Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi

Rabu, 22 Mei 2019 - 04:35 WIB
Sengketa Pilpres Berujung...
Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi
A A A
JAKARTA - Proses Pemilihan Presiden (Pilpres) periode 2019-2014 dipastikan belum selesai setelah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memutuskan akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kini kubu pasangan calon (paslon) 02 menaruh harapan terakhir kepada MK setelah KPU mengumumkan hasil perolehan suara, dimana pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin merauh 55,50 persen, Prabowo-Sandi dapat 44,50 persen.

Kendati banyak kalangan menilai langkah tersebut akan sia-sia mengingat selisih perolehan suara yang terpaut cukup jauh yakni 16,6 juta, namun BPN tetap menaruh harapan kepada sembilan Hakim Konstitusi yang akan menyidangkan gugatan pilpres tersebut.

Lantas siapa saja para Hakim Konstitusi yang akan menentukan hasil Pilpres 2019? Terdapat sembilan hakim MK yang akan menyidangkan sengketa Pilpres 2019. Berdasarkan penelusuran SINDOnews di laman resmi MK, inilah profile singkat sembilan Hakim Konstitusi yang akan menyidangkan gugatan kubu Prabowo-Sandi:

1. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. (Ketua)

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Anwar mengawali karier sebagai seorang guru honorer pada 1975. Anwar dibesarkan di Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, dan terbiasa hidup dalam kemandirian. Lulus dari PGAN pada 1975, Anwar merantau ke Jakarta dan langsung menjadi guru honorer di SD Kalibaru. Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1. Ia pun memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984. Selama menjadi mahasiswa, Anwar aktif dalam kegiatan teater.

Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Keberuntungan pun berpihak kepadanya ketika lulus dan diangkat menjadi calon Hakim Pengadilan Negeri Bogor pada 1985. Hingga akhirnya ditarik ke Mahkamah Agung (MA). Di Mahkamah Agung, jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 – 2003, Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung periode 2003–2006, dan pada 2005 diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian. Hingga akhirnya MA mengajukannya sebagai Hakim Konstitusi untuk periode pertama 6 April 2011-6 April 2016.

Prinsip Anwar dalam menjalankan tugas sebagai hakim selama ini selalu mencontoh Rasulullah SAW. Penegakan hukum dan keadilan harus diberlakukan terhadap siapapun tanpa kecuali.

2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. (Wakil Ketua)

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini terbilang sebelumnya sering bersentuhan dengan MK. Ia kerap diminta menjadi pembicara dalam kegiatan MK, salah satunya menjadi narasumber dalam pendidikan dan pelatihan perselisihan hasil pemilihan umum untuk partai politik peserta pemilu. Jalan yang dilalui Aswanto untuk menjadi Hakim Konstitusi terbilang tidak mulus. Ia mesti menghadapi berbagai rintangan. Sosoknya yang tegas ketika memimpin fakultas, membuatnya tidak disukai sejumlah pihak, termasuk koleganya sendiri.

Latar belakang pendidikan Aswanto yang merupakan ahli hukum pidana pun sempat dipertanyakan. Pasalnya, hakim konstitusi erat kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Aswanto menghabiskan masa kecilnya di Desa Komba, sebuah desa kecil di Palopo, Sulawesi Selatan. Lulus dari sekolah menengah pertama, ia merantau ke Makassar untuk melanjutkan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi.

Sebelum menjadi Hakim MK, Aswanto pernah menjadi Tim Sosialisasi HAM bagi Anggota Polri Se-Indonesia (2001-2002); Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan (Pemilu 2004); Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Selatan (2007); Ketua Ombudsman Makassar (2008-2010); Ketua Dewan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Barat (2008-2009); Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2010-2014); Ketua Tim Seleksi Rekruitmen Panwas Pilgub Sulawesi Selatan (2012); Tenaga Ahli Rekruitmen Komisioner Ombudsman Makassar (2013); dan Tim Seleksi Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (2013)

3. Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda. Arief memperoleh Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada 2008. Ia sebelumnya menjabat dekan. Setelah selesai menjabat dekan, dia memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR.

Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk 'Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945'. Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR, mengalahkan dua pesaingnya yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara).

