Milenial Harus Punya Kualitas Lawan Propaganda Terorisme di Medsos

Sabtu, 27 April 2019 - 06:16 WIB
Milenial Harus Punya Kualitas Lawan Propaganda Terorisme di Medsos
Milenial Harus Punya Kualitas Lawan Propaganda Terorisme di Medsos
A A A
JAKARTA - Perubahan modus kelompok prokekerasan dan terorisme dari model konvensional ke digital menjadikan posisi anak muda dalam situasi rentan. Secara demografis, generasi milenial mendominasi ruang maya yang tak terbatas. Sementara kelompok radikal terorisme menjadikan ruang ini sebagai arena baru penyebaran propaganda, indoktrinasi, dan rekruitmen.

Pola berpikir ini bisa dibalik dengan menjadikan anak muda yang rentan menjadi milenial cerdas sebagai ujung tombak pencegahan konten kekerasan dan radikalisme di dunia maya dengan bahasa milenial.

Mengingat karakter dunia maya yang tak terbatas (borderless), gerakan milenial peduli dunia maya harus menjadi gerakan global. Butuh generasi milenial atau duta-duta damai di dunia maya, baik pada level nasional, regional hingga global untuk berkolaborasi menebarkan pesan-pesan perdamaian.

“Duta damai dunia maya, pertama harus kuantatif dan luas sehingga bisa menjangkau lebih banyak karena arus radikalisme dan propaganda ekstremisme itu sangat cepat dan banyak sehingga perluasan duta damai dunia maya harus eksponensial, tidak bisa satu-satu,” ujar Irfan Amalee dari Peace Generation Indonesia di Jakarta, Kamis 25 April 2019.

Apalagi, sambung dia, keberadaan media sosial (medsos). Kesempatan untuk eksponensial itu sangat besar. Itu telah dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan propaganda dan penyebaran pahamnya melalui medsos.

Faktor kedua, kata Irfan, generasi muda terutama duta damai dunia maya harus memiliki kualitas dan kemampuan dalam membuat berbagai konten, baik itu gambar, tulisan, video, maupun games.

Kualitas ini dinilainya sangat penting karena faktanya konten-konten kelompok radikal dibuat dengan kualitas yang sangat baik. Kalau konten itu tidak diimbangi konten damai berkualitas maka penyebaran konten propaganda radikal terorisme sulit dibendung. Sulit dipungkiri, masyarakat pasti akan lebih suka dengan konten yang berkualitas dan bagus, dibandingkan konten yang dibuat seadanya.

Duta damai dunia maya juga harus bisa membuat konten yang banyak dan bagus sehingga mereka bisa menjadi agen perubahan (agent of change). "Juga harus benar-benar dapat esensinya. Duta damai dunia maya juga harus paham siapa kawan dan siapa lawan dalam membuat konten,” katanya.

“Jadi dengan memiliki kualitas bisa menjadi orang muda yang layak bicara tentang radikal terorisme dan dia harus dapat poinnya dalam konten yang dibuat. Juga harus bagus kualitasnya, pemahaman, metode, dan harus kreatif. Kalau sekarang visual is the king. Kalau gambar atau videonya biasa ajak dan enggak menarik, pasti tidak ada yang mau melihatnya,” tutur pria jebolan Brandeis University, Waltham, Massachusetts, USA ini.

Irfan menjelaskan, sejauh ini Peace Generation lebih banyak membuat konten berupa games. Pertimbangannya, games lebih cepat menarik perhatian anak muda. Apalagi games yang sangat menarik dan menantang.

“Games itu menurut survei di kelompok milenial, semuanya sudah gemifikasi. Mau aplikasi apa saja sudah digemifikasi. Games itu sudah jadi bahasa muda. Games itu sebenarnya pola pembelajaran atau penularan gagasan dengan pengalaman, jadi bukan dengan pengajaran bukan dengan ceramah. Main games 40 menit sama dengan mendengarkan ceramah 4 jam, banyak yang diselipkan di sana dan itu tidak diceramahkan, tapi mereka bisa mencari solusinya,” papar Irfan.

Irfan menegaskan keberadaan anak-anak muda yang berkecimpung sebagai duta damai dunia maya ini sangat tepat. Dunia maya harus terus dipenuhi konten damai agar konten-konten kekerasan dan terorisme tidak bisa muncul dan menjadi viral.

Pun sudah tumbangnya dedengkot kelompok radikal, ISIS di Suriah dan Irak, Irfan menilai upaya-upaya pencegahan seperti pembentukan duta damai dunia maya Asia Tenggara oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sangat efektif. Pasalnya, meski ISIS telah tumbang secara formal, tapi ideologinya tetap menyebar.

”Orang yang kembali dari Suriah belum tentu sudah kembali pikirannya. Dengan tumbangnya secara formal, mereka tetap menyebar dan mencari tempat untuk terus menyebarkan ideologinya yang justru lebih sulit terdeteksi. Itu lebih bahaya dan tidak bisa dikatakan sudah selesai, justru sepertinya penyebaran ideologi mereka seakan baru mulai,” tandas Irfan Amalee.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6719 seconds (0.1#10.140)