Mayoritas Publik Percaya Pemilu 2019
A
A
A
JAKARTA - Tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019 tergolong tinggi. Sebanyak 68-69% rakyat Indonesia percaya jika Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) berlangsung secara jujur, adil, bebas, langsung, dan rahasia.
Hal itu tergambar dari jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Responden yang menganggap pemilu berlangsung jurdil mencapai 68-69% warga, sementara yang menganggap kurang/tidak jurdil hanya 27-28%. “Anggapan bahwa pemilu 2019 tidak berlangsung jurdil tidak sejalan dengan penilaian mayoritas warga Indonesia,” kata Sirojudin Abbas, Direktur Program SMRC saat mempersentasikan hasil survei nasional bertajuk “Kondisi Demokrasi dan Ekonomi Politik Nasional pasca Peristiwa 21-22 Mei: Sebuah Evaluasi Publik” di Kantor SMRC, Jakarta, kemarin.
Menurut Abbas, kepercayaan publik tentang kualitas pemilu ini tidak banyak berbeda dengan Pemilu 2014 dan 2009. “Pada 2009, yang menilai pemilu berlangsung jurdil mencapai 67% dan pada 2014 mencapai 70,7%,” katanya.
Survei ini juga menunjukkan mayoritas rakyat menilai positif kondisi bangsa dan demokrasi Indonesia. Sekitar 66% rakyat menyatakan puas dengan kualitas demokrasi di Indonesia, sementara 77% warga menyatakan pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan demokratis.
Di sisi lain, survei ini juga menunjukkan adanya penurunan kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas kualitas demokrasi di Indonesia seusai terjadinya peristiwa 21-22 Mei 2019 yang mencederai demokrasi.
Survei dilakukan dengan mewawancarai 1.220 responden yang ditarik secara random di seluruh Indonesia pada 20 Mei-1 Juni 2019 dengan margin of error 3,05%. Survei SMRC juga menunjukkan kepuasan atas pelaksanaan demokrasi secara umun turun dari 74% (April 2019) menjadi 66% (Juni 2019). Survei menunjukkan adanya penurunan kepercayaan warga terhadap sejumlah hal yang menjadi indikator kualitas demokrasi. Sebanyak 43% warga menganggap saat ini masyarakat sering takut bicara politik, sementara pada 2014 angkanya hanya 17%.
Sementara itu, 28% warga menilai pemerintah sering mengabaikan konstitusi, sementara pada 2014 angkanya juga 28%. Sebanyak 38% warga menilai saat ini warga sering merasa takut dengan perlakuan semena-mena oleh aparat penegak hukum, sementara pada 2014 angkanya hanya 24%. Poin survei lainnya yaitu 21% warga menilai saat ini warga sering takut ikut organisasi, sementara pada 2014 angkanya hanya 10%. Sementara warga yang menilai saat ini sering takut menjalankan agama sebanyak 25% sementara pada 2014 angkanya hanya 7%. "Walau tetap minoritas, warga yang menilai kondisi politik saat ini buruk juga mengalami peningkatan dibandingkan 2014. Saat ini sekitar 33% warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk, sementara pada 2014 angkanya hanya mencapai 20%," katanya.
Namun, adanya penurunan persepsi tentang kualitas demokrasi dan kondisi politik ini ternyata tidak serius berdampak pada persepsi publik mengenai kondisi ekonomi, penegakan hukum, dan keamanan. Survei SMRC menunjukkan hanya 17% warga yang menganggap kondisi ekonomi nasional lebih buruk, hanya 21% warga yang menganggap kondisi penegakan hukum buruk, dan hanya 16% warga yang menganggap kondisi keamanan buruk. “Yang menggembirakan, secara umum publik belum menyerah dengan prinsip-prinsip demokrasi," katanya.
Survei SMRC menunjukkan 82% warga menganggap demokrasi adalah pilihan sistem terbaik, 86% warga menilai demokrasi cocok untuk Indonesia, dan 91% warga menganggap penting kebebasan untuk mengeritik pemerintah. Sebanyak 97% warga juga menganggap penting pemilu yang bebas dan adil, dan 86% warga memilih sistem demokrasi dibandingkan sistem yang lain. "Adanya penurunan persepsi tentang kualitas kondisi demokrasi ternyata belum membuat rakyat Indonesia mengendur atau patah semangat dengan keinginan mereka agar Indonesia menjadi semakin demokratis,” kata Abbas.
Menurut Abbas, temuan survei ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi didukung oleh mayoritas warga Indonesia yang percaya bahwa pemilu telah berlangsung secara baik dan benar. Mayoritas masyarakat juga percaya kondisi politik, ekonomi, hukum dan keamanan berada dalam kondisi memuaskan. Namun ada kekhawatiran bahwa terjadi penurunan kualitas demokrasi . “Mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi untuk lima tahun ke depan,” pungkas Abbas.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola mengatakan, polarisasi yang terjadi di masyarakat saat ini banyak karena terseret oleh polarisasi yang diciptakan oleh elite politik. "Nah kalau elite politiknya itu sekarang mulai sadar dan menganjurkan hal-hal yang baik, seperti Prabowo mengajukan supaya menerima apapun keputusan MK itu bagus. Itu membuat sejuk dan mudah-mudahan suhu yang sempat panas itu makin lama makin turun," tutur Thamrin yang menjadi pembicara dalam pemaparan hasil survei tersebut.
