DPR Harus Pertimbangkan Aspek SPAM Perdesaan
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang saat ini sedang di godok Komisi V DPR dinilai belum cukup menjawab kebutuhan pelayanan air minum untuk masyarakat.
Akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi masih menjadi persoalan bersama. “Hingga saat ini tidak ada satu pro vinsi pun yang mendapatkan air layak minum 100%. Bali dan Jakarta memang sudah tinggi keterpenuhannya, tapi belum 100%,” ujar anggota Komisi V DPR Intan Fauzia saat diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Intan mengatakan, banyak faktor menyebabkan tertundanya konsinyering pembahasan RUU SDA oleh Panitia Kerja (Panja) DPR. “DPR disibukkan dengan tahun anggaran 2019, mengawal program sehingga panja RUU SDA belum mulai konsinyering lagi,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya menyatakan RUU SDA menjadi salah satu prioritas pembahasan yang ditargetkan selesai pada 2019 ini. Menurut Intan, status terakhir RUU SDA adalah pembahasan redaksional dan konsinyering bersama enam kementerian yang terkait. Dalam pembahasan, pihaknya mengaku sangat hati-hati agar nanti pada saat diundangkan tidak ada gugatan lagi.
Pakar sumber daya air dari Universitas Ibnu Khaldun, Mova AL Afghani menegaskan bahwa yang diperlukan dalam RUU SDA adalah klausul yang mengatur hak publik atas air.
“Di versi terakhir, kita belum melihat klausul tentang hak publik atas sanitasi dan pelayanan sanitasi dan lingkungan. RUU SDA lebih banyak mengatur tentang sumber daya. Sementara yang dibutuhkan adalah pelayanan air minum dan sanitasi untuk masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut Mova mengatakan, pemenuhan air dan sanitasi yang layak bagi publik membutuhkan infrastruktur dengan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, RUU SDA seharusnya lebih banyak mengakomodasi sistem penyediaan air minum (SPAM). Menurutnya, SPAM Perdesaan terancam tidak dapat melanjutkan pengelolaannya menyusul tidak disebutkannya pengelolaan air berbasis masyarakat dalam RUU SDA.
Dalam pasal yang ada di RUU SDA disebutkan yang boleh mengelola sumber daya air yakni badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), swasta, dan perorangan. Mova mengatakan, tidak diaturnya pengelolaan air berbasis masyarakat akan menimbulkan polemik yang berkelanjutan. (Abdul Rochim)
Akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi masih menjadi persoalan bersama. “Hingga saat ini tidak ada satu pro vinsi pun yang mendapatkan air layak minum 100%. Bali dan Jakarta memang sudah tinggi keterpenuhannya, tapi belum 100%,” ujar anggota Komisi V DPR Intan Fauzia saat diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Intan mengatakan, banyak faktor menyebabkan tertundanya konsinyering pembahasan RUU SDA oleh Panitia Kerja (Panja) DPR. “DPR disibukkan dengan tahun anggaran 2019, mengawal program sehingga panja RUU SDA belum mulai konsinyering lagi,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya menyatakan RUU SDA menjadi salah satu prioritas pembahasan yang ditargetkan selesai pada 2019 ini. Menurut Intan, status terakhir RUU SDA adalah pembahasan redaksional dan konsinyering bersama enam kementerian yang terkait. Dalam pembahasan, pihaknya mengaku sangat hati-hati agar nanti pada saat diundangkan tidak ada gugatan lagi.
Pakar sumber daya air dari Universitas Ibnu Khaldun, Mova AL Afghani menegaskan bahwa yang diperlukan dalam RUU SDA adalah klausul yang mengatur hak publik atas air.
“Di versi terakhir, kita belum melihat klausul tentang hak publik atas sanitasi dan pelayanan sanitasi dan lingkungan. RUU SDA lebih banyak mengatur tentang sumber daya. Sementara yang dibutuhkan adalah pelayanan air minum dan sanitasi untuk masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut Mova mengatakan, pemenuhan air dan sanitasi yang layak bagi publik membutuhkan infrastruktur dengan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, RUU SDA seharusnya lebih banyak mengakomodasi sistem penyediaan air minum (SPAM). Menurutnya, SPAM Perdesaan terancam tidak dapat melanjutkan pengelolaannya menyusul tidak disebutkannya pengelolaan air berbasis masyarakat dalam RUU SDA.
Dalam pasal yang ada di RUU SDA disebutkan yang boleh mengelola sumber daya air yakni badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), swasta, dan perorangan. Mova mengatakan, tidak diaturnya pengelolaan air berbasis masyarakat akan menimbulkan polemik yang berkelanjutan. (Abdul Rochim)
(nfl)