Tiga Skills Diperlukan untuk Hadapi Revolusi Industri Era 4.0
![Tiga Skills Diperlukan...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2019/03/20/15/1388305/tiga-skills-diperlukan-untuk-hadapi-revolusi-industri-era-4-0-IrD-thumb.jpg)
Tiga Skills Diperlukan untuk Hadapi Revolusi Industri Era 4.0
A
A
A
Revolusi Industri 4.0 menjadikan tren otomasi dan pertukaran data terkini sebagai fenomena global. Menyongsong era baru ini pemerintah pun telah melakukan sejumlah kebijakan. Ada tiga skills atau kemampuan dasar harus dihidupkan secara seimbang di setiap insan agar ke depan muncul generasi yang mampu menghadapi Revolusi Industri 4.0 tersebut.
Ketiga kemampuan dasar yang mesti dikembangkan itu, pertama ialah life skills yang membekali untuk bisa memahami dirinya dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Kedua, learning and innovation skills yang membekali untuk selalu kreatif, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah kompleks, mampu berkolaborasi, serta berkomunikasi secara efektif.
Ketiga, yaitu literacy skills yang membekali dengan berbagai pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Inovasi dan Daya Saing Ananto Kusuma Seta menjelaskan, pemerintah pun langsung tancap gas agar anak-anak mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi (PT) bisa memiliki ketiga skills tersebut.
Kebijakan itu sudah terealisasi di lapangan. Menurut Ananto, kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ialah penguatan pendidikan karakter (PPK). “Kebijakan PPK ada untuk menumbuh kembangkan life skills siswa sejak dini. Inilah esensi dari pendidikan itu, yakni memanusiakan manusia,” katanya.
PPK diperlukan untuk membangun dan membekali para calon generasi emas Indonesia 2045 dalam menghadapi dinamika perubahan di masa depan dengan keterampilan abad 21. Caranya dengan mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan makna dan nilai karakter sebagai poros utama penyelenggaraan pendidikan serta memperhatikan kondisi keberagaman satuan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data Kemendikbud, target sekolah yang melaksanakan PPK pada 2019 mencapai 218.989 sekolah. Jumlah ini meningkat pesat dari awal dimulainya PPK pada 2016. Saat itu rintisan PPK hanya dilaksanakan di 542 sekolah. Kemudian jumlahnya meningkat pesat pada 2017 yang mencapai 64.213 sekolah. Sementara pada 2018 jumlah pelaksana PPK mencapai 188.646 sekolah.
Peraih gelar doktor di Kentucky University Amerika Serikat ini mengatakan, revolusi industri itu tidak diam di satu masa melainkan akan segera berpindah ke 5.0, 6.0, dan seterusnya. Di sini makna dan peran PPK ini penting, sebab yang perlu dijaga dan tidak akan pernah berubah adalah nilai-nilai kemanusiaan ini.
“Generasi yang mengenal jati dirinya akan mampu mengendalikan kemajuan dan teknologi sebagai tools untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, generasi yang kehilangan jati dirinya, maka teknologi yang akan mengendalikan hidupnya,” katanya.
Kebijakan kedua ialah melalui penguatan higher order thinking skills (HOTS). Kemampuan berpikir tingkat tinggi buah pikiran dari taksonomi berpikir Bloom ini menumbuhkan kemampuan yang terangkum dalam 4C. Ananto menuturkan, 4C adalah creativity, critical thinking and complex problem solving, collaboration, communication.
Asesment HOTS ini telah diuji kepada siswa melalui Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia. Asesment HOTS pada UN ini sempat membuat heboh pada 2018 lalu, sebab masyarakat menilai soal HOTS ini terlalu sulit dan dilakukan secara tiba-tiba.
Padahal soal yang diuji HOTS ini hanya terdiri 10% dari total soal. Sementara AKSI diterapkan di beberapa sekolah sampling sebagai sistem penilaian nasional meski Indonesia secara rutin mengikuti survei yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA).
