Radikalisme via Medsos, Penyedia Platform Diminta Ikut Tanggung Jawab
A
A
A
JAKARTA - Penyedia platform media sosial (medsos) seperti Youtube, Facebook, WhatsApp, dan lainnya harus ikut bertanggung jawab terhadap munculnya radikalisasi via medsos.
Selama ini pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan berbagai cara untuk membendung masalah ini. Namun, langkah itu tidak cukup efektif tanpa adanya filter dari penyedia platform. Alhasil konten-konten radikal terorisme masih berkeliaran bebas di medsos.
“Penyedia medsos ini juga perlu ikut bertanggung jawab. Mereka seharusnya bisa memfilter sebelum konten radikal tersebut tersebar ke masyarakat. Apalagi masalah terorisme ini termasuk katagori extraordinary crime,” ujar pengamat intelijen dan terorisme, Wawan Hari Purwanto di Jakarta, Kamis 13 Juni 2019.
Menurut dia, radikalisasi melalui online melalui medsos sudah menjadi ancaman nyata dan sangat serius sehingga perlu diwaspadai. Karena bagi kelompok radikal terorisme ini media social merupakan sarana efektif digunakan untuk merekrut dan melakukan indoktrinasi karena jangkauan yang luas.
“Dari beberapa kasus banyak pihak terpapar melalui medsos. Baiat yang mereka (kelompok teroris-red) sekarang juga sudah via medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Rekrutmen sekarang ini tidak perlu tatap muka lagi,” ungkap Wawan.
Dalam pengamatannya, kata dia, sejauh ini pergerakan kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) yang sudah dibubarkan oleh pemerintah, masih eksis untuk menyebarkan paham radikal melalui medsos
“Meski JAD tidak terdaftar sebagai ormas resmi di Indonesia, sehingga dibubarkan atau tidak, tetapi mereka tetap bisa melakukan gerakan teror dan rekrutmen. Bahkan nama juga relatif bisa berganti sesuai dengan keinginan mereka. Jadi kenyataannya sekarang JAD ini masih eksis dalam penyebaran gerakan radaikal via medsos,” tuturnya.
Waan meminta peran pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk dapat membatasi ruang gerak penyebaran paham radikal terorisme ini melaui medsos.
“Peran pemerintah via Kemkominfo sangat diperlukan, sebab Kemkominfo punya otoritas untuk memblokir, melakukan take down, meng-counter dan lain-lain atas permintaan kementerian ataupun lembaga lain ataupun tuntutan masyarakat,” kata Wawan.
Selain itu, kata dia, perlu dilakukan patroli Siber selama 24 jam untuk melakukan upaya deteksi dini dan cegah dini oleh aparat keamanan terkait masalah ini.
Tak hanya itu, Wawan mengatakan, perlu upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat termasuk juga lembaga pendidikan di semua jenjang terhadap pentingnya literasi digital antipaham radikal secara berkelanjutan.
“Literasi digital ini harus berkelanjutan dan harus menyebar ke seluruh elemen masyarakat. Termasuk juga di lembaga pendidikan di semua jenjang harus mendapatkan literasi tentang bahayanya penyebaran paham-paham radikal itu melalui dunia maya atau media sosial,” ucapnya
Kendati demikian, menurut dia, agar literasi digital ini bisa sampai ke tengah-tengah masyarakat tentunya harus bekerja sama dengan kementerian/lembaga (K/L) yang juga harus didukung dengan Ormas, OKP, Babinsa, Bhabinkamtibmas hingga RT/RW.
Selama ini pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan berbagai cara untuk membendung masalah ini. Namun, langkah itu tidak cukup efektif tanpa adanya filter dari penyedia platform. Alhasil konten-konten radikal terorisme masih berkeliaran bebas di medsos.
“Penyedia medsos ini juga perlu ikut bertanggung jawab. Mereka seharusnya bisa memfilter sebelum konten radikal tersebut tersebar ke masyarakat. Apalagi masalah terorisme ini termasuk katagori extraordinary crime,” ujar pengamat intelijen dan terorisme, Wawan Hari Purwanto di Jakarta, Kamis 13 Juni 2019.
Menurut dia, radikalisasi melalui online melalui medsos sudah menjadi ancaman nyata dan sangat serius sehingga perlu diwaspadai. Karena bagi kelompok radikal terorisme ini media social merupakan sarana efektif digunakan untuk merekrut dan melakukan indoktrinasi karena jangkauan yang luas.
“Dari beberapa kasus banyak pihak terpapar melalui medsos. Baiat yang mereka (kelompok teroris-red) sekarang juga sudah via medsos. Bahkan mereka juga bisa melakukan tanya jawab jika mereka mengalami kesulitan dalam membuat bahan peledak. Rekrutmen sekarang ini tidak perlu tatap muka lagi,” ungkap Wawan.
Dalam pengamatannya, kata dia, sejauh ini pergerakan kelompok-kelompok radikal seperti Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) yang sudah dibubarkan oleh pemerintah, masih eksis untuk menyebarkan paham radikal melalui medsos
“Meski JAD tidak terdaftar sebagai ormas resmi di Indonesia, sehingga dibubarkan atau tidak, tetapi mereka tetap bisa melakukan gerakan teror dan rekrutmen. Bahkan nama juga relatif bisa berganti sesuai dengan keinginan mereka. Jadi kenyataannya sekarang JAD ini masih eksis dalam penyebaran gerakan radaikal via medsos,” tuturnya.
Waan meminta peran pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk dapat membatasi ruang gerak penyebaran paham radikal terorisme ini melaui medsos.
“Peran pemerintah via Kemkominfo sangat diperlukan, sebab Kemkominfo punya otoritas untuk memblokir, melakukan take down, meng-counter dan lain-lain atas permintaan kementerian ataupun lembaga lain ataupun tuntutan masyarakat,” kata Wawan.
Selain itu, kata dia, perlu dilakukan patroli Siber selama 24 jam untuk melakukan upaya deteksi dini dan cegah dini oleh aparat keamanan terkait masalah ini.
Tak hanya itu, Wawan mengatakan, perlu upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat termasuk juga lembaga pendidikan di semua jenjang terhadap pentingnya literasi digital antipaham radikal secara berkelanjutan.
“Literasi digital ini harus berkelanjutan dan harus menyebar ke seluruh elemen masyarakat. Termasuk juga di lembaga pendidikan di semua jenjang harus mendapatkan literasi tentang bahayanya penyebaran paham-paham radikal itu melalui dunia maya atau media sosial,” ucapnya
Kendati demikian, menurut dia, agar literasi digital ini bisa sampai ke tengah-tengah masyarakat tentunya harus bekerja sama dengan kementerian/lembaga (K/L) yang juga harus didukung dengan Ormas, OKP, Babinsa, Bhabinkamtibmas hingga RT/RW.
(dam)