Manajemen Jadi Faktor Utama Kisruh Pemilu

Minggu, 28 April 2019 - 07:58 WIB
Manajemen Jadi Faktor...
Manajemen Jadi Faktor Utama Kisruh Pemilu
A A A
JAKARTA - Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 menimbulkan polemik dengan banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia karena kelelahan bekerja nonstop dalam perhitungan suara.

Ada lebih dari 200 orang meninggal dunia. Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin menyatakan, faktor besar yang menyebabkan masalah pemilu adalah manajemen kepemiluan. “Sebagian kontribusi dari kejadian sekarang ini adalah soal manajemen kepemiluan. Betapa beban yang tadinya dipikirkan oleh kita secara praktik lapangan lebih dari yang kita pikirkan,” ungkap Afifudin dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya bertema “Silent Killer Pemilu Serentak” di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, kejadian yang tidak terduga misalnya ada di jajaran KPPS yang sudah menyiapkan TPS dari malam sebelum 17 April dan bekerja hingga subuh 18 April sehingga kelelahan. Kemudian, kekurangan logistik pemilu seperti surat suara.

“Tapi muaranya di antaranya memang soal manajemen distribusi logistik, karena H-1 misalnya masih banyak logistik yang belum lengkap di masing-masing TPS dan lain-lain. Pascakejadian ini, saya kira bagaimana kita membuat pemilu dengan sistem efisien dengan tidak melelahkan,” ucapnya.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon dengan tegas mengatakan bahwa permasalahan pemilu hari ini juga bermuaran pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

“Pemilu serentak ini hasil judicial review yang dilakukan teman-teman LSM yang akhirnya melucuti keberadaan pemilu itu sendiri. Ini titik awal di mana kompleksitas masalah di pemilu ini ada. Karena bagaimana pun ini sebuah produk yang riskan sekali. Kita akhirnya berbicara akibatnya. Penyebabnya tak pernah kita buka,” ungkapnya.

Menurut dia, saat beberapa teman LSM mengajukan uji materi ke MK, tujuannya adalah menghapuskan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) dan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold). Dengan pemilu serentak, maka persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan ambang batas parlemen tak lagi diperlukan. Namun, menurut dia, MK menyambut hal ini dengan pandangan berbeda.

Sebab, untuk persyaratannya tidak dipenuhi, tetapi waktunya dipenuhi. “Jadi, MK juga perlu dicek juga ini, secara psikis, kejiwaannya. Perlu dicek ulang kejiwaan mereka, jujur saya bilang. Karena bagaimanapun ini sebuah produk yang riskan sekali sebenarnya. Kita akhirnya menjadi berbicara akibatnya tapi penyebabnya kita tidak pernah (bicarakan). Kita tidak pernah buka itu apa sebenarnya penyebabnya,” paparnya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Hubungan Luar Negeri Partai Perindo Wibowo Hadiwardoyo mengusulkan agar proses rekapitulasi suara di tingkat kelurahan kembali diaktifkan. Menurut dia, proses rekapitulasi suara di tingkat kelurahan bisa mengurangi beban kerja KPPS.

Dia mengatakan, perlu ada evaluasi terhadap dampak pelaksanaan Pileg dan Pilpres Serentak 2019. “Usulan secara teknis, penghitungan rekap di kelurahan dihidupkan kembali. Itu akan mengurangi beban petugas yang begitu lama (merekapitulasi surat suara),” ucapnya.

Wibowo juga mengusulkan, penambahan jumlah TPS karena akan mempercepat proses penghitungan suara. Namun, usulan tersebut diakuinya akan menambah beban parpol karena harus menambah jumlah saksi masing-masing TPS. “Ini untuk mengurangi jumlah peserta di TPS dari 300 menjadi misalkan 100,” paparnya.

Menanggapi hal tersebut Ketua KPU Arief Budiman menyatakan masih terlalu dini jika sejumlah tudingan kecurangan dilakukan pihaknya dan menyebut pemilu kali ini gagal. “Ada yang menyimpulkan bahwa Pemilu 2019 gagal, curang. Menurut saya, terlalu dini. Wong pemilunya saja masih berjalan kok dibilang gagal,” tandasnya.

Arief mengakui desain Pemilu 2019 memang cukup berat dengan tahapan-tahapan pemilu yang harus tepat waktu. Satu-satunya kegiatan yang tahapan diatur ketat itu tahapan pemilu. Ini yang membedakan institusi lembaga lain.

Banyak petugas KPPS yang meninggal dunia dan mengalami sakit. Hal ini, menurut dia, memang merupakan dampak dari aturan UU Pemilu yang menyebut bahwa proses perhitungan suara harus selesai di hari yang sama. Hingga putusan MK dalam aturannya memperpanjang waktu penghitungan suara selama 12 jam.

Pada aturan sebelumnya, penghitungan suara yang dimulai setelah pemungutan suara harus selesai pada pukul 24.00 di hari yang sama atau dianggap batal. “Untung ada keputusan MK, supaya tidak ada perdebatan hukum ditambah 12 jam, artinya sampai jam 12 siang di hari berikutnya itu boleh diselesaikan. Maka, KPU perintahkan ke petugas di lapangan silakan atur ritme-nya (perhitungan suara). Selama ini, KPU kan diprotes, dicacimaki, KPU tidak manusiawi,” paparnya.

Arief mengaku, sejak awal sudah mengantisipasi lantaran UU 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur pemilih yang berada di TPS tidak lebih dari 500 pemilih. Karena itu, pihaknya telah melakukan simulasi dan hasilnya petugas akan bekerja overtime. Maka dari itu, akhirnya dikurangi menjadi 300 pemilih.

KPU, sambungnya, telah memberikan usulan atau wacana pemberian asuransi kepada seluruh petugas KPPS. Namun, usulan tersebut ditolak oleh Kementrian Keuangan. “Ya, mungkin kemampuan anggaran terbatas, jadi tidak bisa tambah honor, ajukan asuransi tidak bisa, akhirnya jalan lah kita,” ungkapnya.

Usulan tersebut membuktikan KPU telah mengantisipasi soal beban tenaga anggota KPPS yang lelah melakukan perhitungan suara. “Pembahasan di Komisi II bisa disepakati, kemudian ketika dibahas lebih detail di Kemenkeu ada beberapa regulasi yang tidak memungkinan untuk diberikan itu. Bebannya jauh lebih berat dari pada Pemilu 2014. Kami usulkan honornya ditambah, tapi ditolak, jadi miris. Hati kecil saya menangis,” ucapnya.(Mula Akmal)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0926 seconds (0.1#10.140)