KPK Akui Sudah Menemukan Aset Milik Sjamsul Nursalim
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sudah mengantongi data-data aset milik tersangka kasus dugaan korupsi SKL BLBI Sjamsul Nursalim. KPK pun menyatakan siap beradu bukti dengan Sjamsul Nursalim terkait kepemilikan aset tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penelusuran aset yang akan berujung pada penyitaan merupakan konsekuensi logis dari penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya, Itjih S Nursalim.
Sjamsul dan Itjih sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan dan pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham (SPKPS) atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan kewajiban penyerahan aset obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
KPK mengingatkan, berdasarkan pertimbangan putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)? periode 2002-2004 Syafruddin Arsjad Temenggung (divonis 15 tahun di tahap banding) telah jelas dan terang bahwa Sjamsul telah diperkaya sebesar Rp4,58 triliun dari penerbitan dan pemberian SKL BLBI.
Angka Rp4,58 triliun tersebut masuk sebagai kerugian negara karena kewajiban senilai tersebut tidak dibayarkan oleh Sjamsul.
Febri mengatakan, KPK mempersilakan Sjamsul atau pihak yang mengaku-ngaku sebagai orang yang mewakili atau pihak mengaku-ngaku sebagai kuasa hukum yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara. Namun bagi KPK, sebaiknya Sjamsul maupun Itjih datang jika nanti dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka.
“Saya kira bagus kalau ada bantahan itu, apalagi kalau bantahan itu disampaikan langsung oleh tersangka. Datanglah ke Indonesia dan sampaikan bantahan itu kepada penyidik. Tersangka punya hak dan ruang untuk menyampaikan bantahan, kalau perlu membawa dokumen-dokumen yang menjadi alat verifikasinya. Kami juga yakin dengan bukti-bukti yang sudah kami miliki dan sudah ada aset yang kami temukan,” tandas Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini mengatakan, kedatangan Sjamsul dan Itjih nanti ke Indonesia ketika dipanggil hakikatnya sebagai perwujudan ketaatan terhadap hukum dan sikap kooperatif terhadap proses hukum di Indonesia.
Sebab, ketika bantahan disampaikan di luar ruang pemeriksaan dan disampaikan oleh bukan tersangka, maka tidak bernilai hukum. Keterangan bernilai hukum ketika sudah tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP). “Jadi, ketika nanti dipanggil oleh KPK, datang dan sampaikan bantahan-bantahan tersebut. Karena ada ruang yang diberikan oleh hukum acara kita,” ujarnya.
Febri mengungkapkan, ada sejumlah aset yang diduga milik Sjamsul dan berasal dari hasil memperkaya diri yang sudah ditemukan KPK di Indonesia maupun luar negeri termasuk Singapura. Hanya saja jumlah item aset, sebarannya di mana saja, dan berapa nilai setiap aset tersebut belum bisa disampaikan ke publik.
Menurut Febri, ketika semua temuan sudah rampung dan disusul penyitaan, maka tentu saja akan disampaikan ke publik lebih khusus dibuka dalam persidangan. “Dalam perkara ini kami memaksimalkan asset recovery yang cukup besar, Rp4,58 triliun. Maksimalnya berapa? Maksimalnya Rp4,58 triliun tersebut,” ungkapnya.
Untuk upaya memanggil dan mendatangkan Sjamsul dan Itjih serta penelusuran hingga penyitaan aset, maka KPK memaksimalkan sepenuhnya kerja sama internasional. Di antaranya dengan Interpol, otoritas negara setempat, hingga mekanisme-mekanisme kerja sama lainnya yang dibenarkan menurut hukum internasional.
Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim mengatakan, langkah penelusuran aset yang dilakukan KPK dalam penyidikan dengan tersangka dua kliennya terlalu terburu-buru dan tidak berdasar. Apalagi, dari dua hasil audit BPK pada 2002 dan 2006 tidak ada disebutkan keuntungan yang diperoleh Sjamsul dari penerbitan dan pemberian SKL BLBI untuk Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Sedangkan audit investigatif BPK 2017 yang dipakai KPK sama sekali bertentangan dengan kesimpulan laporan audit BPK 2002 dan 2006. “KPK jangan terburu-buru menyampaikan itu (upaya penelusuran aset) sekarang, itu nggak tepat lah. Kan nggak ada yang diperkaya, siapa yang diperkaya? Makanya kok tiba-tiba KPK bicara aset, aset yang mana yang mau disita,” ungkap Maqdir.
Seandainya KPK mengincar aset yang ada pada perusahaan publik, maka efeknya sangat besar bahkan akan hancur ekonomi Indonesia. Maqdir mengatakan, saat ini KPK sedang menarik-narik kasus ini serta penelusuran aset dan penyitaannya dengan PT Gajah Tunggal Tbk (Gajah Tunggal Group).
Perusahaan ini, menurut Maqdir, bukan milik Sjamsul tapi milik publik dan perusahaan terbuka. “Akibat mereka (KPK), si Febri (Juru Bicara KPK Febri Diansyah) ngomong tentang ini, saham Gajah Tunggal itu sudah turun. Ini akibatnya masyarakat loh yang dirugikan. Jadi jangan terlalu gampang mengambil kesimpulan lah,” tandasnya.
Mengenai permintaan agar Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim datang ke KPK untuk mengikuti proses pemeriksaan, menuut dia, adalah upaya untuk mencitrakan kliennya tersebut telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dipersangkakan tanpa proses hukum. “Sedangkan faktanya mereka belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka seperti yang diwajibkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,” tandasnya.
Sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan dan juru bicara KPK tersebut tidak proporsional dan menyesatkan. Sebab, seolah-olah keduanya sudah dijatuhi hukuman pidana. Padahal, penyelesaian kewajiban BLBI BDNI oleh Sjamsul didasarkan pada perjanjian keperdataan (MSAA) yang dibuat antara pemerintah dan Sjamsul. Maka, kalau ada tuntutan/klaim apapun, penyelesaiannya adalah secara keperdataan bukan pidana. “Ini bukti bahwa KPK tidak menghargai hukum dan proses hukum,” katanya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penelusuran aset yang akan berujung pada penyitaan merupakan konsekuensi logis dari penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya, Itjih S Nursalim.
Sjamsul dan Itjih sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan dan pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham (SPKPS) atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan kewajiban penyerahan aset obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
KPK mengingatkan, berdasarkan pertimbangan putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim terhadap terdakwa Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)? periode 2002-2004 Syafruddin Arsjad Temenggung (divonis 15 tahun di tahap banding) telah jelas dan terang bahwa Sjamsul telah diperkaya sebesar Rp4,58 triliun dari penerbitan dan pemberian SKL BLBI.
Angka Rp4,58 triliun tersebut masuk sebagai kerugian negara karena kewajiban senilai tersebut tidak dibayarkan oleh Sjamsul.
Febri mengatakan, KPK mempersilakan Sjamsul atau pihak yang mengaku-ngaku sebagai orang yang mewakili atau pihak mengaku-ngaku sebagai kuasa hukum yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara. Namun bagi KPK, sebaiknya Sjamsul maupun Itjih datang jika nanti dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka.
“Saya kira bagus kalau ada bantahan itu, apalagi kalau bantahan itu disampaikan langsung oleh tersangka. Datanglah ke Indonesia dan sampaikan bantahan itu kepada penyidik. Tersangka punya hak dan ruang untuk menyampaikan bantahan, kalau perlu membawa dokumen-dokumen yang menjadi alat verifikasinya. Kami juga yakin dengan bukti-bukti yang sudah kami miliki dan sudah ada aset yang kami temukan,” tandas Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin.
Mantan pegawai fungsional pada Direktorat Gratifikasi KPK ini mengatakan, kedatangan Sjamsul dan Itjih nanti ke Indonesia ketika dipanggil hakikatnya sebagai perwujudan ketaatan terhadap hukum dan sikap kooperatif terhadap proses hukum di Indonesia.
