Penumpukan Bahan Pangan, BPK Diharapkan Audit Bulog
A
A
A
JAKARTA - Sekitar 1,6 juta ton beras masih tersimpan di gudang-gudang Bulog di seluruh Indonesia, padahal sebentar lagi memasuki musim panen. Penumpukan ini menimbulkan potensi kerugian negara. Apalagi, di sejumlah wilayah ditemukan beras membusuk di gudang Bulog.
Belum lagi produk lain, minyak goreng kadaluwarsa dan gula berkualitas tak baik yang ditemukan banyak kalangan. Karenanya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu mengaudit Bulog dan di saat sama KPK mengkajinya.
Direktur Pukat UGM Oce Madril menilai BPK perlu mengaudit Bulog. Untuk melihat penumpukan beras itu akibat ada ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi atau tidak. Penumpukan yang menimbulkan kerusakan berpotensi pemborosan dan menimbulkan kerugian negara.
"Menurut saya memang ini ada problem, kenapa barang itu sampai menumpuk dan malah membusuk, padahal situasi masyarakat di sisi lain banyak yang membutuhkan. Dalam hal itu menurut saya, potensi kerugian itu tetap ada, maka harus diaudit oleh BPK dan BPKP. Itu semua kan dari APBN, karena anggaran itu kan harus dipertanggungjawabkan," kata Oce kepada wartawan, Kamis (9/5).
Dia melanjutkan, untuk melihat kerugian negara, BPK harus melihat berapa banyak beras yang busuk, tak tersalurkan, kemudian berapa nilainya serta bagaimana perencanaannya.
"Boleh jadi memang perencanaan dan realisasi tidak dirancang dengan baik, sehingga, memang barang sudah dibeli melalui APBN itu enggak terpakai," tukasnya.
Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai, ada pekerjaan rumah besar di Bulog menyangkut tata kelola untuk menyangga pangan nasional. Menurutnya Bulog tidak punya data yang baik mengenai produksi, data kebutuhan dan ketersediaan stok di Bulog sendiri.
"Kita banyak menemukan ketidaksinkronan data, baik data produksi, kebutuhan dan barang yang ada di Bulog," kata Firdaus Ilyas.
Hal ini diperparah dengan dugaan praktik pemburu rente yang memanfaatkan kelangkaan bahan-bahan pokok di pasar. Pengaduan kerap tak adanya beras Bulog di pasar tradisional, sering muncul.
Pun, beras sachet yang disebut-sebut sebagai inovasi untuk distribusi beras menumpuk, ternyata tak ampuh dan berpotensi pemborosan dalam produksinya. ICW pun mempertanyakan kabar soal kadaluarsanya stok beras mencapai 800 ton di Batam.
"Ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakcukupan persediaan pangan," ujarnya.
Terhadap hal ini, mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas juga berkomentar. Untuk mengetahui ada tidaknya kerugian negara atau berujung korupsi dari penumpunkan beras itu, perlu kajian dari KPK.
"KPK juga berkoordinasi sinergis dengan Bulog berdasarkan wewenangnya. Tujuannya agar trasparan dan clean serta anti-fraud. Semoga Budi Waseso bisa sinergis terhadap langkah pencegahan KPK itu," paparnya.
Kini, untuk mengakali penumpukan, Bulog akan memberikan tunjangan beras atau natura untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti, PNS, TNI, dan Polri. Ini dikritik keras oleh Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi.
Dia melihat saat ini bukan lagi masanya bagi-bagi penggajian PNS dalam bentuk natura. Alasannya dia, salah satunya tidak praktis.
Sofian melanjutkan, untuk saat ini, distribusi beras sudah ada di mana-mana, termasuk di RT/RW.
Jadi, kalau PNS memerlukan beras, mereka bisa memilih yang disukai dengan uang yang diberikan oleh negara dan pemerintah. "Apalagi, beras Bulog itu udah kurang baik kualitasnya. Kalau pengalaman di masa lalu, beras yang di Bulog itu sudah terlalu lama sehingga tidak layak untuk dikonsumsi," katanya.
Sebaliknya, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan saat ini penyerapan beras Bulog rata-rata mencapai 10 ribu ton per hari. Bahkan, dari April hingga saat ini jumlah penyerapan telah mencapai 400 ribu ton.
Hanya saja, hal ini tak berbanding lurus dengan penyaluran. Bachtiar mengakui penyaluran Bulog agak tersendat karena tak adanya program beras sejahtera (rastra) sehingga stok di gudang Bulog hampir penuh.
