IDI Ingin Peran Dokter Indonesia Diperkuat dan Lebih Kompetitif
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyesalkan fakta, dokter di Indonesia dan Rumah Sakit (RS) di dalam negeri belum berkompetensi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Revolusi Industri. Sehingga, banyak tokoh dan kalangan selebritas Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri.
Hal tersebut dikatakan Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan Kedokteran PB IDI Titi Savitri Prihartiningsih dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X terkait usulan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).
"Membahas pendidikan kedokteran, kita juga membahas sistem pelayanaan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Meskipun, judulnya revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran tetapi, isi pasalnya akan terdiri sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan," kata Titi Savitri.
Titi memaparkan, dalam Dikdok tidak hanya diserahkan pada pemerintah pusat saja, tetapi juga perlu peranan pemerintah daerah (pemda), asosiasi institusi pendidikan, organisasi profesi dan konsil kedokteran Indonesia.
"Semuanya perlu diperkuat perannya. Meskipun dasar negara Indonesia merupakan Pancasila tetapi, sistem pembiayaan, pendidikan dan pelayanan tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar dan keterlibatan 5 pemangku kepentingan menjadi penting. Karena pegaruh global, ada kecenderungan kalau kita tidak hati-hati, kalau diserahkan ke mekanime pasar," ungkapnya.
Menurut Titi, masih banyak tantangan di mana kompetensinya belum dimiliki oleh dokter di Indonesia. Ada tantangan abad 21 berupa revolusi industri dan juga MEA dengan berbagai perjanjian antarnegara. Kemudian, jumlah dan distribusi dokter tidak merata, kalau menurut hitungan Kemenkes adalah per 100.000 penduduk ada 43 Dokter.
Kata dia, distribusi tidak tersebar dengan baik termasuk salah satu contoh adalah di DKI Jakarta. "Dalam pendidikan kedokteran harus dilakukan lompatan siapa SDM Indonesia kedepannya. Untuk itulah kami merespons pada global dunia dan sampai juga dgn pendidikan kedokteran abad 21. Tambahan Kompetensi yang diperlukan untuk reformasi industri," tandasnya.
Hal tersebut dikatakan Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan Kedokteran PB IDI Titi Savitri Prihartiningsih dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X terkait usulan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2019).
"Membahas pendidikan kedokteran, kita juga membahas sistem pelayanaan kesehatan dan sistem pembiayaan kesehatan. Meskipun, judulnya revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran tetapi, isi pasalnya akan terdiri sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan," kata Titi Savitri.
Titi memaparkan, dalam Dikdok tidak hanya diserahkan pada pemerintah pusat saja, tetapi juga perlu peranan pemerintah daerah (pemda), asosiasi institusi pendidikan, organisasi profesi dan konsil kedokteran Indonesia.
"Semuanya perlu diperkuat perannya. Meskipun dasar negara Indonesia merupakan Pancasila tetapi, sistem pembiayaan, pendidikan dan pelayanan tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar dan keterlibatan 5 pemangku kepentingan menjadi penting. Karena pegaruh global, ada kecenderungan kalau kita tidak hati-hati, kalau diserahkan ke mekanime pasar," ungkapnya.
Menurut Titi, masih banyak tantangan di mana kompetensinya belum dimiliki oleh dokter di Indonesia. Ada tantangan abad 21 berupa revolusi industri dan juga MEA dengan berbagai perjanjian antarnegara. Kemudian, jumlah dan distribusi dokter tidak merata, kalau menurut hitungan Kemenkes adalah per 100.000 penduduk ada 43 Dokter.
Kata dia, distribusi tidak tersebar dengan baik termasuk salah satu contoh adalah di DKI Jakarta. "Dalam pendidikan kedokteran harus dilakukan lompatan siapa SDM Indonesia kedepannya. Untuk itulah kami merespons pada global dunia dan sampai juga dgn pendidikan kedokteran abad 21. Tambahan Kompetensi yang diperlukan untuk reformasi industri," tandasnya.
(maf)