Pemilih 'Hantu' Mendominasi Pemilu Ulang Malaysia
A
A
A
JAKARTA - Caleg DPR RI dari berbagai partai politik di dapil DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri) mempertanyakan mekanisme pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) via Pos yang diselenggarakan oleh PPLN Kuala Lumpur, Malaysia.
Masinton Pasaribu (PDI Perjuangan), Christina Aryani (Partai Golkar), Dato Muhammad Zainul Arifin (PPP) menyatakan, pemilu ulang di Kuala Lumpur banyaknya ketidakjelasan menyangkut PSU.
Berdasarkan DPT PSU ada 257.121 surat suara untuk PSU yang telah dikirim secara bertahap dengan 3 (tiga) kali pengiriman ke 6 (enam) wilayah kerja PPLN Kuala Lumpur.
Berdasarkan pengakuan PPLN, Pantarlih di Kuala Lumpur tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi apakah pemilih masih berdomisili di Malaysia atau tidak. Pencocokan dan penelitian (coklit) juga hanya dilakukan untuk mengeliminasi duplikasi pemilih.
"Kami menerima laporan masyarakat Indonesia dari berbagai tempat yang sebelum 17 April 2019 lalu menerima surat suara via pos, namun saat ini dalam rangka PSU justru sebagian besar tidak menerima surat suara via pos ini," Masinton, Kamis (16/5/2019).
"Misalnya di Negeri Perak, Selangor, Shah Alam, Kelantan, dan Trengganu. Ada juga pemilih yang menerima surat suara padahal sudah meninggalkan Malaysia lebih dari 3 tahun," sambungnya.
Selain itu menurut Masinton, banyak masyarakat Indonesia mengeluhkan surat suara via pos baru diterima tanggal 14-15 Mei, atau sehari menjelang penghitungan suara di PPLN Kuala Lumpur, yang ternyata diundur penyelenggaraannya dari tanggal 13 Mei menjadi tanggal 16 Mei 2019.
"PPLN juga terkesan tidak transparan dan kerap merubah kebijakannya. Dimulai dari deadline penerimaan pengembalian surat suara oleh pemilih yang semula jatuh di tanggal 13 Mei kemudian diubah menjadi tanggal 15 Mei," ungkapnya.
"Tanggal perhitungan yang semula jatuh di tanggal 15 Mei diubah menjadi tanggal 16 Mei. Hal-hal ini dinyatakan sudah dikonsultasikan ke KPU namun KPU sendiri tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis perihal pengubahan tahapan ini," tambahnya.
Sementara Christina Ariyani mengungkapkan, pihaknya juga menemukan adanya perbedaan amplop surat suara psu yang diterima pemilih, ada yang menggunakan cap bertuliskan "pemilu ulang" dan ada juga yang bercap "pemungutan suara ulang".
"Tidak ada kejelasan mana yang sebenarnya berlaku dan mengapa bisa ada perbedaan ini. Terdapat juga kesemrawutan yang menjadi tanda tanya perihal mekanisme pengembalian surat suara," tuturnya.
Kata Ariyani, PPLN pernah menyatakan pemilih dapat mengembalikan surat suara langsung ke PPLN, di lain waktu PPLN menyatakan hanya akan menerima surat suara yang dikembalikan melalui jasa pos Malaysia.
"Faktanya, pemilih yang mengantarkan kembali surat suaranya justru dimarahi oleh petugas security. Usulan pengiriman surat suara oleh pemilih ini juga tidak efektif mengingat pertimbangan jarak, waktu, biaya dan keamanan," ujarnya.
Berdasarkan keterangan dan penyampaian masyarakat di atas, jika tingkat partisipasi
PSU melebihi 10% dari total DPT PSU via Pos, patut diduga telah terjadi penggelembungan suara oleh oknum-oknum tertentu bahkan sangat mungkin kembali mengulangi terjadinya kecurangan berupa surat suara tercoblos atas pesanan yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya pemungutan suara ulang.
Undang-undang Pemilu sendiri hanya mengenal mekanisme pemilu ulang yang dilakukan khusus di TPS dan tidak untuk mekanisme pos. Juga tidak ditemukan adanya pengaturan mekanisme pemilu ulang melalui pos dalam peraturan KPU. Ketiadaan pengaturan rinci akan mekanisme psu via pos ini menjadikannya rawan untuk disalahgunakan.
