Fadli Zon: Polisi Harus Ingat Semboyan Melindungi dan Mengayomi
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa bulan Mei mempunyai arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, 21 tahun lalu Indonesia memasuki babak baru kehidupan demokrasi era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan.
"Satu per satu pondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/5/2019).
Sayangnya, kata dia, sesudah lebih dari dua dekade perjalanan Indonesia berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadli Zon mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.
"Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran," ujar Wakil Ketua DPR itu.
Di antara berbagai indikator, kata Fadli Zon, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia. Menurut Freedom House, kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free).
"Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan. Peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018). Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’," jelas Legislator asal Bogor, Jawa Barat ini.
Dia melanjutkan, penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.
"Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen," ungkap Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.
Lebih lanjut, kata dia, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. "Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme. Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi," paparnya.
Dia berpandangan, akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi, lanjut dia, tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi.
Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu, menurut dia, selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.
"Terakhir bahkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Menurut saya, ini sudah kelewatan," paparnya.
Dia menambahkan seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. "Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi," pungkasnya.
"Satu per satu pondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/5/2019).
Sayangnya, kata dia, sesudah lebih dari dua dekade perjalanan Indonesia berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadli Zon mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.
"Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran," ujar Wakil Ketua DPR itu.
Di antara berbagai indikator, kata Fadli Zon, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia. Menurut Freedom House, kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free).
"Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan. Peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018). Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’," jelas Legislator asal Bogor, Jawa Barat ini.
Dia melanjutkan, penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.
"Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen," ungkap Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.
Lebih lanjut, kata dia, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. "Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme. Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi," paparnya.
Dia berpandangan, akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi, lanjut dia, tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi.
Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu, menurut dia, selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.
"Terakhir bahkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Menurut saya, ini sudah kelewatan," paparnya.
Dia menambahkan seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. "Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi," pungkasnya.
(kri)