Pengamat IT: Pemerintah Harus Transparan Soal Patroli Grup WhatsApp
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengkritik kebijakan pemerintah yang memantau grup percakapan dalam layanan pesan instan WhatsApp melalui patroli siber yang dilakukan Polri.
Selain berpotensi melanggar UUD 1945, memantau layanan tersebut dianggap melanggar hak privat setiap warga negara.
“Berdasar keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), hakim MK berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Aturan penyadapan di UU ITE telah dibatalkan dan diharuskan diatur dalam UU tersendiri yang mengatur penyadapan,” tutur Heru kepada SINDOnews, di Jakarta, Selasa 18 Juni 2019.
Dia menegaskan Hakim Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 31 Ayat 4 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Karena itu, Heru menegaskan jika pemantauan grup percakapan itu dilakukan dengan penyadapan, itu jelas tidak diperbolehkan. Tetapi, kalau menggunakan metode lain bisa.
Untuk itu, kata Heru, pemerintah harus menjelaskan metode apa yang digunakan oleh Polri dalam memantau grup percakapan WhatsApp. Hal itu, kata dia, perlu disampaikan secara transparan kepada publik.
“Metode bagaimana mereka membaca data atau konten WA perlu secara transparan disampaikan ke publik. Sebab ini isu sudah lama beredar tapi selalu dikatakan pemerintah sebagai hoaks,” tukasnya.
Pengamat ITE ini menambahkan, percakapan di layanan pesan instan Whatsapp ini termasuk wilayah privat. Jika disadap itu sama halnya seperti hidup di rumah kaca.
“Percakapan di WA termasuk grup sebenarnya wilayah privat. Kalau dibuka semua ke publik atau disadap ya kita seperti hidup di rumah kaca,” tutur Heru.
Selain berpotensi melanggar UUD 1945, memantau layanan tersebut dianggap melanggar hak privat setiap warga negara.
“Berdasar keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), hakim MK berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Aturan penyadapan di UU ITE telah dibatalkan dan diharuskan diatur dalam UU tersendiri yang mengatur penyadapan,” tutur Heru kepada SINDOnews, di Jakarta, Selasa 18 Juni 2019.
Dia menegaskan Hakim Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 31 Ayat 4 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Karena itu, Heru menegaskan jika pemantauan grup percakapan itu dilakukan dengan penyadapan, itu jelas tidak diperbolehkan. Tetapi, kalau menggunakan metode lain bisa.
Untuk itu, kata Heru, pemerintah harus menjelaskan metode apa yang digunakan oleh Polri dalam memantau grup percakapan WhatsApp. Hal itu, kata dia, perlu disampaikan secara transparan kepada publik.
“Metode bagaimana mereka membaca data atau konten WA perlu secara transparan disampaikan ke publik. Sebab ini isu sudah lama beredar tapi selalu dikatakan pemerintah sebagai hoaks,” tukasnya.
Pengamat ITE ini menambahkan, percakapan di layanan pesan instan Whatsapp ini termasuk wilayah privat. Jika disadap itu sama halnya seperti hidup di rumah kaca.
“Percakapan di WA termasuk grup sebenarnya wilayah privat. Kalau dibuka semua ke publik atau disadap ya kita seperti hidup di rumah kaca,” tutur Heru.
(dam)