Pilpres dan Tinju
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ADA unsur persamaan dan perbedaan antara kontestasi pemilihan presiden dan kejuaraan tinju. Keduanya, masing-masing jagonya berusaha memenangkan pertandingan dengan merobohkan lawan.
Dalam panggung tinju, kadang sampai muka babak-belur dan berdarah. Ketika 12 ronde berakhir dan tak ada yang menang KO, berarti kemenangannya ditentukan dengan angka, maka petinju langsung mengangkat tangan mengklaim dirinya sebagai pemenang.
Mungkin itu ekspresi saking inginnya menjadi pemenang, atau untuk menghibur pendukungnya, atau mempengaruhi wasit. Namun, setelah dalam waktu yang singkat wasit mengumpulkan angka penilaian dan ketua tim mengumumkan pemenangnya, maka kedua petinju langsung mendekat berpelukan, meskipun badan masih berkeringat. Pertandingan berakhir, persahabatan tetap terjaga dan penonton pun bubar.
Tetapi dalam kontestasi pilpres tidaklah demikian. Dalam pilpres, proses dan tahapan konsolidasi, kampanye, dan psy-war berlangsung cukup lama. Masing-masing pendukung secara militan mencari dukungan massa berbulan-bulan. Semakin lama prosesnya, semakin mahal ongkosnya, dan semakin bernafsu untuk memenangkan pertandingan.
Jika kalah maka semakin sakit juga akibat yang dirasakan. Dalam pertandingan olahraga, kadang ada unsur ideologi yang terlibat, misalnya petinju kulit putih lawan kulit hitam, sehingga pendukung yang militan bagaikan sport jantung ketika menonton pertandingan.
Tetapi semua itu hanya berlangsung dalam hitungan jam, setelahnya dilupakan. Dalam politik yang melibatkan emosi, identitas dan ideologi keagamaan, persaingan dan perseteruan antarkubu yang bersaing, kadang bisa berlangsung lama dan laten.
Dari persaingan, berkembang menjadi perseteruan. Pengalaman di negara-negara Arab memberikan pelajaran mahal, mereka bertanding hanya siap menang, tetapi tidak siap kalah yang berujung pada bentrok senjata.
Akhirnya negara dan pemerintahan kacau, rakyat menderita, prestasi peradaban yang dirintis dan dibanggakan ratusan tahun musnah berantakan. Negara tetangga juga dibuat repot.
Kita baru saja melaksanakan hajatan nasional berupa pemilu. Pengamat asing bilang, It is the biggest one day election in the world. Hanya dalam sehari pemilih mencoblos lima kertas suara (ballot), pesertanya mendekati 200 juta tersebar ke sekian ribu pulau.
Belum lagi pemilih di luar negeri. Maka sangat logis di sana-sini terjadi kekurangan. Namun secara umum, pemilu ini berlangsung aman, damai, dan riang. Partisipasi warga sangat mengesankan.
Rakyat sudah letih mengikuti proses pemilu ini, mereka ingin segera mengakhirinya dengan sukses. Perpecahan sosial yang muncul akibat beda pilihan capres ingin segera diakhiri. Rakyat ingin kembali ke habitat semula yang cair, rukun, bebas bercanda apa saja. Bebas mengacungkan jari yang mana saja.
Karena demokrasi itu hakikatnya milik dan hajat rakyat yang difasilitasi oleh parpol, maka ketika rakyat melihat perilaku sekelompok orang yang tidak sabar mengikuti proses tahapan perhitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), lalu melontarkan provokasi dan hasutan, maka rakyat merasa kaget dan kecewa. Mereka merasa risih dan resah, di saat ingin memasuki tahap pasca pemilu yang damai, setelah berbulan-bulan rakyat terbelah dan dibelah oleh elite-elite politik.
Jika petinju yang senang adu fisik begitu cepat damai dan rekonsiliasi, mestinya para politisi itu lebih elegan dan santun mengawal proses pemilu ini sampai akhir. Siapa pun yang nantinya dinyatakan menang oleh KPU, kita terima dan dukung untuk bekerja memenuhi janji-janjinya selama kampanye demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menaikkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia.
Kini kita tunggu kebesaran dan ketulusan hati para politisi yang ikut bertanding dalam pemilu 17 April kemarin untuk menunjukkan sikapnya sebagai politisi-negarawan. Terlebih lagi ketika berpolitik membawa simbol dan identitas keagamaan, tunjukkan bahwa agama itu pilar kedamaian, kecerdasan, dan peradaban.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ADA unsur persamaan dan perbedaan antara kontestasi pemilihan presiden dan kejuaraan tinju. Keduanya, masing-masing jagonya berusaha memenangkan pertandingan dengan merobohkan lawan.