Dikatakan Thamrin, pascasidang MK nanti, potensi kerusuhan semakin kecil setelah adanya imbauan dari Prabowo supaya pengikutnya menerima apapun keputusan MK. "Itu begitu udah bagus sekali, itu sudah menyejukkan," katanya. (Abdul Rochim)
Hal itu tergambar dari jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Responden yang menganggap pemilu berlangsung jurdil mencapai 68-69% warga, sementara yang menganggap kurang/tidak jurdil hanya 27-28%. “Anggapan bahwa pemilu 2019 tidak berlangsung jurdil tidak sejalan dengan penilaian mayoritas warga Indonesia,” kata Sirojudin Abbas, Direktur Program SMRC saat mempersentasikan hasil survei nasional bertajuk “Kondisi Demokrasi dan Ekonomi Politik Nasional pasca Peristiwa 21-22 Mei: Sebuah Evaluasi Publik” di Kantor SMRC, Jakarta, kemarin.
Menurut Abbas, kepercayaan publik tentang kualitas pemilu ini tidak banyak berbeda dengan Pemilu 2014 dan 2009. “Pada 2009, yang menilai pemilu berlangsung jurdil mencapai 67% dan pada 2014 mencapai 70,7%,” katanya.
Survei ini juga menunjukkan mayoritas rakyat menilai positif kondisi bangsa dan demokrasi Indonesia. Sekitar 66% rakyat menyatakan puas dengan kualitas demokrasi di Indonesia, sementara 77% warga menyatakan pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan demokratis.
Di sisi lain, survei ini juga menunjukkan adanya penurunan kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas kualitas demokrasi di Indonesia seusai terjadinya peristiwa 21-22 Mei 2019 yang mencederai demokrasi.
Survei dilakukan dengan mewawancarai 1.220 responden yang ditarik secara random di seluruh Indonesia pada 20 Mei-1 Juni 2019 dengan margin of error 3,05%. Survei SMRC juga menunjukkan kepuasan atas pelaksanaan demokrasi secara umun turun dari 74% (April 2019) menjadi 66% (Juni 2019). Survei menunjukkan adanya penurunan kepercayaan warga terhadap sejumlah hal yang menjadi indikator kualitas demokrasi. Sebanyak 43% warga menganggap saat ini masyarakat sering takut bicara politik, sementara pada 2014 angkanya hanya 17%.
Sementara itu, 28% warga menilai pemerintah sering mengabaikan konstitusi, sementara pada 2014 angkanya juga 28%. Sebanyak 38% warga menilai saat ini warga sering merasa takut dengan perlakuan semena-mena oleh aparat penegak hukum, sementara pada 2014 angkanya hanya 24%. Poin survei lainnya yaitu 21% warga menilai saat ini warga sering takut ikut organisasi, sementara pada 2014 angkanya hanya 10%. Sementara warga yang menilai saat ini sering takut menjalankan agama sebanyak 25% sementara pada 2014 angkanya hanya 7%. "Walau tetap minoritas, warga yang menilai kondisi politik saat ini buruk juga mengalami peningkatan dibandingkan 2014. Saat ini sekitar 33% warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk, sementara pada 2014 angkanya hanya mencapai 20%," katanya.
Namun, adanya penurunan persepsi tentang kualitas demokrasi dan kondisi politik ini ternyata tidak serius berdampak pada persepsi publik mengenai kondisi ekonomi, penegakan hukum, dan keamanan. Survei SMRC menunjukkan hanya 17% warga yang menganggap kondisi ekonomi nasional lebih buruk, hanya 21% warga yang menganggap kondisi penegakan hukum buruk, dan hanya 16% warga yang menganggap kondisi keamanan buruk. “Yang menggembirakan, secara umum publik belum menyerah dengan prinsip-prinsip demokrasi," katanya.
Survei SMRC menunjukkan 82% warga menganggap demokrasi adalah pilihan sistem terbaik, 86% warga menilai demokrasi cocok untuk Indonesia, dan 91% warga menganggap penting kebebasan untuk mengeritik pemerintah. Sebanyak 97% warga juga menganggap penting pemilu yang bebas dan adil, dan 86% warga memilih sistem demokrasi dibandingkan sistem yang lain. "Adanya penurunan persepsi tentang kualitas kondisi demokrasi ternyata belum membuat rakyat Indonesia mengendur atau patah semangat dengan keinginan mereka agar Indonesia menjadi semakin demokratis,” kata Abbas.
Menurut Abbas, temuan survei ini menunjukkan bahwa Presiden Jokowi didukung oleh mayoritas warga Indonesia yang percaya bahwa pemilu telah berlangsung secara baik dan benar. Mayoritas masyarakat juga percaya kondisi politik, ekonomi, hukum dan keamanan berada dalam kondisi memuaskan. Namun ada kekhawatiran bahwa terjadi penurunan kualitas demokrasi . “Mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi untuk lima tahun ke depan,” pungkas Abbas.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola mengatakan, polarisasi yang terjadi di masyarakat saat ini banyak karena terseret oleh polarisasi yang diciptakan oleh elite politik. "Nah kalau elite politiknya itu sekarang mulai sadar dan menganjurkan hal-hal yang baik, seperti Prabowo mengajukan supaya menerima apapun keputusan MK itu bagus. Itu membuat sejuk dan mudah-mudahan suhu yang sempat panas itu makin lama makin turun," tutur Thamrin yang menjadi pembicara dalam pemaparan hasil survei tersebut.
Dikatakan Thamrin, pascasidang MK nanti, potensi kerusuhan semakin kecil setelah adanya imbauan dari Prabowo supaya pengikutnya menerima apapun keputusan MK. "Itu begitu udah bagus sekali, itu sudah menyejukkan," katanya. (Abdul Rochim)
(nfl)