Sebelumnya, selain aktif mengajar ia juga menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi profesi, seperti Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan. Di samping itu, Arief juga aktif menulis.

4. Dr. Wahiduddin Adams, SH., M.A.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Wahid mengawali kariernya di dunia birokrasi. Wahid boleh dikatakan seorang perantau sukses dari desa kecil di Sakatiga, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Ia mengenyam ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Bak haus akan ilmu, Wahid tidak menghentikan pendidikannya sampai di situ. Ia melanjutkan sekolahnya sampai meraih gelar doktor di universitas yang sama. Wahid bahkan memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar SH (sarjana hukum) tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.

Wahid yang terkesan pendiam ternyata juga gemar berorganisasi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.

Sebelum Hakim MK, Wahib menjabat sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Di jabatannya itu Wahib mengharuskan kerap mendatangi gedung MK.

5. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Sempat dua kali menolak tawaran untuk kembali menjadi Hakim Konstitusi, Palguna akhirnya kembali ke Jalan Medan Merdeka Barat. Garis tangannya mengantarkan Palguna kembali mengenakan toga kebesaran, mengawal konstitusi. Palguna berhasil menuntaskan pengabdiannya di Mahkamah Konstitusi sebagai hakim periode pertama selama lima tahun. Tawaran Ketua MK saat itu, Jimly Asshiddiqie, untuk kembali memutus perkara konstitusi ditolak mentah-mentah olehnya. Palguna berdalih ingin melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi.

Cita-cita Palguna remaja adalah menjadi seorang tentara, tepatnya penerbang pesawat tempur Angkatan Udara. Cita-cita itu hampir diraihnya saat mendaftar di Sekolah Penerbang Pesawat Tempur. Sayangnya, Palguna muda gagal dalam seleksi administrasi yang mengharuskan jumlah anak lelaki dalam satu keluarga harus lebih dari satu padahal adik lelakinya belum lahir saat itu.

Ia kemudian banting setir mendaftar pada Jurusan Publisistik UGM. Alasannya sederhana, karena novelis favoritnya, Ashadi Siregar mengajar di sana. Namun, usahanya untuk menjadi wartawan akhirnya gagal juga. Orang tua Palguna yang mengarahkannya menjadi dokter tidak digubrisnya. Ia bahkan mengaku terpaksa membohongi orang tuanya, dengan mengantongi uang pendaftaran Fakultas Kedokteran dan malah mendaftar di Fakultas Hukum.

Mahasiswa Teladan tahun 1986 ini mengaku mendapat tawaran pekerjaan, termasuk menjadi diplomat. Namun, ayah dari dua orang putri dan seorang putra ini memutuskan menjadi dosen. Profesi sebagai akademisi dan keaktifannya menulis kemudian mengantarkan Palguna menjadi anggota MPR RI Periode 1999- 2004 sebagai utusan daerah.

Komitmen Palguna untuk ikut menjaga muruah MK pasca kasus Akil Mochtar tegas. Kendati kepercayaan masyarakat relatif sudah kembali, Ia menekankan hantaman dan cobaan pasti akan selalu ada. Dua hal yang mesti dipegang teguh oleh MK agar terus dipercaya. Pertama, putusannya yang memang mencerminkan kesungguhan. Kedua, dari sikap dan perilaku hakimnya.

6. Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar Suhartoyo terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden. Pada 1986, ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

Mahkamah Konstitusi merupakan tempat yang sama sekali baru bagi ayah dari tiga orang anak. Kewenangan yang berbeda dimiliki oleh MK dan MA membuatnya belajar banyak. Jika di MA, sifat putusannya hanya terkait untuk yang mengajukan permohonan, maka di MK, putusannya mengikat untuk seluruh warga negaranya. Ia mengaku cepat belajar dan mudah menyesuaikan diri di lingkungan MK.

7. Dr. Manahan M. P. Sitompul, S.H., M.Hum.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Ia merupakan mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Mencapai karier sebagai hakim konstitusi tak pernah terpikir oleh ayah dari tiga anak ini. Bahkan menjadi hakim di pengadilan negeri pun tak terlintas dalam benak Manahan muda. Karier hakimnya dimulai sejak dilantik di PN Kabanjahe tahun 1986, selanjutnya berpindah-pindah ke beberapa tempat di Sumatera Utara sambil menyelesaikan kuliah S2 hingga tahun 2002 dipercaya menjadi Ketua PN Simalungun.

