Pasca Pengumuman KPU 22 Mei, Semua Pihak Harus Kembali Bersatu
A
A
A
Tingginya polarisasi di masyarakat selama pemilu dan pilpres berlangsung dinilai hal yang biasa terjadi di negara mana pun termasuk di Indonesia. Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan, polarisasi harus segera diakhiri dan masyarakat kembali bersatu setelah diumumkannya hasil pemilu dan pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang.
Gejolak politik di masyarakat selama pemilu dan pilpres serta evaluasi selama pesta demokrasi 17 April lalu diungkapkan Wapres Jusuf Kalla (JK) secara gamblang dalam wawancara bersama KORAN SINDO dan sindonews.com. Berikut petikan wawancara bersama JK di Jakarta kemarin.
Bagaimana pandangan Bapak tentang pascapemilu yang berlangsung 2019 termasuk prosesnya sejak 2017, mengingat proses pemilu di Indonesia adalah yang terumit di dunia?
Jadi, pemilu kita sejak awal diketahui akan rumit memang. Khususnya pemilihan legislatif. Kalau pemilu presiden mudah sekali, dalam satu jam sudah bisa diketahui hasilnya di TPS (tempat pemungutan suara). Tapi tentu secara nasional harus dihitung. Khususnya kerumitannya itu dua hal, yakni karena bersamaan dengan pilpres dan sistemnya terbuka.
Sistem terbuka itu maka terjadi persaingan partai dengan partai, dan di dalam internal partai sendiri. Sehingga itu rumit. Lalu perhitungannya juga sangat rumit. Dan penduduk kita 200 juta, 800.000 TPS lebih maka menimbulkan musibah karena kerumitan besar.
Musibah besar lebih dari 400 lebih petugas KPPS yang meninggal. Itu berarti saya kira itu musibah terbesar dalam sejarah pemilihan umum di luar konflik. Ada juga korban karena konflik, tapi yang terjadi di sini meninggal karena proses. Itu luar biasa rumitnya sehingga kita perlu evaluasi betul di masa yang akan datang.
Hal-hal apa saja yang perlu dievaluasi dalam sistem pemilu kita?
Evaluasi arahnya tentu pemilu jangan disatukan antara pilpres dan pileg. Secara logika memang seharusnya begitu (dipisah). Karena tahun 2014, dasar pencalon presiden itu dihitung atau diambil dari pemilu terakhir. Dan itu tiga bulan sebelumnya.
Kalau sekarang ini karena bersamaan maka dasar pencalonan suara partai lima tahun lalu. Ya, itu tentu sudah berbeda situasinya. Bahwa (pemilu kali ini) keterbukaan ada, saya kira orang ramai, tingkat partisipasi tinggi. Tapi korbannya juga banyak. Juga banyak protes kiri-kanan karena rumitnya.
Bagaimana Bapak memandang adanya polarisasi masyarakat pasca pemilu?
Polarisasi di mana-mana itu pasti terjadi. Karena perbedaan-perbedaan. Apalagi kalau di Indonesia belum pasti yang menang, sehingga pasti berupaya untuk memengaruhi masyarakat tentang kemenangan masing-masing, karena untuk pengakuan kan. Itu pasti terjadi.
Tapi setelah tanggal 22 Mei, saya yakin akan menurun. Itu terjadi di mana-mana. Di Amerika sampai sekarang polarisasi. Malah Trump (Presiden Amerika Serikat) masih ada pikiran untuk di-impeach. Justru di negara-negara yang demokrasinya sudah lebih dahulu dari kita terbelahnya biasa terjadi.
Bagaimana dengan rencana people power yang ingin dilakukan oleh beberapa pihak?
People power terbesar itu sebenarnya pemilu itu sendiri. Tanggal 17 April itu people power terbesar karena di situ terletaknya people memperlihatkan kekuatannya memilih yang terbaik. Itu fakta. Kalau people power yang dimaksud adalah demo besar-besaran dalam sejarah kita, itu jika ada masalah ekonomi dan politik secara bersamaan.
Sama dengan tahun 1965/1966, sama dengan tahun 1998. Itu terjadi karena krisis ekonomi dan politik secara bersamaan. Sekarang kan ekonomi baik-baik saja. Saya kira tidak akan terjadi seperti itu. People power terjadi di Venezuela karena masalah ekonomi contohnya. Kita tidak ada.
Bagaimana dengan pihak-pihak yang masih bersikeras memenangi pemilu?
Seperti saya katakan tadi, sebelum tanggal 22 Mei semua bersikeras. Masing-masing merasa menang. Setelah tanggal 22 Mei ada keputusan KPU yang mengikat, ya sudah. Bahwa nanti ada yang membawa ke MK, itu biasa saja.
