Kemenkominfo: 40 Juta Pengguna Internet Terpapar Hoaks
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya mencabut pembatasan fitur media sosial (medsos) pada Sabtu (25/5) lalu. Sejak kemarin, fitur pengiriman video dan foto di beberapa platform medsos dan perpesanan instan seperti Instagram, Facebook, Twitter, bahkan WhatsApp tidak mengalami gangguan lagi.
Pembatasan medsos memang bisa dimaklumi. Pembatasan dilakukan sebagai upaya mencegah penyebaran berita hoaks atau bohong pasca kerusuhan 21-22 Mei. Sebab, pengguna yang terpapar hoaks begitu banyak. Berdasar data Kemenkominfo, jumlahnya mencapai 40 juta orang. Mereka terpapar 30 hoaks.
“Dari catatan Kominfo, ada 40 juta dari 170 juta pengguna internet di Indonesia telah terpapar 30 hoaks selama periode 21-24 Mei 2019. Sebelum kerusuhan, tercatat lebih dari 20 hoaks beredar dalam sehari. Setelah pembatasan, hoaks berkurang menjadi 6 hingga 9 per hari,” ungkap Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Samuel Abrijani Mayoritas di Jakarta, kemarin.
Samuel mengatakan berita hoaks paling banyak terkait kerusuhan yang disebarkan melalui medsos seperti Facebook dan Instagram. Hoaks ini disebarkan lewat 1.932 URL melalui di Facebook, Instagram dan Twitter. Di Facebook sendiri ada 450 URL, Instagram 58, Twitter 784, dan 1 lewat LinkedIn. Dia menjelaskan pembatasan yang dilakukan pemerintah karena situasi yang tidak kondusif serta mengarah kepada kekerasan.
Sehingga dilakukan pembatasan medsos sebagai upaya untuk mencegah provokasi yang disebarkan melalui sosial media. “Tanggal 21 Mei malam kita menerima kabar bahwa terjadi insiden dan sampai pagi dan kami melihat insiden itu tidak kondusif dan justru mengarah kepada keresahan masyarakat dan ketertiban umum. Jadi kami harus melakukan pembatasan,” jelas Samuel.
Setelah pembatasan selesai, Kominfo masih terus melakukan pemantauan penyebaran hoaks di medsos. Masyarakat pun diminta untuk tidak menyebarkan hoaks karena melanggar UU ITE. “Kami benar-benar sangat mengawasi karena untuk menjaga kestabilan masyarakat,” katanya. Pengamat medsos, Enda Nasution mengingatkan masyarakat tetap waspada dengan berita hoaks.
Dia mengatakan jaringan medsos di sisi positif dapat meningkatkan persahabatan hingga wadah bisnis online. Namun, sisi negatifnya sering menyebabkan berbagai masalah, seperti menjamurnya penipuan, ucapan kebencian, hasutan, pelecehan verbal dan hal-hal lain yang dapat menyebabkan perpecahan nasional. “Kita harus lebih berhati-hati saat menerima informasi sehingga tidak mudah percaya berita hoaks,” ungkapnya.
Enda mengimbau masyarakat untuk dapat menghabiskan waktu berhari-hari tanpa hoaks dengan tidak mudah percaya dan memprioritaskan verifikasi serta tidak berpartisipasi dalam penyebaran hoaks. “Dengan begitu, orang bisa tahu dan lebih peka terhadap hoaks. Misalnya, jika terlalu bias, terlalu sensasional, atau terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, itu mungkin hoaks,” terangnya.
Pengamat keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan yang paling terdampak terkena berita hoaks adalah masyarakat berusia 20-30 tahun karena mereka yang paling banyak menggunakan medsos. “Hoaks adalah musuh kita bersama,” ungkapnya.
Masalahnya adalah ketiaka ada berita bohong, kata Pratama proses verifikasi oleh pihak terkait dianggap susah. Misalnya verifikasi soal informasi tentang obat yang diisukan mengandung babi namun saat diverifikasi susah dan belum tentu bisa dijawab. Dia pun mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan literasi digital, terutama kepada masyarakat di daerah.
