Abaikan Rekomendasi Bawaslu, Mendagri Dinilai Sewenang-wenang
A
A
A
JAKARTA - Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, tidak ada yang dilanggar oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerah lain di daerah tersebut yang telah melakukan deklarasi dukungan terhadap pasangan calon petahana di pilpres 2019. Pernyataan Mendagri tersebut keluar setelah melakukan telaah dan kajian terhadap deklarasi itu.
Sebelumnya, para kepala daerah ini dinyatakan melanggar netralitas oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng terkait dukungan kepada pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Menanggapi pernyataan Mendagri itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS), Ismail Rumadan menyatakan, Mendagri seharusnya menjalankan rekomendasi Bawaslu dan tidak perlu lagi melakukan penafsiran ulang terhadap putusan Bawaslu tersebut
“Sehingga Mendagri tidak ngawur dalam hal menanggapi rekomendasi Bawaslu atas tindakan yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo bersama 31 Kepala Daerah di Jateng,” kata Ismail di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Menurut Ismail, Dalam hal ini Mendagri mengambil sikap yang salah terhadap rekomendasi Bawaslu, karena soal kewenangan untuk memvonis salah atau tidaknya terhadap dugaan pelanggaran pemilu adalah wilayah Bawaslu, lantaran ini konteksnya adalah pemilihan umum.
Ia menjelaskan, Bawaslu punya otoritas untuk memeriksa dan mengadili pihak-pihak yang dituduh melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam proses pemilu, proses itu sudah dilalui dan hasilnya sudah ada, sehingga putusan akhir itulah yang harus mengikat Mendagri untuk menindaklanjuti, tidak kemudian Mendagri itu memeriksa lagi.
“Karena Mendagri bukan dalam kapasitas memeriksa ulang keputusan Bawaslau atau menyatakan tidak bersalah, lalu dimana letak wewenang Mendagri menyatakan itu tidak bersalah,” ujar Ismail.
Ismail pun menegaskan, dalam konteks ini mestinya Mendagri menjalankan keputusan Bawaslu terhadap kasus ini. “Tidak lagi menafsirkan tindakan yang dilakukan oleh gubernur dan rekan-rekannya itu. Lain halnya kalau pelanggaran itu adalah pelanggaran eksekutif secara organisatoris di pemerintahan, ini adalah planggaran terhadap peraturan kampanye atau peraturann pemilu,” tegas dia.
Untuk itu, Ismail menyatakan, dalam perspektif hukum tindakan Mendagri dalam konteks kasus Ganjar dan 31 kepala daerah ini adalah sewenang-wenang dan terkesan melindungi.
“Ngawur dia itu, keliru dan salah dalam memahami putusan Bawaslu. Mendagri tidak boleh bersikap berat sebelah dalam hal minindak ASN yang mendukung paslon di pilpres, Mendagri harus netral. Jangan karena dia adalah kader PDIP partai pengusung Jokowi, sehingga berat sebelah,” kritik Ismail.
Lebih jauh lagi, Ismail mengatakan, pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Ganjar dan 31 Kepala Daerah di Jateng ini bisa saja masuk pidana pemilu. “Tentu saja bisa kalau sudah memenuhi syarat pidananya,” ujarnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menanggapi dengan pernyataan pesimistis terhadap penegakkan hukum di era kepemimpinan Jokowi-JK dalam konteks kasus tersebut. Margarito menyatakan, jangan berharap banyak proses penegakan hukum saat ini, dalam hal apapun
“Inilah hukum dibolak-balik oleh rezim saat ini. Bahwa terhadap lawan-lawan politik hukum mampu ditegakkan, tapi ketika itu terhadap pihak mereka sendiri hukum tidak berdaya apa-apa, hukum dipermainkan, hukum terkesan dikucilkan,” kata Margarito.
Jadi menurutnya, berharap banyak adanya sanksi dari Bawaslu terhadap kasus Ganjar dan 31 kepala daerah yang sudah nyata melanggar itu, hanya perkara sia sia saja. Ia memprediksi, pelanggaran-pelanggaran seperti ini nantinya akan semakin banyak karena tidak ada lagi yang mau percaya dengan lembaga penegakan hukum di negeri ini.
