Lewat Forsitas, Negara Hadir Lindungi Korban Tindak Pidana Terorisme
A
A
A
JAKARTA - Korban (penyintas) tindak pidana terorisme selama ini dinilai kurang mendapat perhatian dalam menjalani kehidupannya. Padahal banyak dari mereka yang meninggal dunia, cacat permanen, dan butuh perawatan terus menerus.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator pelaksana penanggulangan terorisme di Indonesia wajib memberikan perlindungan dan dukungan kepada para penyintas agar bisa menjalani hidup lebih baik dengan membentuk Forum Komunikasi Penyintas (Forsitas).
“Forsitas dibentuk untuk membuktikan negara hadir bersama teman-teman penyintas agar mereka tidak sendirian, pascatragedi yang pernah dialami. Itu sesuai amanah UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut,” ujar Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis.
Hal tersebut disampaikan Hendri saat membuka Forsitas 2019 di Hotel Bintang Bali, Kuta, Bali, Kamis 21 Maret 2019.
Menurut Hendri, Forsitas dilaksanakan bukan untuk mengingat atau mengenang kembali trauma yang pernah terjadi. Namun, sebagai momentum yang baik untuk menghubungkan tali persaudaraan dan kasih sayang di antara sesama penyintas.
Selain itu juga bisa menjadi momentum untuk saling menguatkan setelah menjalani hari-hari yang berat pasca-aksi terorisme yang dialami.Dia berharap para penyintas dapat saling mendukung, memberi semangat, dan bangkit bersama karena yang mereka perlukan dalam menghadapi berbagai potensi ancaman tidak lain adalah kebersamaan.
Ketika bangsa ini kuat, lanjut dia, masyarakat berani, dan seluruh komponen bangsa bersatu menjadikan terorisme sebagai musuh bersama, maka kedamaian akan terjadi.
“Semangat kebersamaan dalam melawan dan mencegah terorisme inilah yang patut kita tumbuh kembangkan serta pelihara bersama sehingga potensi aksi terorisme akan dapat dicegah dan tidak lagi memiliki ruang dalam kehidupan bangsa Indonesia,” tutur Hendri.
Melalui Forsitas, lanjut mantan Komandan Grup III Kopassus ini, dia mengajak semua yang hadir untuk senantiasa meningkatkan ketahanan dari dari pengaruh paham radikal terorisme. Juga bisa membangun deteksi dini melalui kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Dia berharap Forsitas bisa dilakukan minimal setahun sekali dan lingkupnya bisa lebih besar lagi. Ini penting karena dalam forum ini BNPT akan menghubungkan para penyintas dengan kementerian dan lembaga yang bisa memberikan bantuan seperti Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Dikti, juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Di situlah kesempatan kawan-kawan penyintas untuk bertanya bantuan apa yang bisa mereka dapat dari setiap kementerian dan lembaga tersebut. Bahkan kami juga menghadirkan Pop Warung yang merupakan program kerjasama BNPT untuk membantu Penyintas, mantan Napiter, mantan teroris untuk berwirausaha,” papar Hendri.
Sementaran itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Noor Sidharta, menggarisbawahi ucapan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT.
Menurut dia, korban masa lalu yang sebelumnya tidak terakomodasi, setelah ada UU Tindak Pemberantasan Terorisme yang baru, mereka mendapatkan kompensasi.
“Kompensasi itu adalah bentuk perhatian negara dalam bentuk uang tunai kepada para korban terorisme masa lalu, dan akan dibayarkan LPSK dengan catatan mereka harus mendapat surat keterangan dari BNPT. Jadi koordinasi antara kami dan BNPT harus jadi satu, kami gak bisa bekerja sendiri. Kami bisa membayar tergantung surat dari BNPT,” tuturnya.
Saat ini LPSK menyusun Peraturan Pemerintah (PP) untuk merealisasikan kompensasi tersebut. LPSK juga terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangann terkait besaran kompensasi tersebut.
Sejauh ini masih belum diputuskan berapa kompensasi yang diberikan untuk korban meninggal, sakit, dan cacat seumur hidup. Rencananya pembayaran akan dilaksanakan dalam kurun waktu tiga tahun dari Juni 2018 sampai Juni 2021.
“Dalam waktu tiga tahun semua korban harus dapat kompensasi. Anggarannya belum dihitung. Data yang sampai ke kami baru ada 121 korban dari total kira-kira 500 samai 600 orang,” pungkas Noor Sidharta.
Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Kolonel Czi Roedy Widodo yang juga Ketua Panpel Forsitas 2019 mengungkapkan, acara ini diikuti perwakilan elemen penyintas dari Jabodetabek, Surabaya, dan Bali.
Penyintas di Jabodetabek yang terdiri atas korban bom Kedubes Australia Kuningan, Thamrin, JW Marriot, kampung melayu, dan kerusuhan Mako Brimob 37 orang. Sebanyak 17 orang dari korban bom Surabaya, dan 37 orang korban bom Bali 1 dan 2.
Dia berharap Forsitas 2019 akan menciptakan kemitraan strategi antara BNPT dan penyintas dalam penanggulangan terorisme, khususnya dalam penyebaran pesan perdamaian di lingkungan masyarakat.
Kemudian, lanjut dia, terwujudnya rasa saling menguatkan dan saling memotivasi antara sesama penyintas untuk bangkit dan berkontribusi di masyarakat, serta terimplementasi peran negara dalam rangka memberi pendamaingan dan pemulihan kepada waga negara pasca-aksi terorisme.
