7 Tahun Pelembagaan Kode Etik DKPP

Rabu, 12 Juni 2019 - 14:44 WIB
7 Tahun Pelembagaan Kode Etik DKPP
7 Tahun Pelembagaan Kode Etik DKPP
A A A
Mohammad Saihu
Stafsus DKPP

"In civilized life, law floats in a sea of ethics"
Earl Warren, Ketua MA USA (1953-1969)

AWALNYA etika dipahami sebagai urusan pribadi (private) dan lebih banyak dimaknai dalam ajaran keagamaan. Sifatnya yang dipahami sebagai urusan pribadi mengakibatkan etika lepas dari dimensi-dimensi lain (hukum, ekonomi, politik dan budaya).

Sementara dalam menata relasi dan interaksi antar manusia, hukum positif berlaku untuk menyelesaikan pelbagai persoalan dan penegakan keadilan. Berlakulah istilah sanksi pemenjaraan.

Masalahnya, hipotesa bahwa penghukuman penjara efektif memberangus kejahatan justru banyak melahirkan kriminalitas baru. Bahkan penjara pun menjelma menjadi school of criminal (sekolah kejahatan) karena prinsip penghukumannya berorientasi pembalasan (retributive justice).Di Indonesia, penjara berubah nama lembaga pemasyarakatan (Lapas) dengan orientasi pemulihan (restorative justice). Masalahnya, hanya nama yang berubah, karena kultur sisa-sisa kepenjaraan masa lalu tetap berlangsung dan justru bertambah pada praktik pemerasan.

Lapas mulai banyak dihuni para pengusaha besar, mantan politisi, dan mantan penguasa yang bergelimang harta. Akibatnya, aroma “diskriminasi” terjadi antara penghuni Lapas kaya dan miskin. Fasilitas yang over crowded justru menimbulkan black market (pasar gelap) dan terjadilah “jual beli keistimewaan dan kesempatan”. Karena itu, para ahli hukum menggugah pemikiraan upaya pengembangan teori-teori yang berkenaan dengan sistem etik dan sistem hukum yang saling beriringan.

Adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (Ketua DKPP, 2012 – 2017) dalam bukunya, “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule Of Ethics & Constitutional Law and Constitusional Ethics (2016)”, menawarkan gagasan bahwa, demokrasi yang sehat tidak boleh sekadar bersifat prosedural menurut hukum tetapi harus ditopang oleh the rule of law and the rule of ethics secara bersamaan. The rule of law bekerja berdasarkan code of law, sedangkan The rule of ethics bekerja berdasarkan code of ethics, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etik (court of ethics) untuk masalah etika.

Dr. Harjono, S.H., M.Cl (Ketua DKPP, 2017 – 2022) berpandangan, jika pemberlakuan kode etik sudah matang, maka akan tumbuh morality of power. Kode etik tidak akan lagi bertumpu pada kekuasaan. Segala rupa praktik kekuasaan akan tunduk pada prinsip-prinsip moral karena praktik penyimpangan kekuasaan seringkali luput dari sanksi manakala dilarikan pada jalur hukum.

Menurutnya, di Indonesia morality of power belum berkembang dengan baik. Dimensi moralitas yang agung selalu direduksi pada aspek administrasi legal. Akibatnya, banyak penanganan perkara besar (korupsi, misalnya) yang bersembunyi di balik pembuktian hukum.

Berbeda dengan yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Seorang wali kota New York mengaku telah menyalahi kode etiknya sebagai pejabat publik dan mengundurkan diri karena diketahui menjadi perantara transaksi seksual tanpa melalui proses hukum yang berbelit.

Di Jepang, aspek-aspek morality of power berkembang sangat baik, budaya malu (shame culture) juga berlaku di negeri ini. Sering tersiar kabar pejabat mengundurkan diri bahkan bunuh diri hanya karena dituding melakukan korupsi. (Jurnal Etika dan Pemilu DKPP, Vol. 4, Nomor 2 – Desember 2018).

