Gerindra Ancam Jatah Menteri Parpol KIK, PDIP: Sabar Dulu
A
A
A
JAKARTA - Pertemuan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (24/7/2019) memunculkan dinamika politik. Ada anggapan bahwa pertemuan tersebut berpotensi menjadi pintu pembuka bergabungnya Gerindra ke Koalisi Indonesia Kerja (KIK) sehingga berpotensi mengurangi jatah kursi menteri parpol koalisi lainnya.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan soal kemungkinan bergabungnya Gerindra ke koalisi masih akan dibicarakan dengan seluruh parpol koalisi. Jokowi, kata Eva, akan mengundang seluruh parpol koalisi untuk membicarakan bagaimana komposisi, formasi lalu portofolio dan formulasi berapa menteri yang berasal dari parpol dan berapa dari profesional nonparpol.
”Jadi kalau sekarang ada hipotesa bahwa masuknya Gerindra akan mengurangi jatah dari parpol, ya nanti dulu. Wong belum diomongin berapanya dan untuk siapa. Jadi sabar dulu sampai semua parpol dikumpulkan dan membicarakan peluang-peluang yang ada di dalam kabinet,” tutur Eva dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Gerindra Gabung Ancaman Kursi Koalisi?” di Media Center DPR/MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Menurut anggota Komisi XI DPR ini, sah-sah saja ketika parpol koalisi memberikan penilaian sendiri-sendiri atas dinamika politik yang sedang terjadi. ”Parpol (koalisi) kumpul, kemudian menunjukan political stand dan seterusnya, ya gak apa-apa yang namanya demokrasi,” katanya.
Eva menegaskan bahwa pertemuan Prabowo dengan Megawati maupun Prabowo dengan Jokowi tidak serta merta dimaknai sebagai sinyal bahwa Partai Gerindra akan merapat ke KIK. Namun yang jelas, pertemuan tersebut sebagai penjajakan serta mengurangi polarisasi ada di masyarakat.
”Dan juga pendidikan politik bagi masyarakat bahwa kontestasi demokrasi itu nggak harus kemudian berdampak kepada polarisasi yang permanen, tapi bisa untuk kemudian direkonsiliasi kan, terutama dimulai dari para pemimpin tertinggi yang kemudian diikuti yang lain,” tuturnya.
Karena itu, kata Eva, praktik politik yang ditunjukkan para elite parpol tersebut harus diapresiasi karena menggunakan mekanisme rekonsiliasi yang penuh simbolik khas Indonesia. ”Termasuk setelah apa di MRT dengan simbol-simbolnya, makan siang dengan simbol-simbolik juga maka Indonesia paling kaya dengan simbol,” tutupnya.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan soal kemungkinan bergabungnya Gerindra ke koalisi masih akan dibicarakan dengan seluruh parpol koalisi. Jokowi, kata Eva, akan mengundang seluruh parpol koalisi untuk membicarakan bagaimana komposisi, formasi lalu portofolio dan formulasi berapa menteri yang berasal dari parpol dan berapa dari profesional nonparpol.
”Jadi kalau sekarang ada hipotesa bahwa masuknya Gerindra akan mengurangi jatah dari parpol, ya nanti dulu. Wong belum diomongin berapanya dan untuk siapa. Jadi sabar dulu sampai semua parpol dikumpulkan dan membicarakan peluang-peluang yang ada di dalam kabinet,” tutur Eva dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Gerindra Gabung Ancaman Kursi Koalisi?” di Media Center DPR/MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Menurut anggota Komisi XI DPR ini, sah-sah saja ketika parpol koalisi memberikan penilaian sendiri-sendiri atas dinamika politik yang sedang terjadi. ”Parpol (koalisi) kumpul, kemudian menunjukan political stand dan seterusnya, ya gak apa-apa yang namanya demokrasi,” katanya.
Eva menegaskan bahwa pertemuan Prabowo dengan Megawati maupun Prabowo dengan Jokowi tidak serta merta dimaknai sebagai sinyal bahwa Partai Gerindra akan merapat ke KIK. Namun yang jelas, pertemuan tersebut sebagai penjajakan serta mengurangi polarisasi ada di masyarakat.
”Dan juga pendidikan politik bagi masyarakat bahwa kontestasi demokrasi itu nggak harus kemudian berdampak kepada polarisasi yang permanen, tapi bisa untuk kemudian direkonsiliasi kan, terutama dimulai dari para pemimpin tertinggi yang kemudian diikuti yang lain,” tuturnya.
Karena itu, kata Eva, praktik politik yang ditunjukkan para elite parpol tersebut harus diapresiasi karena menggunakan mekanisme rekonsiliasi yang penuh simbolik khas Indonesia. ”Termasuk setelah apa di MRT dengan simbol-simbolnya, makan siang dengan simbol-simbolik juga maka Indonesia paling kaya dengan simbol,” tutupnya.
(kri)