Tekan Angka Stunting, Kemenkes Gandeng Perguruan Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Perbaikan gizi masyarakat, khususnya dalam mengatasi masalah stunting, telah menjadi komitmen pemerintah. Namun di tengah turunnya angka kemiskinan persentase stunting masih dianggap cukup tinggi, yakni 30%.
Stunting adalah masalah pembangunan yang kompleks dan terkait dengan kemiskinan, kelaparan dan kurang gizi, kesehatan ibu dan anak, penyakit, pendidikan, kondisi lingkungan dan sanitasi, serta keamanan pagnan dan gizi.
"Karena itu penanggulangan stunting memerlukan kerja sama lintas sektor, lintas disiplin serta lintas pelaku," kata Prof Fasli Jalal, Rektor Universitas YARSI saat kegiatan Penyamaan Persepsi Perguruan Tinggi Pada Program Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di Kabupaten Pandeglang, Banten, di Jakarta.
Sebenarnya program untuk membantu masyarakat tak punya agar anggota keluarganya terhindar dari stunting sudah dilakukan. Namun pemerintah tidak melakukannya secara teritegrasi. "Misalnya ada warga mendapat bantuan pembangunan toilet, tapi dia tak tersentuh bantuan kesehatan atau lainnya. Jadi sekarang kami coba untuk diintegrasikan," tuturnya.
Lebih lanjut dikatakan, pemerintah, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota, bertanggung jawab atas pencegahan dan penanggulangan stunting. Untuk itu pemerintah perlu memastikan program lintas sektor dilaksanakan secara konvergen dan efektif.
Namun upaya ini masih mengahdapi berbagai tantangan. Di antaranya, perbedaan persepsi antara pihak terkait terhadap masalah stunting dan masalah gizi pada umumnya, masalah koordinasi, dan kualitas SDM. Dalam kaitan ini perguruan tinggi (PT) dapat membantu mengatasi masalah pemahaman tersebut serta mendukung perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program penanggulangan stunting oleh pemerintah, khususnya pemkab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Direktorat Gizi, Kementerian Kesehatan menjalin kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), melakukan pendampingan kepada pemerintah kabupaten dalam mengelola program penanggulangan stunting.
"Universitas YARSI merupakan salah satu dari dua PTS yang dipercaya oleh Kementerian Kesehatan untuk terlibat dalam mengelola program penanggulangan stunting. Satu lagi UKI," kata Hera Nurlita, staf Direktorat Gizi Masyarakat Kemenkes.
Lebih lanjut dikatakan, Universitas YARSI mendapat penugasan pendampingan di Kabupaten Pandeglang, Banten. Ada 10 desa yang akan menjadi wilayah prioritas penanganan stunting di sana, yaitu Desa Kadu Maneuh, Koroncong, Pakuluran, Pasirkarag, Tegalongok, Banyu Mundu, Pasirdurung, Langensari, Koncang, dan Kadugadung.
Pada kesempatan yang sama, Prof Soekirman, Guru Besar tidak tetap Fakultas Kedokteran (FK) UKI Jakarta mengatakan, stunting dan gizi buruk tidak bisa disamakan. "Stunting dipengaruhi oleh 1.000 hari sejak kehamilan. Jadi penyebabnya bukan hanya gizi buruk," katanya.
Ditanya penyebab stunting, dia mengatakan, ada banyak penyebab stunting. Antara lain, pernikahan di bawah umur. "Nah melalui pendampingan terintegrasi yang melibatkan multidisiplin ilmu, bisa dilakukan pendekatan secara agama sebaiknya tidak melakukan pernikahan di bawah usia yang dibolehkan oleh UU," katanya lagi.
Rika Yuliwulandari, Dekan FK YARSI, menuturkan, program yang akan berakhir pada bulan Oktober ini mempunyai target tertentu. "Bukan hanya memberikan data potensi stunting di suatu wilayah, kami juga menargetkan bisa membangun dua posyandu di tiap desa dan melatih atau merekrut kader. Sehingga ketika kami tinggalkan, mereka inilah yang melanjutkan program pencegahan stunting di desanya," pungkasnya.