Kesadaran dunia internasioanl tentang pentingnya pelembagaan kode etik untuk melengkapi pendekatan hukum dalam mengatur kehidupan bangsa, mulai digaungkan dalam suatu resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1996, agar seluruh negara anggota mendirikan badan etik pada tiap kantor publik (to install ethics infra structure in public offices).

Indonesia, sebagai negara berdaulat dalam percaturan dunia, menindaklanjuti Resolusi PBB dengan menerbitkan TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 dengan mengembangkan struktur etika dalam jabatan-jabatan public (ethics infra-structures in public offices). Baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, juga pada organisasi profesi.

Dewan Kehormatan Penyelenggara (DKPP) adalah satu di antara lembaga penegak kode etik yang bertugas khusus dalam penegakan kode etik bagi seluruh penyelenggara pemilu di Indonesia. DKPP menggunakan sistem peradilan modern sebagaimana peradilan pada umumnya, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka.

Performa Lembaga Penegak Kode Etik di Indonesia
Di Indonesia, sebenarnya sudah cukup banyak berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam lingkungan jabatan-jabatan kenegaraan. Di bidang kehakiman, misalnya, sudah ada Komisi Yudisial, di samping adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) dalam sistem internal Mahkamah Agung.

Di Mahkamah Konstitusi juga ada mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Mahkamah Konstitusi. Di dunia pers dan jurnalistik, terdapat pula Dewan Pers. Di lingkungan lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD telah ada Mahkamah Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD.

Di lingkungan organisasi profesi, seperti misalnya di dunia kedokteran, sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang salah satu tugasnya membentuk mengatur keberadaan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. Sedangkan di bidang-bidang profesi lainnya, lembaga penegak etika itu semua dilembagakan secara internal dalam masing-masing organisasi profesi, organisasi-organisasi kemasyarakatan atau pun partai-partai politik.

Pun demikian yang ada di banyak lembaga negara dan semua partai politik, serta kebanyakan organisasi kemasyrakatan (Ormas) telah mempunyai sistem kode etik yang diberlakukan secara internal dan disertai dengan pengaturan mengenai lembaga-lembaga penegaknya.

Di lingkungan Pengawai Negeri sudah ada Kode Etik Pegawai Republik Indonesia dan mekanisme penegakannya. Di lingkungan Komisi Nasional Hak asasi Manusia (Komnasham) juga sudah diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya. Di organisasi PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) juga sudah diatur adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat.

Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut, oleh banyak ahli hukum dinilai masih bersifat proforma atau sebagai pantas-pantasan, basa-basi atau sekadar mengikuti trend (KBBI), bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tidak semuanya memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif.

Kemodernan Peradilan DKPP
Sejarah DKPP bermula dari telah berdirinya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) pada tahun 2008 berdasarkan UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. DK KPU adalah institusi etik, bersifat ad hoc, dan bertugas menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dengan fungsi memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi (hanya) kepada KPU. Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota dibentuk DK-KPU Provinsi.

Sedangkan untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Bawaslu dibentuk DK Bawaslu. DKPP hadir sebagai lembaga peradilan etik yang menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, termasuk mengenai independensi dan imparsialitasnya.

Hanya beberapa tahun, DK KPU memberikan teroboson dengan memberhentikan beberapa penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik. Di antara 2 putusan DK KPU menjadi trending topics. Tahun 2009, 5 anggota KPU Sumatera Selatan diberhentikan karena konfilk kepentingan yang menghambat kinerja KPU. Sementara Tahun 2010, Anggota KPU Andi Nurpati dipecat karena menjadi Pengurus Partai Demokrat”.

Kinerja DK KPU pun mengundang simpati publik. Alhasil pemerintah dan DPR memandang penting untuk meningkatkan kapasitas wewenang, tugas, dan fungsi lembaga kode etik di bidang kepemiluan ini.

