MK Minta Para Saksi Tak Beri Keterangan 'Konon Kabarnya'
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memperingatkan para saksi dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilu Legislatif 2019 tidak coba-coba untuk memberikan keterangan palsu.
Hakim MK Arief Hidayat memberi peringatan kepada seluruh saksi agar tidak memberi keterangan palsu karena disumpah dalam persidangan tersebut.
"Ancamanya bisa dituntut di peradilan dan dipidana. Saya ingatkan lagi ya. Kemudian ada tiga kriteria, ada yang masuk surga, ada yang masuk neraka, ada yang kebangetan enggak diterima di neraka itu. Tolong kita sadari bersama ya, kalau memberi keterangan palsu tidak bisa dipidana, tapi neraka saja enggak terima," kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Begitu juga dengan Hakim MK I Dewa Gede Palguna yang menegaskan agar para saksi yang dihadirkan pemohon menjelaskan sesuai fakta sebenarnya.
"Seperti bunyi sumpahnya, terangkanlah apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dialami sendiri, jangan yang terangkan konon kabarnya. Yang 'konon kabarnya' tidak memiliki nilai pembuktian di Mahkamah Konstitusi atau yang disebut testimonium de auditu, yakni kesaksian yang hanya 'dengar-dengar'," ucapnya.
Dia menegaskan, MK dalam persidangan sengketa hasil pemilu lebih mengutamakan alat bukti ketimbang saksi. Beda halnya dengan perkara pidana. Hal itu berbeda dengan pada sidang perkara pidana yang mengutamakan keterangan tersangka atau terdakwa.
"Kalau boleh meminjam istilahnya Prof Eddie, saksi itu sesungguhnya secondary evidence. Jadi, tambahan untuk menguatkan bukti dokumen yang ada," ujarnya.
Pada hari ini ada 22 perkara yang disidangkan MK. Sidang dibagi dalam tiga panel. Satu pemohon diperbolehkan mengajukan tiga saksi dan satu ahli. Hal itu juga diberlakukan untuk termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebelumnya, MK telah menetapkan 122 perkara lolos ke tahapan sidang selanjutnya, perkara-perkara tersebut masuk ke agenda pemeriksaan saksi dan ahli.
Hakim MK Arief Hidayat memberi peringatan kepada seluruh saksi agar tidak memberi keterangan palsu karena disumpah dalam persidangan tersebut.
"Ancamanya bisa dituntut di peradilan dan dipidana. Saya ingatkan lagi ya. Kemudian ada tiga kriteria, ada yang masuk surga, ada yang masuk neraka, ada yang kebangetan enggak diterima di neraka itu. Tolong kita sadari bersama ya, kalau memberi keterangan palsu tidak bisa dipidana, tapi neraka saja enggak terima," kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Begitu juga dengan Hakim MK I Dewa Gede Palguna yang menegaskan agar para saksi yang dihadirkan pemohon menjelaskan sesuai fakta sebenarnya.
"Seperti bunyi sumpahnya, terangkanlah apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dialami sendiri, jangan yang terangkan konon kabarnya. Yang 'konon kabarnya' tidak memiliki nilai pembuktian di Mahkamah Konstitusi atau yang disebut testimonium de auditu, yakni kesaksian yang hanya 'dengar-dengar'," ucapnya.
Dia menegaskan, MK dalam persidangan sengketa hasil pemilu lebih mengutamakan alat bukti ketimbang saksi. Beda halnya dengan perkara pidana. Hal itu berbeda dengan pada sidang perkara pidana yang mengutamakan keterangan tersangka atau terdakwa.
"Kalau boleh meminjam istilahnya Prof Eddie, saksi itu sesungguhnya secondary evidence. Jadi, tambahan untuk menguatkan bukti dokumen yang ada," ujarnya.
Pada hari ini ada 22 perkara yang disidangkan MK. Sidang dibagi dalam tiga panel. Satu pemohon diperbolehkan mengajukan tiga saksi dan satu ahli. Hal itu juga diberlakukan untuk termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebelumnya, MK telah menetapkan 122 perkara lolos ke tahapan sidang selanjutnya, perkara-perkara tersebut masuk ke agenda pemeriksaan saksi dan ahli.
(dam)