Apakah tidak ada rencana untuk mengajak para tokoh yang saling berbeda pandangan tentang hasil pemilu ini untuk duduk bersama?
Kalau itu urusan presiden tentu. Presiden kan terus (ke periode selanjutnya). Saya kan tidak.
Gejolak politik di masyarakat selama pemilu dan pilpres serta evaluasi selama pesta demokrasi 17 April lalu diungkapkan Wapres Jusuf Kalla (JK) secara gamblang dalam wawancara bersama KORAN SINDO dan sindonews.com. Berikut petikan wawancara bersama JK di Jakarta kemarin.
Bagaimana pandangan Bapak tentang pascapemilu yang berlangsung 2019 termasuk prosesnya sejak 2017, mengingat proses pemilu di Indonesia adalah yang terumit di dunia?
Jadi, pemilu kita sejak awal diketahui akan rumit memang. Khususnya pemilihan legislatif. Kalau pemilu presiden mudah sekali, dalam satu jam sudah bisa diketahui hasilnya di TPS (tempat pemungutan suara). Tapi tentu secara nasional harus dihitung. Khususnya kerumitannya itu dua hal, yakni karena bersamaan dengan pilpres dan sistemnya terbuka.
Sistem terbuka itu maka terjadi persaingan partai dengan partai, dan di dalam internal partai sendiri. Sehingga itu rumit. Lalu perhitungannya juga sangat rumit. Dan penduduk kita 200 juta, 800.000 TPS lebih maka menimbulkan musibah karena kerumitan besar.
Musibah besar lebih dari 400 lebih petugas KPPS yang meninggal. Itu berarti saya kira itu musibah terbesar dalam sejarah pemilihan umum di luar konflik. Ada juga korban karena konflik, tapi yang terjadi di sini meninggal karena proses. Itu luar biasa rumitnya sehingga kita perlu evaluasi betul di masa yang akan datang.
Hal-hal apa saja yang perlu dievaluasi dalam sistem pemilu kita?
Evaluasi arahnya tentu pemilu jangan disatukan antara pilpres dan pileg. Secara logika memang seharusnya begitu (dipisah). Karena tahun 2014, dasar pencalon presiden itu dihitung atau diambil dari pemilu terakhir. Dan itu tiga bulan sebelumnya.
Kalau sekarang ini karena bersamaan maka dasar pencalonan suara partai lima tahun lalu. Ya, itu tentu sudah berbeda situasinya. Bahwa (pemilu kali ini) keterbukaan ada, saya kira orang ramai, tingkat partisipasi tinggi. Tapi korbannya juga banyak. Juga banyak protes kiri-kanan karena rumitnya.
Bagaimana Bapak memandang adanya polarisasi masyarakat pasca pemilu?
Polarisasi di mana-mana itu pasti terjadi. Karena perbedaan-perbedaan. Apalagi kalau di Indonesia belum pasti yang menang, sehingga pasti berupaya untuk memengaruhi masyarakat tentang kemenangan masing-masing, karena untuk pengakuan kan. Itu pasti terjadi.
Tapi setelah tanggal 22 Mei, saya yakin akan menurun. Itu terjadi di mana-mana. Di Amerika sampai sekarang polarisasi. Malah Trump (Presiden Amerika Serikat) masih ada pikiran untuk di-impeach. Justru di negara-negara yang demokrasinya sudah lebih dahulu dari kita terbelahnya biasa terjadi.
Bagaimana dengan rencana people power yang ingin dilakukan oleh beberapa pihak?
People power terbesar itu sebenarnya pemilu itu sendiri. Tanggal 17 April itu people power terbesar karena di situ terletaknya people memperlihatkan kekuatannya memilih yang terbaik. Itu fakta. Kalau people power yang dimaksud adalah demo besar-besaran dalam sejarah kita, itu jika ada masalah ekonomi dan politik secara bersamaan.
Sama dengan tahun 1965/1966, sama dengan tahun 1998. Itu terjadi karena krisis ekonomi dan politik secara bersamaan. Sekarang kan ekonomi baik-baik saja. Saya kira tidak akan terjadi seperti itu. People power terjadi di Venezuela karena masalah ekonomi contohnya. Kita tidak ada.
Bagaimana dengan pihak-pihak yang masih bersikeras memenangi pemilu?
Seperti saya katakan tadi, sebelum tanggal 22 Mei semua bersikeras. Masing-masing merasa menang. Setelah tanggal 22 Mei ada keputusan KPU yang mengikat, ya sudah. Bahwa nanti ada yang membawa ke MK, itu biasa saja.
Apakah tidak ada rencana untuk mengajak para tokoh yang saling berbeda pandangan tentang hasil pemilu ini untuk duduk bersama?
Kalau itu urusan presiden tentu. Presiden kan terus (ke periode selanjutnya). Saya kan tidak.
(don)