Pemerintah Siapkan Hujan Buatan di Sejumlah Daerah
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan menyiapkan hujan buatan dalam menghadapi bencana kekeringan di sejumlah daerah. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) Letjen (TNI) Doni Monardo mengungkapkan, telah masuk permohonan dari beberapa kepala daerah untuk dilakukan hujan buatan.
“Dan tadi sesuai dengan arahan bapak presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan. Oleh karenanya, BNPB tentu tidak bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga khususnya BMKG, BPPT, dan markas besar TNI,” kata Doni seusai ratas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, ada kriteria tertentu untuk dapat dilakukan hujan buatan. Salah satunya kondisi awan. “Ini juga tergantung dari keadaan awan. Sehingga apabila awannya masih tersedia sangat mungkin hujan buatan masih bisa dilakukan,” paparnya. Dari data yang dikumpulkan BNPB sampai kemarin, jumlah wilayah yang terdampak kekeringan sebanyak 1.963 desa di 556 kecamatan dan di 79 kabupaten.
Di mana itu tersebar di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Meski demikian, menurut dia, hujan buatan ini hanya merupakan solusi jangka pendek semata. Sedangkan untuk solusi jangka panjang dan menengah dalam menghadapi kekeringan adalah dengan penyiapan bibit pohon. Ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan sumber air.
“Dari beberapa pengalaman yang ada, jenis pohon tertentu itu memiliki kemampuan menyimpan air. Antara lain adalah sukun. Jadi kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak, maka sangat mungkin akar sukun itu bisa mengikat air, sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu masih bisa terjaga termasuk juga pohon aren,” ungkapnya.
Saat membuka ratas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku telah mendapat laporan bahwa musim kemarau 2019 akan lebih kering dan titik puncaknya adalah di bulan Agustus sampai September. “Beberapa daerah di negara kita sudah mengalami keadaan 21 hari tanpa hujan berarti statusnya waspada. 31 hari tanpa hujan berarti status siaga dan juga 61 hari tanpa hujan ini statusnya sudah awas. Ini yang terjadi di beberapa provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT,” ungkapnya.
Jokowi pun meminta jajaran menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk langsung ke lapangan melakukan antisipasi. Dia meminta agar suplai air bersih maupun air pertanian terjaga. “Sehingga risiko terjadinya gagal panen bisa kita hindari. Kalau perlu kita lakukan modifikasi cuaca, pembangunan sungai bor, dan saya minta menteri LHK memantau, mengendalikan potensi titik panas hotspot yang ada dan kita harapkan kebakaran hutan dan lahan gambut bisa kita antisipasi dan kita hindari,” katanya.
Kepala BMKG Dwi Korita Karnawati mengatakan, puncak musim kemarau tidak akan terjadi serempak. Untuk wilayah selatan garis khatulistiwa, puncak kemarau terjadi di bulan Agustus dan dampak kekeringan sampai September. Sementara itu masuk bulan Oktober sampai Desember akan bergerak ke arah utara.
“Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan Agustus-September. Paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus, mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan. Kemudian masuk bulan Oktober, daerah selatan ini sudah mulai makin basah ke arah musim hujan. Keringnya berjalan menyebrang khatulistiwa, jadi ke arah utara. Itu sampai Desember masih ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada,” paparnya.
Dia menyebut beberapa daerah sudah masuk pada status awas. Di antaranya Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Sumba Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Kupang, Belu, Bima, Dompu, Kota Bima, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Buleleng. Lalu di Pulau Jawa antara lain Gresik, Magetan, Madiun, Ponorogo, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Pasuruan, Bantul, Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, Semarang, Blora, Boyolali, Demak, Cilacap, Bekasi, Karawang, Sumedang, Tangerang, dan Jakarta Utara.
“Justru itu tidak seragam dan mumpung ini masih awal Juli, jadi kan perlu ada antisipasi. Karena nanti ketersediaan air akan mengalami defisit terutama di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Timur, sampai Papua itu akan defisit air juga, kering,” tandasnya. Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kekeringan saat ini masih terkendali dan belum masuk bencana.
Meski begitu, Agus memastikan bahwa Kementerian Sosial (Kemensos) telah siap menangani hal tersebut. “Kekeringan yang sudah jadi bencana tentu kita harus lihat. Apakah cadangan berasnya cukup. Kita juga bisa membantu pengadaan air dan mengirimkan tanki-tanki atau truk-truk air. Tapi yang tadi dibahas ya mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya. Misalnya dengan kita dorong dnegan hujan buatan dan lain sebagainya,” paparnya.