Pada tahun 2003, ia dimutasi menjadi hakim di PN Pontianak dan pada tahun 2005 diangkat sebagai Wakil Ketua PN Sragen. Pada 2007, ia kembali dipercaya sebagai Ketua PN Cilacap. Setelah diangkat menjadi Hakim Tinggi PT Manado tahun 2010, diminta tenaganya memberi kuliah di Universitas Negeri Manado (UNIMA) dengan mata kuliah Hukum Administrasi Negara pada program S2. Setelah mutasi ke PT Medan tahun 2012, Universitas Dharma Agung (UDA) dan Universitas Panca Budi (UNPAB) memintanya memberi kuliah di Program S2 untuk mata kuliah Hukum Kepailitan dan Hukum Ekonomi Pembangunan.

Pada 2013, Manahan mengikuti tes calon hakim agung, namun gagal pada tahap akhir fit and proper testdi DPR. Di tahun yang sama, ia dipanggil oleh MA untuk fit and proper testmenjadi pimpinan Pengadilan Tinggi dan berhasil sehingga ditempatkan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Baru pada 2015, ia memberanikan diri untuk mengajukan diri sebagai hakim konstitusi dan ternyata lulus.

8. Prof. Dr. Saldi Isra., S.H., MPA.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Pada 11 April 2017, Presiden Joko Widodo resmi melantik Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017 – 2022. Pria kelahiran 20 Agustus 1968 tersebut berhasil menyisihkan dua nama calon hakim lainnya yang telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo oleh panitia seleksi (Pansel) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 April 2017 lalu. Selain Saldi, Pansel Hakim MK saat itu juga menyerahkan dua nama lainnya, yakni dosen Universitas Nusa Cendana (NTT) Bernard L Tanya dan mantan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi.

Saldi yang mengambil jurusan fisika pada masa SMA, tidak pernah terbayang untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Seperti kebanyakan anak muda seusianya kala itu, cita-citanya hanya masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) atau masuk AKABRI apalagi ia memiliki nilai di atas rata-rata. Bukanlah hal mudah bagi Saldi memutuskan untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang hakim konstitusi.

Pergolakan batin dalam dirinya yang merasa belum mumpuni dari sisi usia hingga beratnya hati untuk menanggalkan status sebagai dosen menjadi pemikirannya. Pada akhirnya, kata-kata yang diberikan oleh Mantan Ketua MK periode 2008 – 2013 Moh. Mahfud MD berhasil menggugah hatinya untuk mendaftarkan diri pada proses seleksi hakim konstitusi tahun 2017 yang dibuka Presiden Joko Widodo.

9. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum.

Sengketa Pilpres Berujung di MK, Ini Profil Sembilan Hakim Konstitusi


Enny Nurbaningsih terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. Wanita kelahiran Pangkal Pinang tersebut terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat. Akan tetapi, siapa menyangka jika sosok srikandi hukum yang dipilih Presiden Joko Widodo ini, justru tidak terpikir untuk menjadi seorang hakim konstitusi. Enny muda sesungguhnya memiliki cita-cita sebagai guru. Baginya, mengajar bukan hanya sebagai sebuah profesi, namun juga sebuah panggilan jiwa. “Mengajar adalah suatu kehidupan yang nikmat sekali buat saya,” ucapnya menggambarkan cita-cita masa mudanya.

Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Keseriusan Enny mendalami penataan regulasi dikarenakan ia merasa hal tersebut sangat diperlukan oleh Indonesia. Dari situ, ia pun kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli terkait.

Enny mendaftarkan diri sebagai calon hakim konstitusi pada detik terakhir dengan dorongan dari rekan-rekannya di kampus. Sebelumnya, Enny yang menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Bagi Enny, kariernya kini tak lepas dari dukungan suami dan anaknya. Enny pun berharap MK akan menjadi lebih baik lagi ke depannya. Menurutnya, MK memiliki peran penting dalam menentukan arah pembangunan hukum di Indonesia melalui putusannya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1494 seconds (0.1#10.140)