Sementara kebijakan ketiga, yakni penguatan literasi melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dia menjelaskan, penguatan GLN ini terkait di enam sektor, yakni literasi baca tulis, literasi sains, literasi data, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewarganegaraan.
Ananto menjelaskan, pemerintah juga merevitalisasi pendidikan vokasi untuk menyiapkan generasi terampil yang inovatif dan berjiwa enterpreneur. Mengenai revitalisasi pendidikan vokasi ini Kemendikbud melakukan sejumlah program untuk mendorong sekolah menengah kejuruan (SMK) dapat menyediakan tenaga kerja terampil yang siap kerja di berbagai sektor prioritas nasional, seperti pertanian, industri, pariwisata, bahkan ekonomi kreatif.
Menurut Ananto, pekerjaan yang bersifat rutin, manual, dan kognitif akan digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, lulusan pendidikan harus disiapkan dengan kecakapan agar bisa mencipta peluang kerja baru. Dia mengatakan, pedagogi pembelajaran pun mulai dari SD mulai digeser ke konsep knowledge based learning ke project based learning.
“Siswa diajarkan untuk bisa memecahkan masalah yang ada di sekitarnya secara berkelompok dengan pendekatan interdisiplin. Pembelajaran ini akan merangsang tumbuhnya inovasi, kreativitas, empati, leadership, dan kolaborasi sejak dini,” katanya.
Adanya otomasi ini pun menimbulkan gejolak kekhawatiran akan hilangnya pelaku pekerjaan. Sebab yang semula pekerjaan itu dilakukan manusia namun bisa tergantikan oleh mesin atau robot. Contohnya saja petugas tol atau teller bank. Dia menjelaskan, jenis pekerjaan yang belum bisa digantikan oleh mesin atau robot adalah jenis pekerjaan bersifat analitik dan interpersonal, seperti seniman dan budayawan (penulis lagu, pemusik, penari, desainer, pemasak, dan lainnya).
Karena itu, Indonesia harus mampu mengapitalisasi kekuatan seni dan budaya Indonesia untuk menjadi kekuatan daya saing bangsa di Era Industri 4.0. “Inilah skills yang dibekalkan untuk generasi muda Indonesia ke depan,” katanya. Saat ini sekolah di Indonesia mengadopsi Kurikulum 2013 yang materi di dalamnya mengasah empat aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Kurikulum itu harus selalu disesuaikan dengan relevansi kebutuhan zaman.
Dia menuturkan, pengembangan kurikulum harus bergeser dari selama ini bersifat supply-driven (didorong semata oleh lembaga/satuan pendidikan) menjadi demand-driven (didorong bersama antara lembaga/satuan pendidikan dengan dunia kerja). “Karena itu, kerja sama antara lembaga pendidikan dengan DUDI adalah mutlak adanya. Kurikulum juga harus fleksibel untuk mengakomodasikan ragam minat, bakat, dan waktu yang dipunyai peserta didik,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud Didik Suhardi menjelaskan, pihaknya mengembangkan Rumah Belajar sebagai salah satu sarana mendekatkan teknologi pada sistem pembelajaran di sekolah. Rumah Belajar berisi konten bahan belajar yang bisa diakses oleh semua guru dan siswa mulai dari PAUD hingga SMA secara gratis.
Didik menyampaikan bahwa portal itu sudah diakses lebih dari 12 jutaan pengunjung. Namun, katanya, bahwa pembelajaran yang paling baik ialah melalui guru, sebab guru adalah role model yang menginspirasi, sementara teknologi hanyalah alat bantu memudahkan pembelajaran di kelas saja.
Sementara itu, di sisi pendidikan tinggi, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan, perguruan tinggi harus mengubah pola pikir dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan cara lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian, bisa dihasilkan terobosan dan inovasi sistem pendidikan dan pembelajaran.