Stunting adalah masalah pembangunan yang kompleks dan terkait dengan kemiskinan, kelaparan dan kurang gizi, kesehatan ibu dan anak, penyakit, pendidikan, kondisi lingkungan dan sanitasi, serta keamanan pagnan dan gizi.
"Karena itu penanggulangan stunting memerlukan kerja sama lintas sektor, lintas disiplin serta lintas pelaku," kata Prof Fasli Jalal, Rektor Universitas YARSI saat kegiatan Penyamaan Persepsi Perguruan Tinggi Pada Program Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di Kabupaten Pandeglang, Banten, di Jakarta.
Sebenarnya program untuk membantu masyarakat tak punya agar anggota keluarganya terhindar dari stunting sudah dilakukan. Namun pemerintah tidak melakukannya secara teritegrasi. "Misalnya ada warga mendapat bantuan pembangunan toilet, tapi dia tak tersentuh bantuan kesehatan atau lainnya. Jadi sekarang kami coba untuk diintegrasikan," tuturnya.
Lebih lanjut dikatakan, pemerintah, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota, bertanggung jawab atas pencegahan dan penanggulangan stunting. Untuk itu pemerintah perlu memastikan program lintas sektor dilaksanakan secara konvergen dan efektif.
Namun upaya ini masih mengahdapi berbagai tantangan. Di antaranya, perbedaan persepsi antara pihak terkait terhadap masalah stunting dan masalah gizi pada umumnya, masalah koordinasi, dan kualitas SDM. Dalam kaitan ini perguruan tinggi (PT) dapat membantu mengatasi masalah pemahaman tersebut serta mendukung perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program penanggulangan stunting oleh pemerintah, khususnya pemkab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Direktorat Gizi, Kementerian Kesehatan menjalin kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), melakukan pendampingan kepada pemerintah kabupaten dalam mengelola program penanggulangan stunting.
"Universitas YARSI merupakan salah satu dari dua PTS yang dipercaya oleh Kementerian Kesehatan untuk terlibat dalam mengelola program penanggulangan stunting. Satu lagi UKI," kata Hera Nurlita, staf Direktorat Gizi Masyarakat Kemenkes.
Lebih lanjut dikatakan, Universitas YARSI mendapat penugasan pendampingan di Kabupaten Pandeglang, Banten. Ada 10 desa yang akan menjadi wilayah prioritas penanganan stunting di sana, yaitu Desa Kadu Maneuh, Koroncong, Pakuluran, Pasirkarag, Tegalongok, Banyu Mundu, Pasirdurung, Langensari, Koncang, dan Kadugadung.
Pada kesempatan yang sama, Prof Soekirman, Guru Besar tidak tetap Fakultas Kedokteran (FK) UKI Jakarta mengatakan, stunting dan gizi buruk tidak bisa disamakan. "Stunting dipengaruhi oleh 1.000 hari sejak kehamilan. Jadi penyebabnya bukan hanya gizi buruk," katanya.
Ditanya penyebab stunting, dia mengatakan, ada banyak penyebab stunting. Antara lain, pernikahan di bawah umur. "Nah melalui pendampingan terintegrasi yang melibatkan multidisiplin ilmu, bisa dilakukan pendekatan secara agama sebaiknya tidak melakukan pernikahan di bawah usia yang dibolehkan oleh UU," katanya lagi.
Rika Yuliwulandari, Dekan FK YARSI, menuturkan, program yang akan berakhir pada bulan Oktober ini mempunyai target tertentu. "Bukan hanya memberikan data potensi stunting di suatu wilayah, kami juga menargetkan bisa membangun dua posyandu di tiap desa dan melatih atau merekrut kader. Sehingga ketika kami tinggalkan, mereka inilah yang melanjutkan program pencegahan stunting di desanya," pungkasnya.
(nag)