Jaksa Agung Sebaiknya Tokoh Nonparpol
A
A
A
JAKARTA - Posisi Jaksa Agung memiliki peran yang sangat besar terhadap penegakan hukum di Indonesia. Jaksa Agung harus menjadi representasi negara dalam menjalankan tugasnya dan tidak bisa diintervensi dari pihak manapun. Termasuk dari partai politik (parpol). Karena itu, Jaksa Agung sebaiknya berasal dari luar parpol agar tidak ada kepentingan parpol dalam menjalankan tugasnya.
Praktisi Hukum Petrus Selestinus mengatakan, selama ini Jaksa Agung
dari periode ke periode lebih fokus pada kerja-kerja teknis soal penuntutan, penyidikan dalam berbagai kasus hukum. Padahal, seharusnya Jaksa Agung lebih fokus menjalankan tugas-tugas besar penegakan hukum. Petrus juga menekankan agar jabatan Jaksa Agung tidak berasal dari parpol sehingga penegakan hukum yang dilakukan bukan penegakan hukum yang diintervensi kepentingan parpol.
"Akhirnya Kantor Kejaksaan sekarang warnanya biru, besoknya merah. Seharusnya Jaksa Agung itu lahir dari Gedung Bundar (Kejaksaan Agung) dan direkomendasikan Gedung Bundar," tutur Petrus dalam diskusi bertajuk "Kriteria Jaksa Agung yang Dikehendaki Keluarga Besar Purna Adhyaksa yang digelar Koalisi Indonesia Negara Hukum di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2019).
Petrus mengatakan bahwa saat ini sejumlah parpol sudah menyiapkan kader atau tokoh-tokoh tertentu untuk diusulkan kepada Presiden Terpilih menjadi Jaksa Agung periode 2019-2024. "Ini partai-partai sudah siapkan jago-jagonya. Nanti dari Keluarga Besar Purna Adhyaksa perlu untuk menyampaikan sosok-sosok yang layak dari internal Kejaksaan supaya Presiden tidak saya pilih," katanya.
Menurutnya, peran Jaksa Agung sebenarnya jauh di atas Menko Polhukam. Karena itu, jika ada persoalan hukum, seorang Jaksa Agung harus muncul terdepan. "Sekarang ini kalau ada persoalan hukum yang muncul malah politisi-politisi seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon dan lainnya. Dalam pembicaraan korupsi yang muncul KPK melulu," katanya.
Menurutnya, dalam lima tahun era pemerintahan Jokowi, masyarakat sangat merindukan peran Kejaksaan Agung sebagai garda terdepan penegakan hukum. "Jaksa Agung kita ini mengerdilkan diri. Seorang Jaksa Agung itu harus melevelkan diri setara dengan Presiden. Tak boleh membungkuk-bungkuk di hadapan Presiden. Dia itu partner, jangan di bawah Presiden. Makanya perlu Jaksa Agung itu sebulan sekali ketemu Presiden membahas persoalan hukum," katanya.
Praktisi Hukum Petrus Selestinus mengatakan, selama ini Jaksa Agung
dari periode ke periode lebih fokus pada kerja-kerja teknis soal penuntutan, penyidikan dalam berbagai kasus hukum. Padahal, seharusnya Jaksa Agung lebih fokus menjalankan tugas-tugas besar penegakan hukum. Petrus juga menekankan agar jabatan Jaksa Agung tidak berasal dari parpol sehingga penegakan hukum yang dilakukan bukan penegakan hukum yang diintervensi kepentingan parpol.
"Akhirnya Kantor Kejaksaan sekarang warnanya biru, besoknya merah. Seharusnya Jaksa Agung itu lahir dari Gedung Bundar (Kejaksaan Agung) dan direkomendasikan Gedung Bundar," tutur Petrus dalam diskusi bertajuk "Kriteria Jaksa Agung yang Dikehendaki Keluarga Besar Purna Adhyaksa yang digelar Koalisi Indonesia Negara Hukum di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2019).
Petrus mengatakan bahwa saat ini sejumlah parpol sudah menyiapkan kader atau tokoh-tokoh tertentu untuk diusulkan kepada Presiden Terpilih menjadi Jaksa Agung periode 2019-2024. "Ini partai-partai sudah siapkan jago-jagonya. Nanti dari Keluarga Besar Purna Adhyaksa perlu untuk menyampaikan sosok-sosok yang layak dari internal Kejaksaan supaya Presiden tidak saya pilih," katanya.
Menurutnya, peran Jaksa Agung sebenarnya jauh di atas Menko Polhukam. Karena itu, jika ada persoalan hukum, seorang Jaksa Agung harus muncul terdepan. "Sekarang ini kalau ada persoalan hukum yang muncul malah politisi-politisi seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon dan lainnya. Dalam pembicaraan korupsi yang muncul KPK melulu," katanya.
Menurutnya, dalam lima tahun era pemerintahan Jokowi, masyarakat sangat merindukan peran Kejaksaan Agung sebagai garda terdepan penegakan hukum. "Jaksa Agung kita ini mengerdilkan diri. Seorang Jaksa Agung itu harus melevelkan diri setara dengan Presiden. Tak boleh membungkuk-bungkuk di hadapan Presiden. Dia itu partner, jangan di bawah Presiden. Makanya perlu Jaksa Agung itu sebulan sekali ketemu Presiden membahas persoalan hukum," katanya.
(pur)