“Kampus harus memiliki pola pikir terbuka, hati yang terbuka, dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan. Di tengah berbagai tantangan global yang semakin kompleks, kita sadari betul semakin tingginya harapan pemerintah dan masyarakat Indonesia pada perguruan tinggi dalam memberikan pendidikan kepada generasi penerus bangsa agar kompetitif, kreatif, dan inovatif di era disrupsi saat ini,” katanya.
Menristekdikti mengatakan, Revolusi Industri 4.0 juga telah mengubah sistem pembelajaran yang ada. Oleh karena itu, perkembangan teknologi harus diikuti dengan inovasi dalam sistem pembelajaran. Perguruan tinggi Indonesia harus bergerak cepat agar tidak tertinggal dari negara lain.
“Kalau tidak melakukan itu, kita akan tertinggal dari negara lain dan paling dibutuhkan adalah kreativitas,” ujarnya.
Menristekdikti menekankan, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), perguruan tinggi harus mampu menghadirkan program studi atau prodi berorientasi pada kebutuhan pasar kerja ke depan.
“Contoh prodi visioner yang sudah berdiri misalnya, prodi rekayasa kebakaran, prodi pengelolaan perkebunan kopi, prodi bisnis jasa makanan, logistic management, dan prodi politik Indonesia terapan. Begitu pun dengan bidang ekonomi, penting untuk menguasai programming, cloud computing, mahasiswa didorong untuk memiliki talent, jangan hanya diajarkan mencari pekerjaan,” ujarnya.
Nasir menambahkan, pemerintah akan mendukung melalui instrumen regulasi bagi perguruan tinggi. Untuk itu, paradigma Tri Dharma Perguruan Tinggi harus diselaraskan dengan era Industri 4.0. “Peningkatan publikasi internasional kita dorong salah satunya dengan Science and Technology Index (SINTA). Riset tidak lagi sendiri-sendiri, tapi bagaimana berkolaborasi dan bersinergi dengan peneliti dunia, serta harus juga bisa menghasilkan inovasi (hak paten),” kata Nasir.
Pengamat pendidikan, Asep Saefuddin berpendapat, untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 tidak hanya bergantung pada kecakapan teknologi. Namun, tergantung pada mutu sumber daya manusia, regulasi, sistem pendidikan, dan juga kerja sama antara universitas, pemerintah, dan sektor bisnis swasta. Meski demikian, dia mengakui bahwa teknologi sebagai produk sumber daya manusia yang inovatif itu menjadi ciri dari 4.0.
Misalnya big data, internet of things, block chain, komputasi awan, dan juga robot yang humanis. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menyarankan sistem pendidikan di Tanah Air harus bisa mendekatkan antara kurikulum dengan kebutuhan industri. “Artinya, pengelolaan pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari industri. Maka dosen-dosen harus ada dari unsur praktisi serta dosen tetap harus magang di industri atau mereka ikut training di kampus-kampus besar dunia yang kuat dengan inovasi,” katanya.
Sementara itu, pakar pendidikan Indra Charismiadji menjelaskan, saat ini tidak ada pekerjaan yang tidak berkenaan dengan teknologi. Dalam semua sendi kehidupan pun serba digital. Bahkan menjadi petani pun sekarang hasil jualnya berbasis digital.
Di Thailand, ungkapnya, siswa sudah dibekali dengan komputer tablet dengan program One Tablet Per Child sejak usia dini sehingga siswa bisa diperkuat dengan pembelajaran tanpa kendala lokasi, jarak, dan latar belakang ekonomi siswa. “Menurut saya nggak susah-susah banget. Tinggal ada political will-nya ada atau nggak,” katanya.
Namun, agar tercipta generasi yang bisa menguasai kemampuan teknologi itu terkait dengan kecerdasan. Oleh karena itu, katanya, perbaikan gizi anak-anak bangsa juga perlu menjadi perhatian. Dia menjelaskan, Indonesia kaya akan hasil lautnya terutama ikan, maka sebaiknya ada program pemberian protein terutama dari ikan agar anak-anak Indonesia pun memiliki otak yang cerdas.