“Hoaks selalu merajalela, kenapa? Selain karena mendadaknya fenomena internet yang sangat cepat pemerintah juga membuat pembangunan insfrastruktur di daerah dan di kota akan mendapat informasi yang sama. Jadi kami harapkan literasi digital terus ditingkatkan agar meminimalkan hoaks di masyarakat,” ujarnya.
Pembatasan medsos memang bisa dimaklumi. Pembatasan dilakukan sebagai upaya mencegah penyebaran berita hoaks atau bohong pasca kerusuhan 21-22 Mei. Sebab, pengguna yang terpapar hoaks begitu banyak. Berdasar data Kemenkominfo, jumlahnya mencapai 40 juta orang. Mereka terpapar 30 hoaks.
“Dari catatan Kominfo, ada 40 juta dari 170 juta pengguna internet di Indonesia telah terpapar 30 hoaks selama periode 21-24 Mei 2019. Sebelum kerusuhan, tercatat lebih dari 20 hoaks beredar dalam sehari. Setelah pembatasan, hoaks berkurang menjadi 6 hingga 9 per hari,” ungkap Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Samuel Abrijani Mayoritas di Jakarta, kemarin.
Samuel mengatakan berita hoaks paling banyak terkait kerusuhan yang disebarkan melalui medsos seperti Facebook dan Instagram. Hoaks ini disebarkan lewat 1.932 URL melalui di Facebook, Instagram dan Twitter. Di Facebook sendiri ada 450 URL, Instagram 58, Twitter 784, dan 1 lewat LinkedIn. Dia menjelaskan pembatasan yang dilakukan pemerintah karena situasi yang tidak kondusif serta mengarah kepada kekerasan.
Sehingga dilakukan pembatasan medsos sebagai upaya untuk mencegah provokasi yang disebarkan melalui sosial media. “Tanggal 21 Mei malam kita menerima kabar bahwa terjadi insiden dan sampai pagi dan kami melihat insiden itu tidak kondusif dan justru mengarah kepada keresahan masyarakat dan ketertiban umum. Jadi kami harus melakukan pembatasan,” jelas Samuel.
Setelah pembatasan selesai, Kominfo masih terus melakukan pemantauan penyebaran hoaks di medsos. Masyarakat pun diminta untuk tidak menyebarkan hoaks karena melanggar UU ITE. “Kami benar-benar sangat mengawasi karena untuk menjaga kestabilan masyarakat,” katanya. Pengamat medsos, Enda Nasution mengingatkan masyarakat tetap waspada dengan berita hoaks.
Dia mengatakan jaringan medsos di sisi positif dapat meningkatkan persahabatan hingga wadah bisnis online. Namun, sisi negatifnya sering menyebabkan berbagai masalah, seperti menjamurnya penipuan, ucapan kebencian, hasutan, pelecehan verbal dan hal-hal lain yang dapat menyebabkan perpecahan nasional. “Kita harus lebih berhati-hati saat menerima informasi sehingga tidak mudah percaya berita hoaks,” ungkapnya.
Enda mengimbau masyarakat untuk dapat menghabiskan waktu berhari-hari tanpa hoaks dengan tidak mudah percaya dan memprioritaskan verifikasi serta tidak berpartisipasi dalam penyebaran hoaks. “Dengan begitu, orang bisa tahu dan lebih peka terhadap hoaks. Misalnya, jika terlalu bias, terlalu sensasional, atau terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, itu mungkin hoaks,” terangnya.
Pengamat keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan yang paling terdampak terkena berita hoaks adalah masyarakat berusia 20-30 tahun karena mereka yang paling banyak menggunakan medsos. “Hoaks adalah musuh kita bersama,” ungkapnya.
Masalahnya adalah ketiaka ada berita bohong, kata Pratama proses verifikasi oleh pihak terkait dianggap susah. Misalnya verifikasi soal informasi tentang obat yang diisukan mengandung babi namun saat diverifikasi susah dan belum tentu bisa dijawab. Dia pun mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan literasi digital, terutama kepada masyarakat di daerah.
“Hoaks selalu merajalela, kenapa? Selain karena mendadaknya fenomena internet yang sangat cepat pemerintah juga membuat pembangunan insfrastruktur di daerah dan di kota akan mendapat informasi yang sama. Jadi kami harapkan literasi digital terus ditingkatkan agar meminimalkan hoaks di masyarakat,” ujarnya.
(don)