Penjelasan Soal Wacana Gugatan Pemilu ke Peradilan Internasional
A
A
A
JAKARTA - Usai sudah pengujian sengketa hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai digelar dengan konklusi hasil putusan gugatan Pemohon Prabowo Subianto dan Sandiaga S Uno, ditolak oleh MK.
Prabowo kemudian memberikan konferensi persnya, dia menyatakan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan tim penasihat hukum untuk melakukan upaya hukum lain yang mungkin dapat mengakomodir perjuangan yang digadang-gadang oleh kubu Paslon 02.
Tak lama berselang, mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menyatakan, pihaknya akan membawa sejumlah perkara terkait permasalahan di Pemilu 2019 ke peradilan internasional.
Merespons hal ini, Sekretaris LBH Republik Keadilan Jakarta, Diantori mengatakan, tidaklah tepat untuk mengajukan gugatan Pilpres yang telah di Uji di MK sebagai badan peradilan yang sah di Indonesia, lantas Putusan yang bersifat final and binding itu kembali disoal untuk kemudian diuji di Peradilan Internasional.
"Hanya terdapat 2 badan peradilan internasional yaituthe International Court of Justice(ICJ) atau Mahkamah Internasional, danthe International Criminal Court(ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional dan keduanya memiliki prinsip not intervention principle," kata Diantori, Sabtu (29/6/2019).
Menurut Diantori, jika gugatan "ketidakadilan" dalam Pilpers yang dilaksanakan di Indonesia yang notabene Indonesia sebagai negara yang merdeka serta memiliki elemen kedaulatan sesuai Konvensi Montevideo 1933, maka hanya Pemerintah Indonesia sebagai personalitas hukum yang tepat untuk mengajukan gugatan secara internasional itu.
"Hal ini didasari Pasal 7 (1) padaCharter of the United Nationsdan Pasal 92-96 Statute of the International Court of Justice sehingga Pihak dapat mengajukan gugatan sesuai Legal Standing sebagai Negara yang merdeka adalah Pemerintah Indonesia itu sendiri yang diwakili oleh kementrian luar negeri atau kementerian terkait yang berkepentingan untuk itu," ungkapnya.
Selanjutnya Pakar Hukum Internasional Universitas Tarumanagara Teddy Nurcahyawan menambahkan, terdapat "legal barrieres" dalam Pasal 34 statuta ICJ menyatakan: "Only states may be parties in cases before the Court."
"Lantas Individu ataupun Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki legal standing sebagai Penggugat di Mahkamah Internasional yang berkedudukan di den haag Belanda," kata Teddy.
Kemudian jelas Teddy, keduanya berpendapat bila masih terdapat pihak yang hendak mencoba membawa perkara ini ke ICC (Mahkamah Pidana Internasional).
"Saran kami hal itu sangat tidak mungkin karena upaya tersebut dibatasi dengan Rome Statute atau Statuta Roma," ujarnya.
Teddy menyebutkan, dalam Pasal 12 menyertakan: "A state wich become a party to this statue ...". Dan Yurisdiksi ICC terbatas pada kejahatan kriminal yang serius seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi militer.
"Dalam Pasal 5 statuta ICC membatasi kompetensi materi yang menjadi yurisdiksi ICC sebatas dan terbatas pada "The the most serious crimes of concern to the international," ungkapnya.
Dengan demikian menurut Teddy, jika Paslon 02 hendak mengajukan gugatan ke peradilan Internasional maka akan sia-sia saja dan langkah hukum akan terhenti pada legal standing dan legal substance yang menyangkut materi hukum acara internasional.
"Sehingga tidak memungkinkan permasalahan Sengketa Pilpres yang bukan merupakan kejahatan serius bagi peradaban umat manusia di dunia yang luas ini dapat diadili di Peradilan Internasional," pungkasnya.
Prabowo kemudian memberikan konferensi persnya, dia menyatakan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan tim penasihat hukum untuk melakukan upaya hukum lain yang mungkin dapat mengakomodir perjuangan yang digadang-gadang oleh kubu Paslon 02.
Tak lama berselang, mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menyatakan, pihaknya akan membawa sejumlah perkara terkait permasalahan di Pemilu 2019 ke peradilan internasional.
Merespons hal ini, Sekretaris LBH Republik Keadilan Jakarta, Diantori mengatakan, tidaklah tepat untuk mengajukan gugatan Pilpres yang telah di Uji di MK sebagai badan peradilan yang sah di Indonesia, lantas Putusan yang bersifat final and binding itu kembali disoal untuk kemudian diuji di Peradilan Internasional.
"Hanya terdapat 2 badan peradilan internasional yaituthe International Court of Justice(ICJ) atau Mahkamah Internasional, danthe International Criminal Court(ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional dan keduanya memiliki prinsip not intervention principle," kata Diantori, Sabtu (29/6/2019).
Menurut Diantori, jika gugatan "ketidakadilan" dalam Pilpers yang dilaksanakan di Indonesia yang notabene Indonesia sebagai negara yang merdeka serta memiliki elemen kedaulatan sesuai Konvensi Montevideo 1933, maka hanya Pemerintah Indonesia sebagai personalitas hukum yang tepat untuk mengajukan gugatan secara internasional itu.
"Hal ini didasari Pasal 7 (1) padaCharter of the United Nationsdan Pasal 92-96 Statute of the International Court of Justice sehingga Pihak dapat mengajukan gugatan sesuai Legal Standing sebagai Negara yang merdeka adalah Pemerintah Indonesia itu sendiri yang diwakili oleh kementrian luar negeri atau kementerian terkait yang berkepentingan untuk itu," ungkapnya.
Selanjutnya Pakar Hukum Internasional Universitas Tarumanagara Teddy Nurcahyawan menambahkan, terdapat "legal barrieres" dalam Pasal 34 statuta ICJ menyatakan: "Only states may be parties in cases before the Court."
"Lantas Individu ataupun Organisasi Kemasyarakatan tidak memiliki legal standing sebagai Penggugat di Mahkamah Internasional yang berkedudukan di den haag Belanda," kata Teddy.
Kemudian jelas Teddy, keduanya berpendapat bila masih terdapat pihak yang hendak mencoba membawa perkara ini ke ICC (Mahkamah Pidana Internasional).
"Saran kami hal itu sangat tidak mungkin karena upaya tersebut dibatasi dengan Rome Statute atau Statuta Roma," ujarnya.
Teddy menyebutkan, dalam Pasal 12 menyertakan: "A state wich become a party to this statue ...". Dan Yurisdiksi ICC terbatas pada kejahatan kriminal yang serius seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi militer.
"Dalam Pasal 5 statuta ICC membatasi kompetensi materi yang menjadi yurisdiksi ICC sebatas dan terbatas pada "The the most serious crimes of concern to the international," ungkapnya.
Dengan demikian menurut Teddy, jika Paslon 02 hendak mengajukan gugatan ke peradilan Internasional maka akan sia-sia saja dan langkah hukum akan terhenti pada legal standing dan legal substance yang menyangkut materi hukum acara internasional.
"Sehingga tidak memungkinkan permasalahan Sengketa Pilpres yang bukan merupakan kejahatan serius bagi peradaban umat manusia di dunia yang luas ini dapat diadili di Peradilan Internasional," pungkasnya.
(maf)