Indra menjelaskan, dari hasil kajian World Economic Forum (WEF), 65% siswa akan bekerja di bidang yang hari ini belum tercipta. “Yang harus dikembangkan, yakni kemampuan berpikir, kemampuan menciptakan. Kita bicara HOTS dan juga Internet of Things (IoT),” katanya.
Ketiga kemampuan dasar yang mesti dikembangkan itu, pertama ialah life skills yang membekali untuk bisa memahami dirinya dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Kedua, learning and innovation skills yang membekali untuk selalu kreatif, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah kompleks, mampu berkolaborasi, serta berkomunikasi secara efektif.
Ketiga, yaitu literacy skills yang membekali dengan berbagai pengetahuan dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang dihadapi. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Inovasi dan Daya Saing Ananto Kusuma Seta menjelaskan, pemerintah pun langsung tancap gas agar anak-anak mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi (PT) bisa memiliki ketiga skills tersebut.
Kebijakan itu sudah terealisasi di lapangan. Menurut Ananto, kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ialah penguatan pendidikan karakter (PPK). “Kebijakan PPK ada untuk menumbuh kembangkan life skills siswa sejak dini. Inilah esensi dari pendidikan itu, yakni memanusiakan manusia,” katanya.
PPK diperlukan untuk membangun dan membekali para calon generasi emas Indonesia 2045 dalam menghadapi dinamika perubahan di masa depan dengan keterampilan abad 21. Caranya dengan mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan makna dan nilai karakter sebagai poros utama penyelenggaraan pendidikan serta memperhatikan kondisi keberagaman satuan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan data Kemendikbud, target sekolah yang melaksanakan PPK pada 2019 mencapai 218.989 sekolah. Jumlah ini meningkat pesat dari awal dimulainya PPK pada 2016. Saat itu rintisan PPK hanya dilaksanakan di 542 sekolah. Kemudian jumlahnya meningkat pesat pada 2017 yang mencapai 64.213 sekolah. Sementara pada 2018 jumlah pelaksana PPK mencapai 188.646 sekolah.
Peraih gelar doktor di Kentucky University Amerika Serikat ini mengatakan, revolusi industri itu tidak diam di satu masa melainkan akan segera berpindah ke 5.0, 6.0, dan seterusnya. Di sini makna dan peran PPK ini penting, sebab yang perlu dijaga dan tidak akan pernah berubah adalah nilai-nilai kemanusiaan ini.
“Generasi yang mengenal jati dirinya akan mampu mengendalikan kemajuan dan teknologi sebagai tools untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, generasi yang kehilangan jati dirinya, maka teknologi yang akan mengendalikan hidupnya,” katanya.
Kebijakan kedua ialah melalui penguatan higher order thinking skills (HOTS). Kemampuan berpikir tingkat tinggi buah pikiran dari taksonomi berpikir Bloom ini menumbuhkan kemampuan yang terangkum dalam 4C. Ananto menuturkan, 4C adalah creativity, critical thinking and complex problem solving, collaboration, communication.
Asesment HOTS ini telah diuji kepada siswa melalui Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia. Asesment HOTS pada UN ini sempat membuat heboh pada 2018 lalu, sebab masyarakat menilai soal HOTS ini terlalu sulit dan dilakukan secara tiba-tiba.
Padahal soal yang diuji HOTS ini hanya terdiri 10% dari total soal. Sementara AKSI diterapkan di beberapa sekolah sampling sebagai sistem penilaian nasional meski Indonesia secara rutin mengikuti survei yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA).
Sementara kebijakan ketiga, yakni penguatan literasi melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dia menjelaskan, penguatan GLN ini terkait di enam sektor, yakni literasi baca tulis, literasi sains, literasi data, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewarganegaraan.