Sebab, ketika bantahan disampaikan di luar ruang pemeriksaan dan disampaikan oleh bukan tersangka, maka tidak bernilai hukum. Keterangan bernilai hukum ketika sudah tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP). “Jadi, ketika nanti dipanggil oleh KPK, datang dan sampaikan bantahan-bantahan tersebut. Karena ada ruang yang diberikan oleh hukum acara kita,” ujarnya.
Febri mengungkapkan, ada sejumlah aset yang diduga milik Sjamsul dan berasal dari hasil memperkaya diri yang sudah ditemukan KPK di Indonesia maupun luar negeri termasuk Singapura. Hanya saja jumlah item aset, sebarannya di mana saja, dan berapa nilai setiap aset tersebut belum bisa disampaikan ke publik.
Menurut Febri, ketika semua temuan sudah rampung dan disusul penyitaan, maka tentu saja akan disampaikan ke publik lebih khusus dibuka dalam persidangan. “Dalam perkara ini kami memaksimalkan asset recovery yang cukup besar, Rp4,58 triliun. Maksimalnya berapa? Maksimalnya Rp4,58 triliun tersebut,” ungkapnya.
Untuk upaya memanggil dan mendatangkan Sjamsul dan Itjih serta penelusuran hingga penyitaan aset, maka KPK memaksimalkan sepenuhnya kerja sama internasional. Di antaranya dengan Interpol, otoritas negara setempat, hingga mekanisme-mekanisme kerja sama lainnya yang dibenarkan menurut hukum internasional.
Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim mengatakan, langkah penelusuran aset yang dilakukan KPK dalam penyidikan dengan tersangka dua kliennya terlalu terburu-buru dan tidak berdasar. Apalagi, dari dua hasil audit BPK pada 2002 dan 2006 tidak ada disebutkan keuntungan yang diperoleh Sjamsul dari penerbitan dan pemberian SKL BLBI untuk Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Sedangkan audit investigatif BPK 2017 yang dipakai KPK sama sekali bertentangan dengan kesimpulan laporan audit BPK 2002 dan 2006. “KPK jangan terburu-buru menyampaikan itu (upaya penelusuran aset) sekarang, itu nggak tepat lah. Kan nggak ada yang diperkaya, siapa yang diperkaya? Makanya kok tiba-tiba KPK bicara aset, aset yang mana yang mau disita,” ungkap Maqdir.
Seandainya KPK mengincar aset yang ada pada perusahaan publik, maka efeknya sangat besar bahkan akan hancur ekonomi Indonesia. Maqdir mengatakan, saat ini KPK sedang menarik-narik kasus ini serta penelusuran aset dan penyitaannya dengan PT Gajah Tunggal Tbk (Gajah Tunggal Group).
Perusahaan ini, menurut Maqdir, bukan milik Sjamsul tapi milik publik dan perusahaan terbuka. “Akibat mereka (KPK), si Febri (Juru Bicara KPK Febri Diansyah) ngomong tentang ini, saham Gajah Tunggal itu sudah turun. Ini akibatnya masyarakat loh yang dirugikan. Jadi jangan terlalu gampang mengambil kesimpulan lah,” tandasnya.
Mengenai permintaan agar Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim datang ke KPK untuk mengikuti proses pemeriksaan, menuut dia, adalah upaya untuk mencitrakan kliennya tersebut telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dipersangkakan tanpa proses hukum. “Sedangkan faktanya mereka belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka seperti yang diwajibkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,” tandasnya.
Sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan dan juru bicara KPK tersebut tidak proporsional dan menyesatkan. Sebab, seolah-olah keduanya sudah dijatuhi hukuman pidana. Padahal, penyelesaian kewajiban BLBI BDNI oleh Sjamsul didasarkan pada perjanjian keperdataan (MSAA) yang dibuat antara pemerintah dan Sjamsul. Maka, kalau ada tuntutan/klaim apapun, penyelesaiannya adalah secara keperdataan bukan pidana. “Ini bukti bahwa KPK tidak menghargai hukum dan proses hukum,” katanya.
(don)