Walaupun begitu, ia mengaku tak ambil pusing karena pemerintah tengah menyiapkan kebijakan komersial, yakni TNI, Polri dan PNS diwajibkan untuk membeli beras milik Bulog. Dengan begitu penyaluran dan penyerapan akan lancar.
Belum lagi produk lain, minyak goreng kadaluwarsa dan gula berkualitas tak baik yang ditemukan banyak kalangan. Karenanya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu mengaudit Bulog dan di saat sama KPK mengkajinya.
Direktur Pukat UGM Oce Madril menilai BPK perlu mengaudit Bulog. Untuk melihat penumpukan beras itu akibat ada ketidaksesuaian antara rencana dan realisasi atau tidak. Penumpukan yang menimbulkan kerusakan berpotensi pemborosan dan menimbulkan kerugian negara.
"Menurut saya memang ini ada problem, kenapa barang itu sampai menumpuk dan malah membusuk, padahal situasi masyarakat di sisi lain banyak yang membutuhkan. Dalam hal itu menurut saya, potensi kerugian itu tetap ada, maka harus diaudit oleh BPK dan BPKP. Itu semua kan dari APBN, karena anggaran itu kan harus dipertanggungjawabkan," kata Oce kepada wartawan, Kamis (9/5).
Dia melanjutkan, untuk melihat kerugian negara, BPK harus melihat berapa banyak beras yang busuk, tak tersalurkan, kemudian berapa nilainya serta bagaimana perencanaannya.
"Boleh jadi memang perencanaan dan realisasi tidak dirancang dengan baik, sehingga, memang barang sudah dibeli melalui APBN itu enggak terpakai," tukasnya.
Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai, ada pekerjaan rumah besar di Bulog menyangkut tata kelola untuk menyangga pangan nasional. Menurutnya Bulog tidak punya data yang baik mengenai produksi, data kebutuhan dan ketersediaan stok di Bulog sendiri.
"Kita banyak menemukan ketidaksinkronan data, baik data produksi, kebutuhan dan barang yang ada di Bulog," kata Firdaus Ilyas.
Hal ini diperparah dengan dugaan praktik pemburu rente yang memanfaatkan kelangkaan bahan-bahan pokok di pasar. Pengaduan kerap tak adanya beras Bulog di pasar tradisional, sering muncul.
Pun, beras sachet yang disebut-sebut sebagai inovasi untuk distribusi beras menumpuk, ternyata tak ampuh dan berpotensi pemborosan dalam produksinya. ICW pun mempertanyakan kabar soal kadaluarsanya stok beras mencapai 800 ton di Batam.
"Ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakcukupan persediaan pangan," ujarnya.
Terhadap hal ini, mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas juga berkomentar. Untuk mengetahui ada tidaknya kerugian negara atau berujung korupsi dari penumpunkan beras itu, perlu kajian dari KPK.
"KPK juga berkoordinasi sinergis dengan Bulog berdasarkan wewenangnya. Tujuannya agar trasparan dan clean serta anti-fraud. Semoga Budi Waseso bisa sinergis terhadap langkah pencegahan KPK itu," paparnya.
Kini, untuk mengakali penumpukan, Bulog akan memberikan tunjangan beras atau natura untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti, PNS, TNI, dan Polri. Ini dikritik keras oleh Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi.
Dia melihat saat ini bukan lagi masanya bagi-bagi penggajian PNS dalam bentuk natura. Alasannya dia, salah satunya tidak praktis.
Sofian melanjutkan, untuk saat ini, distribusi beras sudah ada di mana-mana, termasuk di RT/RW.
Jadi, kalau PNS memerlukan beras, mereka bisa memilih yang disukai dengan uang yang diberikan oleh negara dan pemerintah. "Apalagi, beras Bulog itu udah kurang baik kualitasnya. Kalau pengalaman di masa lalu, beras yang di Bulog itu sudah terlalu lama sehingga tidak layak untuk dikonsumsi," katanya.
Sebaliknya, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan saat ini penyerapan beras Bulog rata-rata mencapai 10 ribu ton per hari. Bahkan, dari April hingga saat ini jumlah penyerapan telah mencapai 400 ribu ton.
Hanya saja, hal ini tak berbanding lurus dengan penyaluran. Bachtiar mengakui penyaluran Bulog agak tersendat karena tak adanya program beras sejahtera (rastra) sehingga stok di gudang Bulog hampir penuh.
Walaupun begitu, ia mengaku tak ambil pusing karena pemerintah tengah menyiapkan kebijakan komersial, yakni TNI, Polri dan PNS diwajibkan untuk membeli beras milik Bulog. Dengan begitu penyaluran dan penyerapan akan lancar.
(maf)