Ananto menjelaskan, pemerintah juga merevitalisasi pendidikan vokasi untuk menyiapkan generasi terampil yang inovatif dan berjiwa enterpreneur. Mengenai revitalisasi pendidikan vokasi ini Kemendikbud melakukan sejumlah program untuk mendorong sekolah menengah kejuruan (SMK) dapat menyediakan tenaga kerja terampil yang siap kerja di berbagai sektor prioritas nasional, seperti pertanian, industri, pariwisata, bahkan ekonomi kreatif.
Menurut Ananto, pekerjaan yang bersifat rutin, manual, dan kognitif akan digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, lulusan pendidikan harus disiapkan dengan kecakapan agar bisa mencipta peluang kerja baru. Dia mengatakan, pedagogi pembelajaran pun mulai dari SD mulai digeser ke konsep knowledge based learning ke project based learning.
“Siswa diajarkan untuk bisa memecahkan masalah yang ada di sekitarnya secara berkelompok dengan pendekatan interdisiplin. Pembelajaran ini akan merangsang tumbuhnya inovasi, kreativitas, empati, leadership, dan kolaborasi sejak dini,” katanya.
Adanya otomasi ini pun menimbulkan gejolak kekhawatiran akan hilangnya pelaku pekerjaan. Sebab yang semula pekerjaan itu dilakukan manusia namun bisa tergantikan oleh mesin atau robot. Contohnya saja petugas tol atau teller bank. Dia menjelaskan, jenis pekerjaan yang belum bisa digantikan oleh mesin atau robot adalah jenis pekerjaan bersifat analitik dan interpersonal, seperti seniman dan budayawan (penulis lagu, pemusik, penari, desainer, pemasak, dan lainnya).
Karena itu, Indonesia harus mampu mengapitalisasi kekuatan seni dan budaya Indonesia untuk menjadi kekuatan daya saing bangsa di Era Industri 4.0. “Inilah skills yang dibekalkan untuk generasi muda Indonesia ke depan,” katanya. Saat ini sekolah di Indonesia mengadopsi Kurikulum 2013 yang materi di dalamnya mengasah empat aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku. Kurikulum itu harus selalu disesuaikan dengan relevansi kebutuhan zaman.
Dia menuturkan, pengembangan kurikulum harus bergeser dari selama ini bersifat supply-driven (didorong semata oleh lembaga/satuan pendidikan) menjadi demand-driven (didorong bersama antara lembaga/satuan pendidikan dengan dunia kerja). “Karena itu, kerja sama antara lembaga pendidikan dengan DUDI adalah mutlak adanya. Kurikulum juga harus fleksibel untuk mengakomodasikan ragam minat, bakat, dan waktu yang dipunyai peserta didik,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud Didik Suhardi menjelaskan, pihaknya mengembangkan Rumah Belajar sebagai salah satu sarana mendekatkan teknologi pada sistem pembelajaran di sekolah. Rumah Belajar berisi konten bahan belajar yang bisa diakses oleh semua guru dan siswa mulai dari PAUD hingga SMA secara gratis.
Didik menyampaikan bahwa portal itu sudah diakses lebih dari 12 jutaan pengunjung. Namun, katanya, bahwa pembelajaran yang paling baik ialah melalui guru, sebab guru adalah role model yang menginspirasi, sementara teknologi hanyalah alat bantu memudahkan pembelajaran di kelas saja.
Sementara itu, di sisi pendidikan tinggi, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan, perguruan tinggi harus mengubah pola pikir dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan cara lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian, bisa dihasilkan terobosan dan inovasi sistem pendidikan dan pembelajaran.
“Kampus harus memiliki pola pikir terbuka, hati yang terbuka, dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan. Di tengah berbagai tantangan global yang semakin kompleks, kita sadari betul semakin tingginya harapan pemerintah dan masyarakat Indonesia pada perguruan tinggi dalam memberikan pendidikan kepada generasi penerus bangsa agar kompetitif, kreatif, dan inovatif di era disrupsi saat ini,” katanya.