“Jadi prinsipnya, apapun pelanggaran yang dilakukan oleh kubu petahana hari ini hukum tidak berdaya untuk menghadapinya. Ini kan sebuah potret yang sangat memalukan dalam proses hukum di negeri ini. Ketika ada pelanggaran, kemudian tidak ada sanksi tegas,” tutup Margarito.
Sebelumnya, para kepala daerah ini dinyatakan melanggar netralitas oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng terkait dukungan kepada pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Menanggapi pernyataan Mendagri itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS), Ismail Rumadan menyatakan, Mendagri seharusnya menjalankan rekomendasi Bawaslu dan tidak perlu lagi melakukan penafsiran ulang terhadap putusan Bawaslu tersebut
“Sehingga Mendagri tidak ngawur dalam hal menanggapi rekomendasi Bawaslu atas tindakan yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo bersama 31 Kepala Daerah di Jateng,” kata Ismail di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Menurut Ismail, Dalam hal ini Mendagri mengambil sikap yang salah terhadap rekomendasi Bawaslu, karena soal kewenangan untuk memvonis salah atau tidaknya terhadap dugaan pelanggaran pemilu adalah wilayah Bawaslu, lantaran ini konteksnya adalah pemilihan umum.
Ia menjelaskan, Bawaslu punya otoritas untuk memeriksa dan mengadili pihak-pihak yang dituduh melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam proses pemilu, proses itu sudah dilalui dan hasilnya sudah ada, sehingga putusan akhir itulah yang harus mengikat Mendagri untuk menindaklanjuti, tidak kemudian Mendagri itu memeriksa lagi.
“Karena Mendagri bukan dalam kapasitas memeriksa ulang keputusan Bawaslau atau menyatakan tidak bersalah, lalu dimana letak wewenang Mendagri menyatakan itu tidak bersalah,” ujar Ismail.
Ismail pun menegaskan, dalam konteks ini mestinya Mendagri menjalankan keputusan Bawaslu terhadap kasus ini. “Tidak lagi menafsirkan tindakan yang dilakukan oleh gubernur dan rekan-rekannya itu. Lain halnya kalau pelanggaran itu adalah pelanggaran eksekutif secara organisatoris di pemerintahan, ini adalah planggaran terhadap peraturan kampanye atau peraturann pemilu,” tegas dia.
Untuk itu, Ismail menyatakan, dalam perspektif hukum tindakan Mendagri dalam konteks kasus Ganjar dan 31 kepala daerah ini adalah sewenang-wenang dan terkesan melindungi.
“Ngawur dia itu, keliru dan salah dalam memahami putusan Bawaslu. Mendagri tidak boleh bersikap berat sebelah dalam hal minindak ASN yang mendukung paslon di pilpres, Mendagri harus netral. Jangan karena dia adalah kader PDIP partai pengusung Jokowi, sehingga berat sebelah,” kritik Ismail.
Lebih jauh lagi, Ismail mengatakan, pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Ganjar dan 31 Kepala Daerah di Jateng ini bisa saja masuk pidana pemilu. “Tentu saja bisa kalau sudah memenuhi syarat pidananya,” ujarnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menanggapi dengan pernyataan pesimistis terhadap penegakkan hukum di era kepemimpinan Jokowi-JK dalam konteks kasus tersebut. Margarito menyatakan, jangan berharap banyak proses penegakan hukum saat ini, dalam hal apapun
“Inilah hukum dibolak-balik oleh rezim saat ini. Bahwa terhadap lawan-lawan politik hukum mampu ditegakkan, tapi ketika itu terhadap pihak mereka sendiri hukum tidak berdaya apa-apa, hukum dipermainkan, hukum terkesan dikucilkan,” kata Margarito.
Jadi menurutnya, berharap banyak adanya sanksi dari Bawaslu terhadap kasus Ganjar dan 31 kepala daerah yang sudah nyata melanggar itu, hanya perkara sia sia saja. Ia memprediksi, pelanggaran-pelanggaran seperti ini nantinya akan semakin banyak karena tidak ada lagi yang mau percaya dengan lembaga penegakan hukum di negeri ini.
“Jadi prinsipnya, apapun pelanggaran yang dilakukan oleh kubu petahana hari ini hukum tidak berdaya untuk menghadapinya. Ini kan sebuah potret yang sangat memalukan dalam proses hukum di negeri ini. Ketika ada pelanggaran, kemudian tidak ada sanksi tegas,” tutup Margarito.
(pur)