Selain itu, komposisi keanggotaan DK KPU yang dominan dengan unsur penyelenggara pun dinilai perlu ditata ulang. Pada 12 Juni 2012 DK KPU secara resmi berubah DKPP melalui produk hukum UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemiluhan umum.

Seiring perubahan DK KPU menjadi DKPP, UU No 15/2011 menetapkan DKPP bersifat tetap, struktur kelembagaannya lebih profesional, dan dengan tugas, fungsi, kewenangan menjangkau seluruh jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) beserta jajarannya dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa.

DKPP juga merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang bertugas menangani pelanggaran kode etik (penyelidikan, verifikasi, pemeriksaan) dengan sifat putusan final dan mengikat (final and binding). Keanggotaan DKPP pun dipilih dari unsur tokoh masyarakat (Tomas), professional dalam bidang kepemiluan, ditetapkan bertugas per-5 tahun dengan masing-masing 1 (satu) perwakilan (ex officio) dari unsur anggota KPU dan Bawaslu aktif.

Pada 2017, melalui UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum, DKPP dipandang penting dikuatkan kesekretariatannya. Jika pada UU No 15/2011, kesekretariatan DKPP dibantu oleh Sekjen Bawaslu maka UU No 7/2017 mengamanatkan kesekretariatan DKPP dipimpin langsung oleh seorang sekretaris.

Perintah tambahan lain di antarannya tentang Tim Pemeriksa Daerah (TPD), yang sebelumnya hanya dibentuk berdasarkan peraturan DKPP menjadi diamanatkan undang-undang meski bersifat ad hoc. TPD berfungsi sebagai hakim di daerah guna membantu dan/atau menjadi hakim pendamping anggota DKPP dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di daerah.

Sampai pada tahun ketujuh, DKPP telah dinahkodai 2 periode keanggotaan; Pertama, periode 2012 – 2017 dengan ketua merangkap anggota Jimly Asshiddiqie beserta Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Valina Singka, dan Anna Erliyana yang menggantikan Abdul Bari Azed karena mengundurkan diri tahun 2013, Ida Budhiati (unsur KPU) dan Endang Wihdatiningtyas yang pada Desember 2014 menggantikan Nelson Simanjuntak (unsur Bawaslu).

Kedua, periode 2017 – 2022, ketua merangkap anggata Harjono dengan anggota lain; Muhammad, Ida Budhiati, Teguh Prasetyo, Alfitra Salaam, Hasyim Asy’ari (unsur KPU), dan Ratna Dewi Pettalolo (unsur Bawaslu) dengan masa bakti 1 tahun dan selanjutnya digantikan Fritz Edward Siregar sejak 25 Juni 2018.

Selama 7 tahun, kinerja DKPP diwarnai penyelenggaraan pemilu/pilkada; 1) Pilkada tahun 2012 yang diikuti oleh 51 daerah, 2) Pilkada tahun 2013 di 124 daerah, 3) Pemilu DPR RI, DPD, DPRD dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, 4) Pilkada Serentak Tahun 2015 yang diikuiti 269 daerah, 5) Pilkada Serentak tahun 2017 dengan jumlah 101 daerah, 6) Pilkada Serentak Tahun 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah, dan 7) Pemilu Serentak Pertama Tahun 2019 untuk memilih DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Banyaknya penyelenggaraan pemilu/pilkada dalam kurun 7 tahun berdirinya DKPP telah bersidang lebih dari seribu kali/perkara dari lebih dari tiga ribu pengaduan dugaan pelanggaran kode etik yang diterima dan diverifikasi formil dan materiil. Dari jumlah perkara yang disidangkan, lebih dari 500 penyelenggara pemilu mendapat sanksi pemberhentian tetap. Selebihnya, pemberhentian dari jabatan ketua, peringatan keras, peringatan biasa, dan rehabilitasi (update data dapat diungguh dari situs dkpp.go.id).