Menristekdikti mengatakan, Revolusi Industri 4.0 juga telah mengubah sistem pembelajaran yang ada. Oleh karena itu, perkembangan teknologi harus diikuti dengan inovasi dalam sistem pembelajaran. Perguruan tinggi Indonesia harus bergerak cepat agar tidak tertinggal dari negara lain.
“Kalau tidak melakukan itu, kita akan tertinggal dari negara lain dan paling dibutuhkan adalah kreativitas,” ujarnya.
Menristekdikti menekankan, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), perguruan tinggi harus mampu menghadirkan program studi atau prodi berorientasi pada kebutuhan pasar kerja ke depan.
“Contoh prodi visioner yang sudah berdiri misalnya, prodi rekayasa kebakaran, prodi pengelolaan perkebunan kopi, prodi bisnis jasa makanan, logistic management, dan prodi politik Indonesia terapan. Begitu pun dengan bidang ekonomi, penting untuk menguasai programming, cloud computing, mahasiswa didorong untuk memiliki talent, jangan hanya diajarkan mencari pekerjaan,” ujarnya.
Nasir menambahkan, pemerintah akan mendukung melalui instrumen regulasi bagi perguruan tinggi. Untuk itu, paradigma Tri Dharma Perguruan Tinggi harus diselaraskan dengan era Industri 4.0. “Peningkatan publikasi internasional kita dorong salah satunya dengan Science and Technology Index (SINTA). Riset tidak lagi sendiri-sendiri, tapi bagaimana berkolaborasi dan bersinergi dengan peneliti dunia, serta harus juga bisa menghasilkan inovasi (hak paten),” kata Nasir.
Pengamat pendidikan, Asep Saefuddin berpendapat, untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 tidak hanya bergantung pada kecakapan teknologi. Namun, tergantung pada mutu sumber daya manusia, regulasi, sistem pendidikan, dan juga kerja sama antara universitas, pemerintah, dan sektor bisnis swasta. Meski demikian, dia mengakui bahwa teknologi sebagai produk sumber daya manusia yang inovatif itu menjadi ciri dari 4.0.
Misalnya big data, internet of things, block chain, komputasi awan, dan juga robot yang humanis. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menyarankan sistem pendidikan di Tanah Air harus bisa mendekatkan antara kurikulum dengan kebutuhan industri. “Artinya, pengelolaan pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari industri. Maka dosen-dosen harus ada dari unsur praktisi serta dosen tetap harus magang di industri atau mereka ikut training di kampus-kampus besar dunia yang kuat dengan inovasi,” katanya.
Sementara itu, pakar pendidikan Indra Charismiadji menjelaskan, saat ini tidak ada pekerjaan yang tidak berkenaan dengan teknologi. Dalam semua sendi kehidupan pun serba digital. Bahkan menjadi petani pun sekarang hasil jualnya berbasis digital.
Di Thailand, ungkapnya, siswa sudah dibekali dengan komputer tablet dengan program One Tablet Per Child sejak usia dini sehingga siswa bisa diperkuat dengan pembelajaran tanpa kendala lokasi, jarak, dan latar belakang ekonomi siswa. “Menurut saya nggak susah-susah banget. Tinggal ada political will-nya ada atau nggak,” katanya.
Namun, agar tercipta generasi yang bisa menguasai kemampuan teknologi itu terkait dengan kecerdasan. Oleh karena itu, katanya, perbaikan gizi anak-anak bangsa juga perlu menjadi perhatian. Dia menjelaskan, Indonesia kaya akan hasil lautnya terutama ikan, maka sebaiknya ada program pemberian protein terutama dari ikan agar anak-anak Indonesia pun memiliki otak yang cerdas.
Indra menjelaskan, dari hasil kajian World Economic Forum (WEF), 65% siswa akan bekerja di bidang yang hari ini belum tercipta. “Yang harus dikembangkan, yakni kemampuan berpikir, kemampuan menciptakan. Kita bicara HOTS dan juga Internet of Things (IoT),” katanya.
(don)