“Dan tadi sesuai dengan arahan bapak presiden, BNPB untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hujan buatan. Oleh karenanya, BNPB tentu tidak bisa sendirian, perlu bekerja sama dengan beberapa lembaga khususnya BMKG, BPPT, dan markas besar TNI,” kata Doni seusai ratas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, ada kriteria tertentu untuk dapat dilakukan hujan buatan. Salah satunya kondisi awan. “Ini juga tergantung dari keadaan awan. Sehingga apabila awannya masih tersedia sangat mungkin hujan buatan masih bisa dilakukan,” paparnya. Dari data yang dikumpulkan BNPB sampai kemarin, jumlah wilayah yang terdampak kekeringan sebanyak 1.963 desa di 556 kecamatan dan di 79 kabupaten.
Di mana itu tersebar di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Meski demikian, menurut dia, hujan buatan ini hanya merupakan solusi jangka pendek semata. Sedangkan untuk solusi jangka panjang dan menengah dalam menghadapi kekeringan adalah dengan penyiapan bibit pohon. Ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan sumber air.
“Dari beberapa pengalaman yang ada, jenis pohon tertentu itu memiliki kemampuan menyimpan air. Antara lain adalah sukun. Jadi kalau tiap desa punya sukun yang cukup banyak, maka sangat mungkin akar sukun itu bisa mengikat air, sehingga ketika musim kemarau panjang sumber air di desa itu masih bisa terjaga termasuk juga pohon aren,” ungkapnya.
Saat membuka ratas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku telah mendapat laporan bahwa musim kemarau 2019 akan lebih kering dan titik puncaknya adalah di bulan Agustus sampai September. “Beberapa daerah di negara kita sudah mengalami keadaan 21 hari tanpa hujan berarti statusnya waspada. 31 hari tanpa hujan berarti status siaga dan juga 61 hari tanpa hujan ini statusnya sudah awas. Ini yang terjadi di beberapa provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT,” ungkapnya.
Jokowi pun meminta jajaran menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk langsung ke lapangan melakukan antisipasi. Dia meminta agar suplai air bersih maupun air pertanian terjaga. “Sehingga risiko terjadinya gagal panen bisa kita hindari. Kalau perlu kita lakukan modifikasi cuaca, pembangunan sungai bor, dan saya minta menteri LHK memantau, mengendalikan potensi titik panas hotspot yang ada dan kita harapkan kebakaran hutan dan lahan gambut bisa kita antisipasi dan kita hindari,” katanya.
Kepala BMKG Dwi Korita Karnawati mengatakan, puncak musim kemarau tidak akan terjadi serempak. Untuk wilayah selatan garis khatulistiwa, puncak kemarau terjadi di bulan Agustus dan dampak kekeringan sampai September. Sementara itu masuk bulan Oktober sampai Desember akan bergerak ke arah utara.
“Jadi tidak serempak. Cuma yang paling luas itu di bulan Agustus-September. Paling luas puncak musim kemaraunya itu di bulan Agustus, mulai dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan. Kemudian masuk bulan Oktober, daerah selatan ini sudah mulai makin basah ke arah musim hujan. Keringnya berjalan menyebrang khatulistiwa, jadi ke arah utara. Itu sampai Desember masih ada kekeringan di Kalimantan Utara, masih ada,” paparnya.
Dia menyebut beberapa daerah sudah masuk pada status awas. Di antaranya Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Sumba Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Kupang, Belu, Bima, Dompu, Kota Bima, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Buleleng. Lalu di Pulau Jawa antara lain Gresik, Magetan, Madiun, Ponorogo, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Pasuruan, Bantul, Gunung Kidul, Sleman, Kulon Progo, Semarang, Blora, Boyolali, Demak, Cilacap, Bekasi, Karawang, Sumedang, Tangerang, dan Jakarta Utara.
“Justru itu tidak seragam dan mumpung ini masih awal Juli, jadi kan perlu ada antisipasi. Karena nanti ketersediaan air akan mengalami defisit terutama di sepanjang Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Timur, sampai Papua itu akan defisit air juga, kering,” tandasnya. Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kekeringan saat ini masih terkendali dan belum masuk bencana.
Meski begitu, Agus memastikan bahwa Kementerian Sosial (Kemensos) telah siap menangani hal tersebut. “Kekeringan yang sudah jadi bencana tentu kita harus lihat. Apakah cadangan berasnya cukup. Kita juga bisa membantu pengadaan air dan mengirimkan tanki-tanki atau truk-truk air. Tapi yang tadi dibahas ya mitigasinya dulu. Jadi jangan sampai bencananya. Misalnya dengan kita dorong dnegan hujan buatan dan lain sebagainya,” paparnya.
(don)