Evita Nursanty: Pasal 27 UU ITE Tidak Mungkin Dihapus
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty mengaskan pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak mungkin dihapus.
Sebab, Indonesia membutuhkan pasal itu untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
“Saya sepakat dan mendukung apa yang pernah disampaikan Menkominfo Rudiantara bahwa pasal itu seperti pasal 27 ayat 3 soal Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik tidak mungkin dihilangkan,” kata Evita dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews di Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Tak hanya itu, lanjut dia, tetapi juga yang mengatur Kesusilaan di ayat 1, Perjudian di ayat 2, Pemerasan dan atau Pengancaman di ayat 4, pasal 28, serta pasal 29 tidak mungkin dihilangkan.
Evita menegaskan, tidak ada kesalahan pada ketentuan pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UU ITE. Pasal-pasal itu bahkan sudah dibahas berulang-ulang termasuk pada saat melakukan revisi tahun 2016. Artinya, yang paling mungkin terjadi adalah kekeliruan dalam penerapannya.
“Sekali lagi ini bukan salah pasal 27 itu, tapi mungkin kekeliruan dalam penerapannya,” ujarnya. Dia menyatakan bahwa ada empat solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
Pertama, tetap mendukung penegak hukum agar lebih hati-hati dalam penerapannya. “Dilihat betul konteksnya, baik itu dalam hal pencemaran nama baik maupun dalam hal kesusilaan,” sebutnya.
Kedua, menyerukan kepada publik agar hati-hati dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi dan traksaksi elektronik.
Ketiga, menyosialisasikan pasal-pasal itu lebih luas kepada publik maupun kepada penegak hukum.
Keempat, melakukan pengkajian komprehensif solusi perlindungan publik baik melalui UU ITE atau di luar UU ITE.
Evita menambahkan, kebebasan penggunaan dan pemanfaatan ITE harus dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Hal itu dengan tujuan mulia, yakni menghormati hak orang lain juga.
Apalagi UU ITE merupakan produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Meski begitu, Evita mengaku setuju jika para pihak yang menaruh perhatian pada kasus-kasus UU ITE ini untuk tetap memberikan masukan agar publik yang kemungkinan rentan dapat terlindungi dari tindakan semena-mena. Dia menegaskan, hukum memang harus tegak kepada semua warga negara tanpa terkecuali.
Evita menyinggung saat revisi UU ITE yang mereka lakukan tahun 2016 di DPR yang juga dilakukan semata-mata untuk menampung aspirasi publik agar pasal itu jangan jadi alat represif dengan mudah menahan seseorang.“Jadi kita mendengar aspirasi publik dan memang ada celah yang memungkinkan untuk ditempuh yaitu dengan menjadikannya delik aduan serta pidana dikurangi,” tuturnya.
“Penegasan ini dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tapi, sekali lagi, tidak ada opsi untuk menghilangkan,” sambungnya.
Terkait dengan ketentuan pasal intersepsi yang ramai diperbincangkan saat ini, Evita mengatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016, maka untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.
Sebab, Indonesia membutuhkan pasal itu untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
“Saya sepakat dan mendukung apa yang pernah disampaikan Menkominfo Rudiantara bahwa pasal itu seperti pasal 27 ayat 3 soal Penghinaan dan atau Pencemaran Nama Baik tidak mungkin dihilangkan,” kata Evita dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews di Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Tak hanya itu, lanjut dia, tetapi juga yang mengatur Kesusilaan di ayat 1, Perjudian di ayat 2, Pemerasan dan atau Pengancaman di ayat 4, pasal 28, serta pasal 29 tidak mungkin dihilangkan.
Evita menegaskan, tidak ada kesalahan pada ketentuan pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UU ITE. Pasal-pasal itu bahkan sudah dibahas berulang-ulang termasuk pada saat melakukan revisi tahun 2016. Artinya, yang paling mungkin terjadi adalah kekeliruan dalam penerapannya.
“Sekali lagi ini bukan salah pasal 27 itu, tapi mungkin kekeliruan dalam penerapannya,” ujarnya. Dia menyatakan bahwa ada empat solusi untuk mengatasi permasalahan ini.
Pertama, tetap mendukung penegak hukum agar lebih hati-hati dalam penerapannya. “Dilihat betul konteksnya, baik itu dalam hal pencemaran nama baik maupun dalam hal kesusilaan,” sebutnya.
Kedua, menyerukan kepada publik agar hati-hati dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi dan traksaksi elektronik.
Ketiga, menyosialisasikan pasal-pasal itu lebih luas kepada publik maupun kepada penegak hukum.
Keempat, melakukan pengkajian komprehensif solusi perlindungan publik baik melalui UU ITE atau di luar UU ITE.
Evita menambahkan, kebebasan penggunaan dan pemanfaatan ITE harus dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Hal itu dengan tujuan mulia, yakni menghormati hak orang lain juga.
Apalagi UU ITE merupakan produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Meski begitu, Evita mengaku setuju jika para pihak yang menaruh perhatian pada kasus-kasus UU ITE ini untuk tetap memberikan masukan agar publik yang kemungkinan rentan dapat terlindungi dari tindakan semena-mena. Dia menegaskan, hukum memang harus tegak kepada semua warga negara tanpa terkecuali.
Evita menyinggung saat revisi UU ITE yang mereka lakukan tahun 2016 di DPR yang juga dilakukan semata-mata untuk menampung aspirasi publik agar pasal itu jangan jadi alat represif dengan mudah menahan seseorang.“Jadi kita mendengar aspirasi publik dan memang ada celah yang memungkinkan untuk ditempuh yaitu dengan menjadikannya delik aduan serta pidana dikurangi,” tuturnya.
“Penegasan ini dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tapi, sekali lagi, tidak ada opsi untuk menghilangkan,” sambungnya.
Terkait dengan ketentuan pasal intersepsi yang ramai diperbincangkan saat ini, Evita mengatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016, maka untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.
(shf)