogis. Kecenderungannya hanya transfer knowledge, seolah-olah knowledge para pengajar, kurikulum itu adalah hal yang paling utama. Padahal dialog pada anak dan mendengarkan pendapat anak itu sangat penting," katanya.

Dia mengatakan, perlu adanya pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersifat dialogis dan partisipatif. Tujuannya agar tidak ada lagi guru yang hanya sekadar melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada anak-anak.

“Guru harus berfungsi bagaimana sebagai mediator dan fasilitator terhadap apa yang dipikirkan anak-anak menyangkut tentang dirinya termasuk tentang pendidikan dan keilmuan akademik,” katanya.

Menurut dia, masyarakat di lingkungan anak juga harus mengambil peran dalam membentengi anak dari paham berbau kekerasan. Masyarakat harus bisa membangun budaya ketimuran, salah satunya sikap saling memperhatikan antarmasyarakat.

Untuk itu, kata dia, Gerakan Perlindungan Anak yang disebutnya sebagai Gerakan Perlindungan Anak Sekampung dan Sedesa harus dibangkitkan. Dalam artian masyarakat diminta untuk ikut membangun budaya ketimuran kita yang peduli dengan motto Anakmu adalah Anakku atau Cucumu adalah Cucuku.

“Dengan menggunakan motto itu, muncul sikap apa yang terjadi di lingkungannya adalah adalah tanggung jawab bersama,” tuturnya.

Berkaitan dengan Hari Anak Nasional (HAN) 2019, Arist meminta pemerintah harus konsisten mendorong agar keluarga menjadi pelindung utama anak, sesuai tema HAM, yakni Menggugah Peran Keluarga Menjadi garda terdepan dalam Melindungi Anak agar Menjadi Anak yang Gembira.

“Nyatanya anak kita belum bergembira, masih banyak anak kita yang air matanya perlu dihapus dan dibuat gembira. Mengapa? Karena kejahatan terhadap anak-anak termasuk penanaman paham radikalisme ataupun ujaran kebencian, persekusi, melibatkan anak dalam kepentingan orang-orang dewasa yang tidak berhubungan dengan anak itu juga merupakan suatu tindakan kekerasan. Itulah yang harus dilihat,” ucapnya.

Dia mengajak masyarakat untuk menanamkan HAN secara terus menerus di.lingkungannya “Jangan sekedar ceremony, tetapi harus konsisten untuk menanamkan Hari Anak Nasional itu di rumah, lingkungan kita sendiri dan sebagainya. Karena hal itu merupakan tanggung jawab bersama,” katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5937 seconds (0.1#10.140)