Masinton Pasaribu (PDI Perjuangan), Christina Aryani (Partai Golkar), Dato Muhammad Zainul Arifin (PPP) menyatakan, pemilu ulang di Kuala Lumpur banyaknya ketidakjelasan menyangkut PSU.
Berdasarkan DPT PSU ada 257.121 surat suara untuk PSU yang telah dikirim secara bertahap dengan 3 (tiga) kali pengiriman ke 6 (enam) wilayah kerja PPLN Kuala Lumpur.
Berdasarkan pengakuan PPLN, Pantarlih di Kuala Lumpur tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan verifikasi apakah pemilih masih berdomisili di Malaysia atau tidak. Pencocokan dan penelitian (coklit) juga hanya dilakukan untuk mengeliminasi duplikasi pemilih.
"Kami menerima laporan masyarakat Indonesia dari berbagai tempat yang sebelum 17 April 2019 lalu menerima surat suara via pos, namun saat ini dalam rangka PSU justru sebagian besar tidak menerima surat suara via pos ini," Masinton, Kamis (16/5/2019).
"Misalnya di Negeri Perak, Selangor, Shah Alam, Kelantan, dan Trengganu. Ada juga pemilih yang menerima surat suara padahal sudah meninggalkan Malaysia lebih dari 3 tahun," sambungnya.
Selain itu menurut Masinton, banyak masyarakat Indonesia mengeluhkan surat suara via pos baru diterima tanggal 14-15 Mei, atau sehari menjelang penghitungan suara di PPLN Kuala Lumpur, yang ternyata diundur penyelenggaraannya dari tanggal 13 Mei menjadi tanggal 16 Mei 2019.
"PPLN juga terkesan tidak transparan dan kerap merubah kebijakannya. Dimulai dari deadline penerimaan pengembalian surat suara oleh pemilih yang semula jatuh di tanggal 13 Mei kemudian diubah menjadi tanggal 15 Mei," ungkapnya.
"Tanggal perhitungan yang semula jatuh di tanggal 15 Mei diubah menjadi tanggal 16 Mei. Hal-hal ini dinyatakan sudah dikonsultasikan ke KPU namun KPU sendiri tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis perihal pengubahan tahapan ini," tambahnya.
Sementara Christina Ariyani mengungkapkan, pihaknya juga menemukan adanya perbedaan amplop surat suara psu yang diterima pemilih, ada yang menggunakan cap bertuliskan "pemilu ulang" dan ada juga yang bercap "pemungutan suara ulang".
"Tidak ada kejelasan mana yang sebenarnya berlaku dan mengapa bisa ada perbedaan ini. Terdapat juga kesemrawutan yang menjadi tanda tanya perihal mekanisme pengembalian surat suara," tuturnya.
Kata Ariyani, PPLN pernah menyatakan pemilih dapat mengembalikan surat suara langsung ke PPLN, di lain waktu PPLN menyatakan hanya akan menerima surat suara yang dikembalikan melalui jasa pos Malaysia.
"Faktanya, pemilih yang mengantarkan kembali surat suaranya justru dimarahi oleh petugas security. Usulan pengiriman surat suara oleh pemilih ini juga tidak efektif mengingat pertimbangan jarak, waktu, biaya dan keamanan," ujarnya.
Berdasarkan keterangan dan penyampaian masyarakat di atas, jika tingkat partisipasi
PSU melebihi 10% dari total DPT PSU via Pos, patut diduga telah terjadi penggelembungan suara oleh oknum-oknum tertentu bahkan sangat mungkin kembali mengulangi terjadinya kecurangan berupa surat suara tercoblos atas pesanan yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya pemungutan suara ulang.
Undang-undang Pemilu sendiri hanya mengenal mekanisme pemilu ulang yang dilakukan khusus di TPS dan tidak untuk mekanisme pos. Juga tidak ditemukan adanya pengaturan mekanisme pemilu ulang melalui pos dalam peraturan KPU. Ketiadaan pengaturan rinci akan mekanisme psu via pos ini menjadikannya rawan untuk disalahgunakan.
(maf)