“Juga tercipta rasa memaafkan dari kalangan penyintas atas musibah terorisme, demi tercipta kehidupan yang lebih baik di masa depan,” kata Roedy.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator pelaksana penanggulangan terorisme di Indonesia wajib memberikan perlindungan dan dukungan kepada para penyintas agar bisa menjalani hidup lebih baik dengan membentuk Forum Komunikasi Penyintas (Forsitas).
“Forsitas dibentuk untuk membuktikan negara hadir bersama teman-teman penyintas agar mereka tidak sendirian, pascatragedi yang pernah dialami. Itu sesuai amanah UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut,” ujar Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis.
Hal tersebut disampaikan Hendri saat membuka Forsitas 2019 di Hotel Bintang Bali, Kuta, Bali, Kamis 21 Maret 2019.
Menurut Hendri, Forsitas dilaksanakan bukan untuk mengingat atau mengenang kembali trauma yang pernah terjadi. Namun, sebagai momentum yang baik untuk menghubungkan tali persaudaraan dan kasih sayang di antara sesama penyintas.
Selain itu juga bisa menjadi momentum untuk saling menguatkan setelah menjalani hari-hari yang berat pasca-aksi terorisme yang dialami.Dia berharap para penyintas dapat saling mendukung, memberi semangat, dan bangkit bersama karena yang mereka perlukan dalam menghadapi berbagai potensi ancaman tidak lain adalah kebersamaan.
Ketika bangsa ini kuat, lanjut dia, masyarakat berani, dan seluruh komponen bangsa bersatu menjadikan terorisme sebagai musuh bersama, maka kedamaian akan terjadi.
“Semangat kebersamaan dalam melawan dan mencegah terorisme inilah yang patut kita tumbuh kembangkan serta pelihara bersama sehingga potensi aksi terorisme akan dapat dicegah dan tidak lagi memiliki ruang dalam kehidupan bangsa Indonesia,” tutur Hendri.
Melalui Forsitas, lanjut mantan Komandan Grup III Kopassus ini, dia mengajak semua yang hadir untuk senantiasa meningkatkan ketahanan dari dari pengaruh paham radikal terorisme. Juga bisa membangun deteksi dini melalui kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Dia berharap Forsitas bisa dilakukan minimal setahun sekali dan lingkupnya bisa lebih besar lagi. Ini penting karena dalam forum ini BNPT akan menghubungkan para penyintas dengan kementerian dan lembaga yang bisa memberikan bantuan seperti Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Dikti, juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Di situlah kesempatan kawan-kawan penyintas untuk bertanya bantuan apa yang bisa mereka dapat dari setiap kementerian dan lembaga tersebut. Bahkan kami juga menghadirkan Pop Warung yang merupakan program kerjasama BNPT untuk membantu Penyintas, mantan Napiter, mantan teroris untuk berwirausaha,” papar Hendri.
Sementaran itu, Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Noor Sidharta, menggarisbawahi ucapan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT.
Menurut dia, korban masa lalu yang sebelumnya tidak terakomodasi, setelah ada UU Tindak Pemberantasan Terorisme yang baru, mereka mendapatkan kompensasi.
“Kompensasi itu adalah bentuk perhatian negara dalam bentuk uang tunai kepada para korban terorisme masa lalu, dan akan dibayarkan LPSK dengan catatan mereka harus mendapat surat keterangan dari BNPT. Jadi koordinasi antara kami dan BNPT harus jadi satu, kami gak bisa bekerja sendiri. Kami bisa membayar tergantung surat dari BNPT,” tuturnya.
Saat ini LPSK menyusun Peraturan Pemerintah (PP) untuk merealisasikan kompensasi tersebut. LPSK juga terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangann terkait besaran kompensasi tersebut.
Sejauh ini masih belum diputuskan berapa kompensasi yang diberikan untuk korban meninggal, sakit, dan cacat seumur hidup. Rencananya pembayaran akan dilaksanakan dalam kurun waktu tiga tahun dari Juni 2018 sampai Juni 2021.
“Dalam waktu tiga tahun semua korban harus dapat kompensasi. Anggarannya belum dihitung. Data yang sampai ke kami baru ada 121 korban dari total kira-kira 500 samai 600 orang,” pungkas Noor Sidharta.
Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Kolonel Czi Roedy Widodo yang juga Ketua Panpel Forsitas 2019 mengungkapkan, acara ini diikuti perwakilan elemen penyintas dari Jabodetabek, Surabaya, dan Bali.
Penyintas di Jabodetabek yang terdiri atas korban bom Kedubes Australia Kuningan, Thamrin, JW Marriot, kampung melayu, dan kerusuhan Mako Brimob 37 orang. Sebanyak 17 orang dari korban bom Surabaya, dan 37 orang korban bom Bali 1 dan 2.
Dia berharap Forsitas 2019 akan menciptakan kemitraan strategi antara BNPT dan penyintas dalam penanggulangan terorisme, khususnya dalam penyebaran pesan perdamaian di lingkungan masyarakat.
Kemudian, lanjut dia, terwujudnya rasa saling menguatkan dan saling memotivasi antara sesama penyintas untuk bangkit dan berkontribusi di masyarakat, serta terimplementasi peran negara dalam rangka memberi pendamaingan dan pemulihan kepada waga negara pasca-aksi terorisme.
“Juga tercipta rasa memaafkan dari kalangan penyintas atas musibah terorisme, demi tercipta kehidupan yang lebih baik di masa depan,” kata Roedy.
(dam)