Respons Dedi Mulyadi Terkait Pertemuan Megawati-Prabowo
A
A
A
BANDUNG - Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengapresiasi pertemuan antara Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Menurut Dedi, masyarakat turut bersyukur atas pertemuan dua tokoh nasional tersebut. Terlebih, momentum tersebut sudah ditunggu-tunggu sejak lama pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Meski begitu, lanjut Dedi, jauh hari sebelumnya, dia pun sebenarnya telah memprediksi bahwa kedua tokoh besar itu akan bertemu.
"Sudah diprediksi sejak dulu. Artinya, kalau muncul sekarang sudah enggak aneh. Saya sudah memperkirakan," ungkap Dedi, Kamis (25/7/2019).
Dedi menjelaskan, pertemuan Megawati dan Prabowo memang menggemparkan masyarakat. Namun, kata Dedi, hal tersebut sebenarnya merupakan hal biasa di dunia politik.
"Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya, pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa-biasa saja karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama. Artinya, enggak ada problem," jelas Dedi.
Dedi menambahkan, pertemuan Prabowo dan Megawati sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia. Dia pun mengimbau masyarakat melupakan perseteruan antar pendukung capres dan cawapres di Pilpres 2019.
Menurut dia, saat ini, rakyat lebih baik mengawasi kerja elite politik di eksekutif dan legislatif. "Bagi saya bagus, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi," jelasnya.
"Pelajaran penting bagi rakyat, sudah deh, jangan bertengkar mati-matian ngebelain elite. Sudah biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elite. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh," sambungnya.
Dedi menambahkan, cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. Politik pascareformasi, sambung Dedi, adalah politik terbuka dimana tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam hingga ke Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
Dia menjelaskan, perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019 dimulai setelah Pilkada DKI 2019 dimana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI Perjuangan sebagai calon gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama.
Pascapencalonan Ahok, sambung Dedi, munculah sentimen agama pada Pemilu 2019. Sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan.
Menurut mantan bupati Purwakarta ini, hal tersebut menyebabkan terjadinya dua kutub politik. Meski demikian, Dedi mengatakan, jika yang menciptakan kutub-kutub politik justru akar rumput. Sementara kondisi elite politik sebenarnya akur-akur saja satu sama lain.
"Sebenarnya dari calon tidak ada yang mencerminkan politik aliran baik dari kubu Prabow-Sandi atau kubu Jokowi-Maruf Amin. Tapi kemasan yang dibuat oleh para pendukungnya menjadi kemasan politik aliran, seperti Pertarungan ideologi. Saya bilang itu kemasan, tapi substansinya tidak ada pada akhirnya," tandas Dedi.
Menurut Dedi, masyarakat turut bersyukur atas pertemuan dua tokoh nasional tersebut. Terlebih, momentum tersebut sudah ditunggu-tunggu sejak lama pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Meski begitu, lanjut Dedi, jauh hari sebelumnya, dia pun sebenarnya telah memprediksi bahwa kedua tokoh besar itu akan bertemu.
"Sudah diprediksi sejak dulu. Artinya, kalau muncul sekarang sudah enggak aneh. Saya sudah memperkirakan," ungkap Dedi, Kamis (25/7/2019).
Dedi menjelaskan, pertemuan Megawati dan Prabowo memang menggemparkan masyarakat. Namun, kata Dedi, hal tersebut sebenarnya merupakan hal biasa di dunia politik.
"Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya, pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa-biasa saja karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama. Artinya, enggak ada problem," jelas Dedi.
Dedi menambahkan, pertemuan Prabowo dan Megawati sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia. Dia pun mengimbau masyarakat melupakan perseteruan antar pendukung capres dan cawapres di Pilpres 2019.
Menurut dia, saat ini, rakyat lebih baik mengawasi kerja elite politik di eksekutif dan legislatif. "Bagi saya bagus, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi," jelasnya.
"Pelajaran penting bagi rakyat, sudah deh, jangan bertengkar mati-matian ngebelain elite. Sudah biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elite. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh," sambungnya.
Dedi menambahkan, cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. Politik pascareformasi, sambung Dedi, adalah politik terbuka dimana tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam hingga ke Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
Dia menjelaskan, perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019 dimulai setelah Pilkada DKI 2019 dimana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI Perjuangan sebagai calon gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama.
Pascapencalonan Ahok, sambung Dedi, munculah sentimen agama pada Pemilu 2019. Sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan.
Menurut mantan bupati Purwakarta ini, hal tersebut menyebabkan terjadinya dua kutub politik. Meski demikian, Dedi mengatakan, jika yang menciptakan kutub-kutub politik justru akar rumput. Sementara kondisi elite politik sebenarnya akur-akur saja satu sama lain.
"Sebenarnya dari calon tidak ada yang mencerminkan politik aliran baik dari kubu Prabow-Sandi atau kubu Jokowi-Maruf Amin. Tapi kemasan yang dibuat oleh para pendukungnya menjadi kemasan politik aliran, seperti Pertarungan ideologi. Saya bilang itu kemasan, tapi substansinya tidak ada pada akhirnya," tandas Dedi.
(maf)