Konsekuensi etik, bagi penyelenggara pemilu yang telah menerima sanksi DKPP, akan menjadi pelajaran untuk tidak mengulanginya kembali karena sanksi DKPP berlaku berjenjang, mulai dari peringatan biasa, peringatan keras, peringatan terakhir, sampai pada pemberhentian tetap untuk pelanggaran kode etik berat.Khusus untuk pemberhentian tetap, DKPP bertanggungjawab mengangkat marwah lembaga penyelenggara dengan mempersilahkan pihak yang menerima sanksi untuk tidak lagi menjadi penyelenggara pemilu, namun tidak membatasi kesempatan untuk bertugas di bidang/sektor lain, dengan harapan saknsi DKPP menjadi pelajaran penting menjaga etika pribadi, etika bermasyarakat, dan etika kelembagaan.
Terkait data-data penanganan perkara kode etik DKPP yang terus bertambah, Ketua DKPP Periode 2017-2022, Hardjono pada awal menahkodai lembaga ini menyampaikan optimisnya, seiring perjalanan waktu disertai perubahan undang-undang maupun peraturan yang lebih baik, ke depan penyelenggara pemilu pun akan lebih baik karena semakin berpengalaman. Karena itu, mindset indikator keberhasilan DKPP adalah ke arah efektifitas putusan DKPP dan kepuasan pencari keadilan pemilu (justice seeker) bukan kuantitas perkara, karena pada titik itulah urgensi demokrasi substantif dalam pemilu akan tercapai.

Senada dengan sang ketua, para anggota DKPP menyambut positif dan optimis. Teguh Prasetyo yang berlatar belakang guru besar hukum pidana mengkampanyekan “pemilu bermartabat atau keadilan bermartabat”. Kata bermartabat menurutnya adalah roh dari cita-cita pemilu demokratis.

Alfitra Salam yang berlatarbekang birokrat dan peneliti LIPI bertekad mengefektifkan pengembangan dan pendidikan kode etik bagi penyelenggara pemilu melalui program sosialisasi/publikasi, kerjasama penelitian (research) dengan dunia kampus, dan berbagai diskusi/seminar yang melibatkan semua stakeholder pemilu di seluruh Indonesia (bottom up).

Menurut Muhammad (Ketua Bawasul 2012-2017) , pengalaman DKPP akan menjadi guru terbaik, ia pun memperioritaskan program-program preventif untuk mengukuhkan peran DKPP sebagai mitra lahirnya penyelenggara pemilu yang patuh dan taat aturan. Sementara itu, Idha Budiati (anggota KPU 2012-2017), juga menyatakan optimismenya, DKPP akan berkerja lebih baik dalam mengawal pemilu.

Dalam kepentingan menegakkan kode etik, Hasyim Asy’ari (wakil KPU) menyatakan, DKPP akan bebas kepentingan (conflict of interest) dengan pihak-pihak berperkara (subjectum litis). Modalnya, menurut anggota DKPP unsur Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo adalah komitmen bersama di antara para penyelenggara pemilu untuk mengawal pemilu yang jujur dan adil (Jurdil). Sang pengganti Fritz Edwar Siregar pun menyatakan optimismenya, bahwa putusan DKPP sangat berpengaruh terhadap integritas penyelenggara Pemilu.

Inilah catatan singkat tentang sejarah, kinerja DKPP dalam kurun 7 tahun, dan harapan para anggota DKPP periode 2017-2022. Tanpa mengenal sejarah, tentu kita akan sulit menjadikannya sebagai pengalaman, dan pengalaman adalah guru terbaik untuk menatap masa depan lebih baik. Maka, tepat sekali pelajaran dari Edmund Burke (1729 – 1797), “Those who do not know history are destined to repeat it”.

Dirgahayu DKPP ke -7 (12 Juni 2019).
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8837 seconds (0.1#10.140)