Penyebaran Hoaks, Ratna Tak Bisa Berdalih Kasusnya Bermuatan Politik
A
A
A
JAKARTA - Ratna Sarumpaet dinilai tidak bisa lagi berdalih kasus penyebaran berita hoaks atau bohong itu merupakan kepentingan politik. Jika penangkapan Ratna memang dianggap menyalahi aturan ketentuan atau dianggap politik maka seharusnya sudah dapat diselesaikan dengan upaya hukum praperadilan pada saat itu.
“Saya dari konteks sidang pertama pembacaan dakwaan, bahwasanya Ratna Sarumpaet sudah mengakui dalam persidangan kalau dia memang bersalah,” kata Ahli Hukum Pidana, Jamin Ginting kepada wartawan, Senin (11/3/2019).
Di sisi lain Ratna juga tidak mengajukan upaya hukum praperadilan. Artinya, dari sisi prosedur penetapan tersangka hingga penahanan itu dianggap tidak ada masalah. Sehingga, dalam konteks ini alasan politiknya agak sulit untuk bisa dijelaskan.
“Harusnya kalau ini dianggap melanggar HAM dalam prosesnya, tentu dia mengajukan upaya praperadilan nanti disitu baru dibuka, tapi sekarang kan ketutup tuh tidak mungkin bisa lagi,” ujarnya.
Ginting melihat jaksa penuntut umum (JPU) akan profesional mendakwa Ratna dengan Pasal 14 ayat (1) UU No 1/1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19/2016 tentang ITE. Selanjutnya tinggal JPU yang membuktikan dengan menghadirkan saksi-saksi yang sudah pernah diperiksa di tingkat penyidikan.
Ini agar diketahui apakah unsurnya terbukti atau tidak tentang informasi yang membuat keonaran. “Nah, keonaran itu harus ada standarisasi dan ahli yang menerangkan. Karena poinnya informasi itu mengakibatkan adanya keonaran, nanti bisa dibuktikan,” jelasnya.
Kemudian, Ginting beranggapan eksepsi yang menyangkut pokok perkara Ratna itu paling gampang dikesampingkan oleh majelis hakim. Karena dasar eksepsi itu cuma adanya kekeliruan mengenai lokasi terjadinya perkara dan sebagainya. Sehingga bukan menyangkut pembuktian.
“Kalau pembuktian kan saksinya belum diperiksa, jadi tidak bisa juga masuk ranah pembuktian. Nanti ada saksi fakta, ahli. Nah, itu aja yang bisa menilai apakah memang apa yang didakwa itu bisa dibuktikan oleh JPU yang memberikan keyakinan bagi hakim untuk menyatakan dia bersalah atau tidak,” tandasnya.
“Saya dari konteks sidang pertama pembacaan dakwaan, bahwasanya Ratna Sarumpaet sudah mengakui dalam persidangan kalau dia memang bersalah,” kata Ahli Hukum Pidana, Jamin Ginting kepada wartawan, Senin (11/3/2019).
Di sisi lain Ratna juga tidak mengajukan upaya hukum praperadilan. Artinya, dari sisi prosedur penetapan tersangka hingga penahanan itu dianggap tidak ada masalah. Sehingga, dalam konteks ini alasan politiknya agak sulit untuk bisa dijelaskan.
“Harusnya kalau ini dianggap melanggar HAM dalam prosesnya, tentu dia mengajukan upaya praperadilan nanti disitu baru dibuka, tapi sekarang kan ketutup tuh tidak mungkin bisa lagi,” ujarnya.
Ginting melihat jaksa penuntut umum (JPU) akan profesional mendakwa Ratna dengan Pasal 14 ayat (1) UU No 1/1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19/2016 tentang ITE. Selanjutnya tinggal JPU yang membuktikan dengan menghadirkan saksi-saksi yang sudah pernah diperiksa di tingkat penyidikan.
Ini agar diketahui apakah unsurnya terbukti atau tidak tentang informasi yang membuat keonaran. “Nah, keonaran itu harus ada standarisasi dan ahli yang menerangkan. Karena poinnya informasi itu mengakibatkan adanya keonaran, nanti bisa dibuktikan,” jelasnya.
Kemudian, Ginting beranggapan eksepsi yang menyangkut pokok perkara Ratna itu paling gampang dikesampingkan oleh majelis hakim. Karena dasar eksepsi itu cuma adanya kekeliruan mengenai lokasi terjadinya perkara dan sebagainya. Sehingga bukan menyangkut pembuktian.
“Kalau pembuktian kan saksinya belum diperiksa, jadi tidak bisa juga masuk ranah pembuktian. Nanti ada saksi fakta, ahli. Nah, itu aja yang bisa menilai apakah memang apa yang didakwa itu bisa dibuktikan oleh JPU yang memberikan keyakinan bagi hakim untuk menyatakan dia bersalah atau tidak,” tandasnya.
(poe)