Dalam panggung tinju, kadang sampai muka babak-belur dan berdarah. Ketika 12 ronde berakhir dan tak ada yang menang KO, berarti kemenangannya ditentukan dengan angka, maka petinju langsung mengangkat tangan mengklaim dirinya sebagai pemenang.
Mungkin itu ekspresi saking inginnya menjadi pemenang, atau untuk menghibur pendukungnya, atau mempengaruhi wasit. Namun, setelah dalam waktu yang singkat wasit mengumpulkan angka penilaian dan ketua tim mengumumkan pemenangnya, maka kedua petinju langsung mendekat berpelukan, meskipun badan masih berkeringat. Pertandingan berakhir, persahabatan tetap terjaga dan penonton pun bubar.
Tetapi dalam kontestasi pilpres tidaklah demikian. Dalam pilpres, proses dan tahapan konsolidasi, kampanye, dan psy-war berlangsung cukup lama. Masing-masing pendukung secara militan mencari dukungan massa berbulan-bulan. Semakin lama prosesnya, semakin mahal ongkosnya, dan semakin bernafsu untuk memenangkan pertandingan.
Jika kalah maka semakin sakit juga akibat yang dirasakan. Dalam pertandingan olahraga, kadang ada unsur ideologi yang terlibat, misalnya petinju kulit putih lawan kulit hitam, sehingga pendukung yang militan bagaikan sport jantung ketika menonton pertandingan.
Tetapi semua itu hanya berlangsung dalam hitungan jam, setelahnya dilupakan. Dalam politik yang melibatkan emosi, identitas dan ideologi keagamaan, persaingan dan perseteruan antarkubu yang bersaing, kadang bisa berlangsung lama dan laten.
Dari persaingan, berkembang menjadi perseteruan. Pengalaman di negara-negara Arab memberikan pelajaran mahal, mereka bertanding hanya siap menang, tetapi tidak siap kalah yang berujung pada bentrok senjata.
Akhirnya negara dan pemerintahan kacau, rakyat menderita, prestasi peradaban yang dirintis dan dibanggakan ratusan tahun musnah berantakan. Negara tetangga juga dibuat repot.
Kita baru saja melaksanakan hajatan nasional berupa pemilu. Pengamat asing bilang, It is the biggest one day election in the world. Hanya dalam sehari pemilih mencoblos lima kertas suara (ballot), pesertanya mendekati 200 juta tersebar ke sekian ribu pulau.
Belum lagi pemilih di luar negeri. Maka sangat logis di sana-sini terjadi kekurangan. Namun secara umum, pemilu ini berlangsung aman, damai, dan riang. Partisipasi warga sangat mengesankan.
Rakyat sudah letih mengikuti proses pemilu ini, mereka ingin segera mengakhirinya dengan sukses. Perpecahan sosial yang muncul akibat beda pilihan capres ingin segera diakhiri. Rakyat ingin kembali ke habitat semula yang cair, rukun, bebas bercanda apa saja. Bebas mengacungkan jari yang mana saja.
Karena demokrasi itu hakikatnya milik dan hajat rakyat yang difasilitasi oleh parpol, maka ketika rakyat melihat perilaku sekelompok orang yang tidak sabar mengikuti proses tahapan perhitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), lalu melontarkan provokasi dan hasutan, maka rakyat merasa kaget dan kecewa. Mereka merasa risih dan resah, di saat ingin memasuki tahap pasca pemilu yang damai, setelah berbulan-bulan rakyat terbelah dan dibelah oleh elite-elite politik.
Jika petinju yang senang adu fisik begitu cepat damai dan rekonsiliasi, mestinya para politisi itu lebih elegan dan santun mengawal proses pemilu ini sampai akhir. Siapa pun yang nantinya dinyatakan menang oleh KPU, kita terima dan dukung untuk bekerja memenuhi janji-janjinya selama kampanye demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menaikkan harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia.
Kini kita tunggu kebesaran dan ketulusan hati para politisi yang ikut bertanding dalam pemilu 17 April kemarin untuk menunjukkan sikapnya sebagai politisi-negarawan. Terlebih lagi ketika berpolitik membawa simbol dan identitas keagamaan, tunjukkan bahwa agama itu pilar kedamaian, kecerdasan, dan peradaban.
(poe)