Komnas HAM Beberkan Faktor Kelalaian dalam Perekrutan KPPS
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan investigasi dalam mengungkap penyebab meninggalnya ratusan petugas Kelompok Penyelanggara Pemungutan Suara (KPPS) dan petugas pemilu lainnya dalam menjalankan tugas.
Investigasi dilakukan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten selama tiga hari, 15-18 Mei 2019. Hasilnya, Komnas HAM mendapatkan beberapa temuan. Salah satunya faktor kelalaian dalam perekrutan anggota KPPS.
Kelalaian itu berupa adanya kebijakan menurunkan standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkoba.
Sebelumnya, kelulusan persyaratan KPPS didasarkan atas hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskesmas, namun akhirnya bisa diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 72 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu junto Pasal 36 Ayat 1 huruf g Peraturan KPU Nomor 36 Tahun 2018 yang mengatur syarat untuk menjadi anggota PPK, PPS dan KPPS adalah mampu secara jasmani, rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.
"Dengan demikian syarat untuk menjadi petugas penyelenggara pemilu adalah orang yang betul-betul sehat dinyatakan oleh dokter. Akan tetapi secara faktual, rata-rata hanya Surat Keterangan Sehat biasa dari puskemas yang tidak mencantumkan riwayat/risiko kesehatan petugas dan bahkan surat pernyataan sehat pribadi juga diterima," tutur Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik saat menggelar jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Alhasil, kata dia, tidak ada "screening" terhadap kondisi kesehatan petugas pemilu. "Posisi KPPS, PPK, PPS lebih diposisikan pada aspek kerelawanan/volunteristik sehingga negara cenderung abai," tuturnya.
Damanik juga menjelaskan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU memberikan batasan jumlah petugas, baik KPPS hingga petugas keamanan.
Sementara, kata dia, pada penyelenggaraan pemilu serentak ada penambahan tugas. Semula yang hanya empat kotak, pada pemilu serantak menjadi lima kotak suara.
Komnas HAM juga menyoroti tentang lamanya waktu penghitungan suara di TPS. "Penghitungan suara yang dilakukan tanpa jeda sampai dini hari bahkan pagi hari berikutnya membuat petugas KPPS tidak memiliki waktu cukup untuk bersitirahat sehingga menimbulkan tingkat kelelahan tinggi. Hal ini yang diduga memicu munculnya berbagai macam gejala penyakit," ungkapnya.
Apalagi sebelum pemungutan suara dilaksanakan, kata dia, petugas KPPS sudah melaksanakan tugas menulis dan membagikan C6, menyiapkan pembuatan TPS dan lainnya.
Komnas HAM juga menilai belum ada komitmen yang kuat dari negara, baik pemerintah dan DPR yang seolah menempatkan KPPS, PPS, PPK, pengawa dan petugas keamanan sebagai petugas sukarelawan atau volunteer.
Dengan perspekstif itu, kata dia, perlidungan terhadap mereka menjadi lemah. Termasuk tidak mendapatkan jaminan asuransi kesehatan.
Kelalaian lainnya yakni proses rekruitmen terutama usia hanya mempersyaratkan minimal 17 (tujuh belas) tahun sebagaimana Pasal 36 huruf b PKPU Nomor 36 tahun 2018, sedangkan batas usia maksimal tidak diatur.
"Dengan demikian situasi ini menjadi salah satu faktor kerentanan terhadap penyelenggara sebab usia rata-rata yang meninggal dari data Komnas HAM di atas 40 tahun," ungkapnya.
Investigasi dilakukan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten selama tiga hari, 15-18 Mei 2019. Hasilnya, Komnas HAM mendapatkan beberapa temuan. Salah satunya faktor kelalaian dalam perekrutan anggota KPPS.
Kelalaian itu berupa adanya kebijakan menurunkan standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkoba.
Sebelumnya, kelulusan persyaratan KPPS didasarkan atas hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskesmas, namun akhirnya bisa diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 72 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu junto Pasal 36 Ayat 1 huruf g Peraturan KPU Nomor 36 Tahun 2018 yang mengatur syarat untuk menjadi anggota PPK, PPS dan KPPS adalah mampu secara jasmani, rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.
"Dengan demikian syarat untuk menjadi petugas penyelenggara pemilu adalah orang yang betul-betul sehat dinyatakan oleh dokter. Akan tetapi secara faktual, rata-rata hanya Surat Keterangan Sehat biasa dari puskemas yang tidak mencantumkan riwayat/risiko kesehatan petugas dan bahkan surat pernyataan sehat pribadi juga diterima," tutur Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik saat menggelar jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Alhasil, kata dia, tidak ada "screening" terhadap kondisi kesehatan petugas pemilu. "Posisi KPPS, PPK, PPS lebih diposisikan pada aspek kerelawanan/volunteristik sehingga negara cenderung abai," tuturnya.
Damanik juga menjelaskan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU memberikan batasan jumlah petugas, baik KPPS hingga petugas keamanan.
Sementara, kata dia, pada penyelenggaraan pemilu serentak ada penambahan tugas. Semula yang hanya empat kotak, pada pemilu serantak menjadi lima kotak suara.
Komnas HAM juga menyoroti tentang lamanya waktu penghitungan suara di TPS. "Penghitungan suara yang dilakukan tanpa jeda sampai dini hari bahkan pagi hari berikutnya membuat petugas KPPS tidak memiliki waktu cukup untuk bersitirahat sehingga menimbulkan tingkat kelelahan tinggi. Hal ini yang diduga memicu munculnya berbagai macam gejala penyakit," ungkapnya.
Apalagi sebelum pemungutan suara dilaksanakan, kata dia, petugas KPPS sudah melaksanakan tugas menulis dan membagikan C6, menyiapkan pembuatan TPS dan lainnya.
Komnas HAM juga menilai belum ada komitmen yang kuat dari negara, baik pemerintah dan DPR yang seolah menempatkan KPPS, PPS, PPK, pengawa dan petugas keamanan sebagai petugas sukarelawan atau volunteer.
Dengan perspekstif itu, kata dia, perlidungan terhadap mereka menjadi lemah. Termasuk tidak mendapatkan jaminan asuransi kesehatan.
Kelalaian lainnya yakni proses rekruitmen terutama usia hanya mempersyaratkan minimal 17 (tujuh belas) tahun sebagaimana Pasal 36 huruf b PKPU Nomor 36 tahun 2018, sedangkan batas usia maksimal tidak diatur.
"Dengan demikian situasi ini menjadi salah satu faktor kerentanan terhadap penyelenggara sebab usia rata-rata yang meninggal dari data Komnas HAM di atas 40 tahun," ungkapnya.
(dam)